Irvan

http://irvan-ushuluddin.blogspot.co.id/
alumni mahasiswa UIN AR-RANIRY,Fakultas Ushuluddin Aqidah dan Filsafat.
About Me
setelah menamatkan sekolah swasta (MIS Tuwi Kareung) di Kecamatan Pasie Raya (dulunya Teunom), Kab Aceh Jaya, untuk tingkat pertama kemudian melanjutkan SLTP N 3 teunom selesai tahun 2005, setelah itu melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri 2 MEULABOH selesai tahun 2008, kemudian masuk ke Universitas UTU Meulaboh dan alhamdulillah tidak Selesai hehheh..., tahun 2009 masuk ke UIN Ar-Raniry di Fak. Ushuluddin siap pada tahun 2013 , sekarang sedang mengikuti program Pasca Sarjana UIN AR-RANIRY .

Sabtu, 21 Juni 2014

HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM DENGAN FILSAFAT YUNANI
PENDAHULUAN

Proses sejarah masa lalu tidak dapat dielakkan begitu saja bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruhi oleh filsafat Yunani. Para filosof Islam banyak mengambil Pemikiran Aristoteles dan mereka banyak tertarik terhadap pikiran-pikiran Platinus. Sehingga banyak teori-teori filosof Yunani diambil oleh filosof Islam.
Kedatangan para filosof Islam telah banyak terpengaruhi oleh orang-orang sebelumnya dan berguru kepada filosof Yunani. Bahkan kita yang hidup pada abad ke-21 ini, banyak hal berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan tetapi berguru bukan berarti mengekor atau mengutip, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, karena filsafat Islam telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pemikiran.
Seorang filosof berhak mengambil sebagian pandangan orang lain, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk membawa teori-teori dan filsafatnya sendiri. Ibnu Sina misalnya, walaupun sebagai murid yang murni dari Aristoteles tetapi ia mempunyai pandangan tersendiri yang tidak dikatakan oleh gurunya.
Filosof-filosof Islam secara umum hidup di dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan filosof-filosof lain, sehingga salah jika kita mengabaikan berbagai pengaruh kondisi ini dalam pemikiran dan teori-teori mereka. Jadi, dunia Islam mampu menyusun suatu filsafat untuk dirinya sendiri  yang berjalan seiring dengan nilai pokok agama dan kondisi sosialnya, dan  tidak ada sesuatu apapun yang dapat menolong untuk mengenal dan mengetahui hakikat filsafat ini, kecuali harus mempelajari dan menjelaskannya.         
Oleh karenanya, dalam hal ini penulis mencoba untuk mengkaji bagaimana hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani, tentunya dilihat dari aspek sejarah hubungan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani tersebut.   




PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Islam
1.      Pengertian  Filsafat
Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni:
1)      Segi semantik: Perkataan filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia, yang berarti Philos: cinta, suka (loving), dan Sophia: pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut Philosopher. Dalam bahasa Arabnya Failasuf. Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau dengan perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
2)      Segi praktis: dillihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam fikiran atau alam berpikir. Berfilsafat berarti berpikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa: setiap manusia adalah filosof. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan ini tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filosof.
Filosof hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya, filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.  
Karena luasnya ruang lingkup pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak diantara para ahli filsafat memberikan definisinya secara beda-beda. Berikut definisi-definisi ilmu filsafat dari filosof barat dan timur:
a.       Plato (427 SM-347 SM) seorang filosof Yunani yang termasyhur murid Socrates dan guru Aristoteles mengatakan, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
b.      Aristoteles (382 SM-322 SM) mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
c.       Marcus Tulius Cicero (106 SM-43 SM) politikus dan ahli pidato Romawi, merumuskan filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
d.      Al-Farabi ( Wafat 950 M), Filosof Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
e.       Immanuel Kant (1724-1804), yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan bahwa filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencangkup di dalamnya persoalan.
f.       Prof. Dr. Fuad Hasan, Guru Besar Psikologi UI, menyimpulkan: filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berfikir radikal, artinya mulai dari radiknya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan, dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal. 

