Hampir 14 tahun kurang lebih,
umur daerah yang terkenal dengan sebutan “gampoeng dek mata biru”, sudah
berlalu . Meskipun belum terlalu “dewasa” daerah yang dulu dalam “meuneumat” Po Teumeureuhom itu sudah memasuki masa-masa
“remaja”. Sejatinya, usia remaja merupakan usia yang sangat produktif, yang
mampu melahirkan ide-ide cemerlang dan juga
terobosan-terobosan baru.
Tidak dapat dipungkiri, “aneuk
miet ban lahe han mungken jeut iplueng” (bayi yang baru lahir tidak mungkin
akan dapat berlari), itulah alasan jika daerah-daerah yang baru dimekarkan tidak
mengalami kemajuan yang signifikan. Dengan dalih “mantong aneuk miet”
maka posisi “empuk”para pemimpin yang “duek bak kursi manyang” akan
terselamatkan. Padahal “belajar diwaktu kecil bagai mengukir di atas batu”.
Sudah majukah Aceh Jaya ku?
Majunya sebuah daerah biasanya
ditandai oleh mandirinya ekonomi masyarakat, dan juga berhasil mengorbitkan SDM
(Sumber Daya Manusia) yang memenuhi, setidaknya “SNI” (Standar Nasional
Indonesia). Kemudian juga dapat dilihat dari tersedianya infra struktur publik
yang sudah memadai, serta berhasil mengembangkan potensi-potensi daerah
tersebut.
Kemandirian ekonomi masyarakat
adalah hal utama yang harus dipikirkan, caranya adalah dengan menguatkan sistem
perekonomian agar tidak terkesan hubungan pemerintah dengan rakyat itu seperti
pemberi sedekah dengan pengemis. Seharusnya pemerintah itu seperti seorang guru
dengan muridnya, tidak hanya ilmu yang diberikan, tetapi sang guru juga mendidik,
menjaga, serta mengawasi para muridnya. Hal tersebut berlangsung sampai sang
murid mandiri dan siap dilepaskan ke jenjang selanjutnya.
Memikirkan rakyat bagi seorang
pemimpin bukanlah hal yang mudah, hal tersebut akan sangat menguras pikiran dan
tenaga. Dengan demikian, pemerintah tentu tidak akan mampu melakukannya
sendiri, ia butuh patner yang mampu menyalurkan ide-ide mereka untuk membangun kesejateraan
rakyat, meskipun patner tersebut lahir dari “golongan” yang berbeda secara
politis.Jika hal tersebut mampu dilakukan, selain akan efektifnya pembangunan,
juga akan memperlihatkan bahwa pemerintahan yang sedang berjalan sama sekali
tidak anti kritik.
Tentu saja sebuah malapetaka besar
bagi masyarakat, jika patner yang diambil tersebut hanya mementingkan diri
sendiri, kerabat, keuntungan komunitas, serta mereka yang “lagee tikoh lam
eumpang breuh”(tikus dalam lumbung padi), ketika bersama pemerintah.
Salah satu indikator pemimpin
yang arif adalah pemimpin yang mau merangkul lawan politiknya tanpa disodori “bungkoh”tertentu.
Dalam politik, mampu merangkul lawan menjadi kawan adalah suatu sikap yang
sangat luar biasa yang hanya dimiliki oleh orang yang benar-benar ikhlas. Sikap
arif ini akan memperlihatkan bahwa pemimpin tidak menaruh dendam kepada lawan
politiknya, hal tersebut juga ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. dalam menegakkan
Agama Islam yang rahmatan lil alamin
ini.
“Menjaring nahkoda” baru
Pilkada merupakan momentum
penting bagi masyarakat yang cerdas dalam rangka memilih pemimpin baru, yang
mampu memberi “warna” baru dalam lingkungan wilayah Po Teumereuhom ini.
Kecerdasan masyarakat tentu menjadi penentu utama bagi masa depan “gampoeng dek
mata biru” ini.
Pemimpin baru Aceh Jaya, sejatinya
harus memiliki konsep pembangunan yang jelas, tidak hanya mampu berdiri di
bawah bayang-bayang “pahlawan” yang telah mendahului. Bangga terhadap
perjuangan “endatu” tentu tidak
akan mampu memberikan kesejateraan bagi masyarakat Aceh Jaya, hal ini tidak
mengindikasikan bahwa perjuangan para “Endatu” tidak di hargai, tetapi
harus di sadari bahwa zaman Rasulullah berbeda dengan zaman Khulafaur Rasyidin,
pra konflik berbeda dengan pasca konflik
dan zaman HP tit tut berbeda dengan zaman adroid alias HP gusuek. Dengan
demikian, berbeda masalah berbeda pula cara penyelesaianya.
Sikap materialistis dalam
masyarakat harus dihilangkan, dengan memantapkan pengaruh-pengaruh para
cendikia, ulama dan tokoh masyarakat yang memiliki wawasan luas terhadap
pembangunan Aceh Jaya ke depan. Jika hal ini tidak dikawal oleh tersebut, maka
masyarakat tentu akan terjebak dengan “sitrop saboh kaca”(hadiah sebotol
sirup),yang sudah menjadi rahasia umum dalam setiap pelaksanaan Pilkada yang
bersih dan transparan di negeri tercinta ini.
Subtansi politik adalah jalan
menuju kesejahteraan rakyat yang lebih maju dan bermartabat, maka peran
mahasiswa sebagai agent of change –katanya begitu- adalah mengawal
masyarakat agar tidak terjebak dalam pen-justifikasi-an oleh para politisi yang
ambisinya berada pada “stadium” akhir, karena tingkat ambisi seorang pemimpin
juga akan mempengaruhi proses pembangunan yang berbasis rakyat. Oleh karena
demikian sikap mahasiswa, sebenarnya harus lebih netral dan benar-benar membela
kepentingan orang banyak.
Mahasiswa sebagai calon
intelektual baru, yang sedang “bertugas” pada lembaga pendidikan tertinggi,
seharusnya mampu menjadi pembanding dalam ajang “menjaring nahkoda” baru ini,
bukan sebagai penjilat yang terkadang terkesan sebagai pembuat justifikasi. Apresiasi
yang sangat besar bagi para mahasiswa dan mahasiswi Aceh Jaya telah mengambil
sikap netral dan menggunakan ilmunya dengan benar dalam proses memajukan Aceh
Jaya.
Di usianya yang sudah memasuki
usia remaja, kebutuhan hidup seorang
remaja cenderung lebih banyak dibandingkan dengan Aceh Jaya ketika masih menyandang status “aneuk miet”.
Oleh karena itu mendidik “aneuk miet” berbeda dengan mendidik remaja.
Atas dasar inilah konsep pendidikan terhadap manusia dibuat bertingkat. “
Harapannya, siapa pun pemimpin
Aceh Jaya kedepan, tentunya harus memiliki prinsip membangun kesejahteraan rakyat,
persatuan, agama serta mampu membawa nama Aceh Jaya tidak hanya ditingkat
nasional tapi juga international. Kedewasaan politik juga harus dimiliki oleh
sosok “Po Teumereuhom” yang baru, yang terpilih pasca pelaksanaan pesta
demokrasi di Aceh Jaya.
0 komentar:
Posting Komentar