Dari berbagai definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah ilmu yang menyelidiki secara mendalam tentang hakikat sesuatu, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

2.      Pengertian Filsafat Islam
Perjalanan waktu yang panjang mengantarkan kepada konvensi antar ilmuwan bahwa filsafat Islam memiliki pengertian sendiri karena ia memiliki sumber utama, yakni Al-Qur’an. Atas kenyataan ini, beragam definisipun mengalir dari berbagai tokoh tentang pengertian filsafat Islam. Disamping penyebutan istilah, filsafat Islam atau filsafat Arab.
Sebelum sampai kepada definisi filsafat Islam, terlebih dahulu penulis mencoba untuk menguraikan beberapa makna atau istilah-istilah filsafat yang berkembang di kalangan cendikiawan Muslim. Banyak dikalangan para ahli berbeda dalam menamakan filsafat Islam. Apakah itu Filsafat Islam atau Filsafat Arab, atau ada nama lain dari kedua istilah tersebut.
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimanapun juga hidup dan suburnya pemikiran filsafat tersebut adalah di bawah naungan Islam dan kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan filsafat Arab ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil orang Arab semata-mata, maka tidak benar. Sebab kenyataan menunjukkan bahwa Islam telah mempersatukan berbagai umat, dan kesemuanya telah ikut serta dalam memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut.    
Menurut Mustafa Abdur Razik pemakaian kata filsafat di kalangan umat Islam adalah kata hikmah. Hal ini dikuatkan oleh Dr. Fuad Al-Ahwani, bahwa kebanyakan pengarang-pengarang Arab menempatkan kalimat hikmah di tempat kalimat filsafat, dan menempatkan kalimat hakim di tempat failusuf atau sebaliknya. Namun demikian, mereka mengatakan bahwa sebenarnya kata hikmah itu berada di atas kata filsafat.
Al Farabi berkata: failasuf adalah orang yang menjadikan seluruh kesungguhan dari kehidupannya dan seluruh maksud dari umurnya mencari hikmah yaitu mema’rifati Allah yang mengandung pengertian mema’rifati kebaikan. Ibnu Sina mengatakan hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kemampuan manusia. Kemudian ahli tafsir Muhammad Abduh mengatakan bahwa hikmah adalah ilmu yang berhubungan dengan rahasia-rahasia, yang kokoh atau rapi, dan bermanfaat dalam menggerakkan amal pekerjaan.
Demikian pula Nurcholis Madjid menyatakan bahwa hikmah itu berarti ilmu pengetahuan, filsafat, kebenaran, bahkan merupakan rahasia Tuhan yang tersembunyi yang hanya biasa diambil manfaat dan pelajaran pada masa dan waktu yang lain.
Dengan demikian hikmah yang diidentikkan dengan filsafat adalah yang membahas tentang hakikat sesuatu, baik yang bersifat teoritis (etika, estetika maupun metafisika) atau yang bersifat praktis yakni pengetahuan yang harus diwujudkan dengan amal baik.
Sampailah pada pengertian filsafat Islam yang merupakan gabungan dari filsafat dan Islam. Menurut Mustafa Abdur Razik, Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan Negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa pemiliknya. Pengertian ini diperkuat oleh Prof. Tara Chand, bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi yang telah menulis kitab-kitab filsafat yang bersifat kritis atau terpengaruh oleh Islam sebaiknya dimasukkan ke dalam Filsafat Islam.
Filsafat Islam adalah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam. Ia merupakan filsafat khusus dan objeknya tertentu, yaitu hukum Islam. Oleh karena itu, filsafat Islam adalah sifat yang menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis sehingga didapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum Islam secara Islam dan sebagai alatnya.
Dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang didalamnya terdapat ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu. Menyimak dari berbagai definisi diatas, tampaknya makna filsafat pada filsafat Islam identik dengan makna al-hikmah yang dikenal dalam Islam. Hal itu tidak bisa dihindari karena perbedaan istilah, tatapi maknanya tetap sama.

B. Kontak Pertama Kaum Muslimin dengan Filsafat Yunani

1.      Penaklukan Alexander dan Perkembangan Pemikiran Yunani di Timur Tengah
Perkembangan pemikiran Yunani di kawasan Timur Tengah tidak dapat dilepaskan dari penaklukkan yang dilakukan Alexander yang Agung terhadap kawasan tersebut. Ia dapat menguasai Arbela, sebelah Timur Tigris pada tahun 331 yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Darius. Kedatangannya ke daerah tersebut tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, tetapi sebaliknya ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Dari segi kultural, ia sendiri berusaha mengenakan pakaian secara Persia, dan orang-orang Persia sendiri banyak pula yang diangkat menjadi pengawal-pengawalnya. Ia kawin dengan Statira, anak Darius.
Setelah Alexander meninggal, perkembangan selanjutnya terdiri dari Kerajaan Ptolemeus di mesir, dengan Alexandria sebagai ibukotanya dan kerajaan Seleucid (Seleucus) di Asia dengan kota-kota pentingnya seperti Antioch di Siria, Seleucia di Mesopotamia dan Bactra di Persia sebelah Timur. Ptolemus dan Seleucus berusaha meneruskan politik Alexander untuk menyatukan kedua peradaban Yunani dan Iran. Sungguhpun usaha itu tidak berhasil, namun kebudayaan dan peradaban Yunani meninggalkan bekas di daerah-daerah ini. Bahasa administrasi yang dipakai disana ialah bahasa Yunani. Di Mesir dan Siria bahasa ini tetap dipakai sesudah masuknya Islam ke dalam kedua daerah itu, dan baru ditukar dengan bahasa Arab pada abad VII Masehi oleh Khalifah Bani Umayyah A. Malik Ibn Marwan (685-705). Alexandria, Antioch dan Bactra kemudian menjadi pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada Abad III Masehi pusat-pusat kebudayaan Yunani ini ditambah dengan kota Jundishapur yang letaknya tidak jauh dari Baghdad (didirikan di tahun 762 M). Di sana sewaktu kota itu masuk ke dalam wilayah kekuasan Islam, telah terdapat suatu akademi dan rumah sakit.
Alexandria merupakan kota yang berfungsi sebagai salah satu pusat kegiatan intelektual yang penting dijaman akhir filsafat Yunani Kuno. Menurut keterangan yang diberikan oleh De Lacy O’leary, bahwa di kota ini terdapat bangunan musium yang dilengkapi dengan perpustakaan yang kemudian ia berkembang di zaman Philadelphia (285-247 SM) menjadi perpustakaan terbesar di dunia dalam bidang pemikiran Yunani.
Dari uraian singkat tersebut dapat disimpulkan bahwa penaklukkan Alexander yang Agung di kawasan Timur Tengah ternyata membawa pengaruh terhadap perkembangan pemikiran Yunani di daerah yang ditaklukkannya itu. Perkembangan pemikiran Yunani tersebut terlihat dari munculnya  berbagai pusat atau lembaga pengkajian filsafat Yunani. Semua kota yang menjadi tempat perkembangan pemikiran Yunani ini kemudian dikuasai oleh Islam.

2.      Peranan Khalifah Abbasiyah dalam Masuknya Pemikiran Yunani ke Dunia Islam
Ketika Khalifah Bani Abbas Al Mansur sakit di tahun 765 M, dinasehati oleh menterinya Khalid Ibn Barmak (Seorang Persia), kepala rumah sakit Jundishapur agar memanggil Girgis Ibn Bukhtyishu untuk mengobatinya. Khalid Ibn Barmak sendiri adalah berasal dari Bactra, dan dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan serta filsafat, dan condong pada paham Mu’tazilah.
Selanjutnya Harun Al Rasyid menjadi Khalifah Abbasiyah pada tahun 786 M. Sebelumnya ia pernah belajar di Persia di bawah asuhan Yahya Ibn Khalid Ibn Barmak. Dengan demikian ia banyak dipengaruhi oleh kegemaran keluarga Barmak pada ilmu pengetahuan dan  filsafat. Pada zaman pemerintahan Harun Al Rasyid inilah penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab mulai dilakukan.
Peranan penerjemahan dalam memasukkan pemikiran Yunani ke dalam Islam itu telah banyak disebut oleh para ahli sejarah. De Lacy O’eary misalnya, mengatakan bahwa orang-orang Islam menguasai filsafat Yunani adalah melalui kegiatan penerjemahan dan pensyarahan bahasa Yunani, dan kegiatan ini banyak mendapat bantuan dari orang-orang Suryani. Sumber lain menyebutkan bahwa sebagian besar karya ilmu-ilmu populer ditemui oleh orang Islam melalui dorongan dari orang-orang Kristen Nestoria, khususnya para penerjemah dari Siria. Melalui saluran ini sebagian besar ilmu pengetahuan Yunani seperti ilmu pengetahuan kealaman, matematika astronomi, geografi dan kedokteran, dapat dijumpai orang-orang Islam. Khususnya dalam bidang kedokteran, sumbangan yang besar diberikan oleh Akademi Jundishapur yang dipimpin oleh dokter-dokter Yahudi dan Kristen.      

Melalui kegiatan penerjemahan itu para cendikiawan Muslim dapat menguasai berbagai disiplin ilmu pengeteahuan dan filsafat, dan mereka berusaha menambahkan kedalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam lapangan filsafat. Dengan demikian tidaklah tepat pendapat sebagian penelitian Barat yang cenderung memperkecil peranan kaum Muslimin, dimana mereka menganggap bahwa kaum Muslimin hanyalah sebagai penyalin, penerjemah, atau paling tidak sebagai penyarah dan komentator.
Anggapan ini dibantah oleh George Sarton yang pendapatnya dikutip oleh Dr. Effat al-Sharqawi. Beliau mengatakan bahwa pendapat demikian adalah keliru. Tidak ada kretifitas yang lebih besar dari kehausan yang mendominasi perasaan tokoh-tokoh pemikir Muslim akan ilmu pengetahun. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kaum muslimin setelah mengenal Khazanah Yunani segera berusaha mengkaji, memberi komentar dan menjelaskannya. Mereka mengemukakan analis kritik dan polesan Islami terhadap pemikiran Yunani itu.
Perlu juga dikemukakan di sini bahwa keadaan perkembangan filsafat Yunani, ketika dijumpai oleh kaum Muslimin tengah dalam keadaan mundur , bahkan hampir hancur, karena ditekan dan diabaikan oleh para penguasa saat itu. Khazanah ilmu pengetahuan Yunani menemukan penyelamatannya yang mampu membangkitkan kembali pokok-pokoknya yang lama dan mengungkapkan subtansi-subtansinya dengan uraian yang orisinil pada orang Islam, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd. Selain itu, kaum Muslimin juga berusaha mengkompromikan antara filsafat dan agama dengan cara yang adil, seimbang dan rasional. Lebih jauh lagi seringkali sumbangan sumbangan kaum Muslimin itu lebih mendalam dan lebih tinggi peringkatnya daripada sumbangan yang diberikan oleh kaum Iskandariah dan lainnya dari filosof Hellennistik.    
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa khalifah Abbasiyah adalah awal mula diterjemahkannya naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab. Sehingga lahirlah sejumlah Filosof Muslim terkemuka dikalangan umat Islam. Kemudian ilmu filsafat dari para Filosof Muslim inilah yang dikenal dengan Filsafat Islam.
    
C. Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani
Dilihat dari aspek sejarah, kelahiran ilmu Filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam. Usaha ini melahirkan sejumlah filosof besar muslim. Dunia Islam belahan timur yang berpusat di Bagdad, Irak lebih dahulu melahirkan filosof muslim daripada dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba, Spanyol.
Memperkuat pernyataan diatas, Ahmad Salabi dan Louis Ma’luf menguraikan bahwa sejarah kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa Daulah Abbasiyah pertama (132-232 H / 750-847 M). Ilmu ini ditransfer ke dunia Islam melalui penerjemahan dari buku-buku Filsafat Yunani yang telah tersebar di daerah-daerah Laut Putih seperti Iskandariah, Anthakian, dan Harran. Terlebih pada masa Al-Makmun yang dikenal sangat tertarik pada kemerdekaan berpikir, yang berkuasa antara 198-218 H / 813-833 M dan mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi, Bezantium yang beribu kota di Konstantinopel, yang juga dikenal dengan sebagai kota “Al-Hikmah”, pusat ilmu Filsafat. Dari kota ini, buku-buku filsafat diperoleh dan diterjemahkan sekalipun dari bahasa Suryani. Kegiatan penerjemahan ini disertai pula dengan uraian dan penjelasan seperlunya. Para cendikiawan ketika itu berusaha memasukkan Filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi dalam menjelaskan Islam, terutama akidah untuk melihat perlunya persesuaian antara wahyu dan akal.
Tentu saja, aktifitas para filosof di atas bersentuhan dengan penafsiran Al-Qur’an. Bahkan, kecenderungan menafsirkan Al-Qur’an secara filosofis besar sekali. Al-Kindi Misalnya, yang dikenal sebagai Bapak Filosof Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk memahami Al-Qur’an dengan benar, isinya harus ditafsirkan secara rasional, bahkan filosofis. Al-Kindi berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang lebih dalam di balik terbit-tenggelamnya matahari, berkembang-menyusutnya bulan, pasang-surutnya air laut dan seterusnya. Ajakan ini merupakan seruan untuk berfilsafat. Seperti halnya Al Kindi, Ibn Rusyd pun berpendapat demikian. Lebih jauh, Ibn Rusyd menyatakan bahwa tujuan dasar filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar. Dalam hal ini filsafat sesuai dengan agama, sebab tujuan agama pun tidak lain adalah menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan menunjukkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis.
Itulah sebabnya, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa sumber dan pangkal tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun mempunyai dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, filsafat banyak mengandung unsur-unsur dari luar, terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani.
Uraian di atas terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat Islam berkembang setelah umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia Yunani, seperti yang telah disebutkan oleh Nurcholis Madjid, yang menyatakan bahwa pemakaian kata “filsafat” di dunia Islam digunakan untuk menerjemahkan kata “hikmah” yang ada dalam teks-teks keagamaan Islam, seperti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Nurcholis Madjid bahwa orang-orang Islam berkenalan dengan ajaran Aristoteles dalam bentuknya yang telah ditafsirkan dan diolah oleh orang-orang Syria, dan itu berarti masuknya unsur-unsur Neoplatonisme. Cukup menarik bahwa sebagian orang Islam begitu sadar tentang Aristoteles dan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajarannya, namun mereka tidak sadar atau sedikit sekali mengetahui adanya unsur-unsur Neoplatonis di dalamnya. Ini menyebabkan sulitnya membedakan antara kedua unsur Hellenisme yang paling berpengaruh terhadap falsafah Islam itu karena memang terkait satu sama lainnya.
Sekalipun begitu, masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak muncul dengan jelas dalam berbagai paham tasawuf. Ibnu Sina misalnya, dapat dikatakan sebagai seorang Neo-platonis disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan rohani manuju Tuhan seperti yang dumuat dalam kitabnya, Isharat. Memang Neoplatonisme yang spiritualistik itu banyak mendapatkan jalan masuk ke dalam ajaran-ajaran Sufi, dan yang paling banyak menonjol adalah yang ada dalam ajaran sekelompok orang muslim yang menamakan diri mereka Ikhwan Ash-Shafa.
Demikian pula kita sepenuhnya dapat berbicara tentang pengaruh besar Aristoteles, yaitu dari sudut kenyataan bahwa kaum Muslim banyak memanfaatkan metode berfikir logis menurut logika formal (silogisme) Aristoteles ini, yaitu yang lebih dikenal dengan ilmu mantiq dikalangan umat Islam.
Akan tetapi mustahil melihat filsafat Islam sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, semua pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan karena itu mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibnu Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat An-Nubuwwat. Mereka juga mencurahkan banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak terdapat padanya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum Hellenis Kristen. Para Filosof Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme), asal usul penciptaan, dan seterusnya yang semua itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.
Dengan demikian, tampak jelas adanya hubungan yang bersifat akomodatif bahwa filsafat Yunani memberi modal dasar dalam penelusuran berfikir yang ditopang sejatinya oleh Al-Qur’an sejak dulu. Secara teologis, dapat dikatakan bahwa sumber Al-Qur’an secara Azali telah ada, maka filsafat Yunani hanya sebagai pembuka, sementara bahan-bahannya sudah ada di dalam Al-Qur’an sebagai desain besar Allah Swt. Akan tetapi, persoalan yang muncul adalah Orisinilitas filsafat Islam, apakah ia mengekor atau pelopor.
Tidak adanya orisinilitas yang mengesankan pada pemikiran kefilsafatan Islam klasik tidak perlu mengherankan. Sebab para filosof klasik Islam, betapapun pengembaraan intelektualnya adalah orang-orang yang relegius. Mungkin tafsiran mereka atas beberapa noktah ajaran agama tidak dapat diterima oleh para ulama ortodoks, namun berbeda dengan rekan-rekan mereka di Eropa pada masa-masa Skolastik, Renaisans, dan modern, yang umumnya justru menolak atau meragukan agama. Para filosof muslim klasik ini berfilsafat tetap karena dorongan keagamaan, malahan seringkali justru untuk membela dan melindungi keimanan agama. Karena relegiusitas mereka, pemikiran spekulatif kefilsafatan terjadi hanya dalam batas-batas yang masih dibenarkan oleh agama, yang agama itu sendiri bagi mereka telah cukup rasional sebagaimana dituntut oleh filsafat.
Pernyataan-pernyataan di atas dikuatkan pula oleh Abdul Mun’im bahwa Islam adalah agama yang memberikan kebebasan dalam membicarakan filsafat, berbeda halnya dengan Kristen. Dengan demikian orang Arablah yang memberikan keutamaan dalam menyebarkan filsafat Yunani dan menyiarkannya ke penjuru dunia. Lebih terbuka lagi, dinyatakan oleh O’Leray, “Sekarang, kita mengikuti jalannya filsafat Hellenis. Dari Yunani ia mengalir ke dalam pengetahuan Syria Lama. Kemudian, ia berjalan dari orang-orang Syria ke dalam dunia kaum muslimin yang berbahasa Arab. Orang-orang Arab kemudian memasukkannya kembali, jauh ke tengah-tengah dunia Barat”.
Sampai disini, dapat dinyatakan bahwa hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak Islam yang disebarkan ke berbagai dunia Barat.    

                                                   

D. Orisinilitas dan Otentisitas Filsafat Islam
Sejarawan Islam abad pertengahan, Ibnu Khladun (w.708 H/1406 m), mengakui adanya unsur Yunani dalam filsfat Islam. Ia menganalisa filsafat di dunia Arab dengan pendekatan sosiologis. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat Arab sebenarnya tidak memiliki kemampuan berfilsafat karena keseharian mereka disibukkan dengan urusan pengaturan dan pembelaan negara. Filsafat masuk ke dalam Islam di Barat (Andalusia), Abu Said al-Andalusi dalam kitabnya Thabaqatul umam, ia mangatakan masyarakat Arab adalah masyarakat sederhana yang tidak mampu berfilsafat. Bedanya adalah ia yang berasal dari Barat cenderung rasis dalam menganalisa permasalahan. Said menyimpulkan bahwa dalam tradisi Arab hanya dikenal dua orang filosof, yaitu Al-Kindi dan al-hamdani, sementara filosof lainnya berasal dari Barat. Pandangan rasis said inilah yang tampaknya di kemudian hari mempengaruhi tesa Ernest Renan dalam membagi fikiran manusia berdsarkan ras.
Dalam ranah pemikiran kontemporer, hampir semua ajaran Islam yang menekuni bidang filsafat juga mengakui bahwa filsafat Islam menerima banyak pengaruh dari peradaban luar, tidak saja dari Yunani. Mustafa Abdul Raziq misalnya menganggap bahwa keterpengaruhan adalah sebuah bentuk aksioma dari sejarah peradaban manapun. Tidak ada yang perlu diperdebatkan bahwa semua peradaban tidak luput dari pengaruh dan pengalaman peradaban sebelumnya. Termasuk juga didalamnya peradaban Yunani. Permasalahan yang muncul sebenarnya adalah pada bentuk metode orisinil (manhaj ashil) milik peradaban tersebut. Mustafa Abdul Raziq membuat pendekatan baru dalam meneliti orisinilitas filasfat dalam peradaban Islam. Untuk menghasilkan konklusi yang lebih berkesesuaian dengan realitas, ia mengajak para pengkaji filsafat Islam untuk terlebih dahulu meneliti sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran filosofis (al nazhar al-aqliy) dalam Islam sesungguhnya dimulai dalam sejarah tasyri’ tersebut. Jika ditelusuri sejarah ini, maka geneologi filsafat dalam Islam sesungguhnya sudah dumulai sejak munculnya ijtihad fiqih. Ijtihad merupakan usaha untuk memfungsikan peran akal dalam bimbingan wahyu adalah terma yang paling mewakili untuk menampilkan metode Islam yang orisinil dalam filsafat dan tidak terkontaminasi peradaban lain.
Pemikiran filosofis didunia Arab diakui oleh Mustafa sebenarnya sudah ada sejak masa pra Islam. Akan tetapi sejak kemunculan Islam pemikiran tersebut lebih terarahkan karena mendapatkan banyak dukungan dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang berisi ajakan agar manusia menggunakan akal fikiran dan perintah agar merenungkan setiap fenomena yang ditemui oleh akal fikiran. Al-qur’an dan Sunnah juga mengajarkan agar akal fikiran digunakan untuk mencerna dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri. Mustafa Abdul Raziq kemudian sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Ushul fiqih dan Ilmu kalam adalah dua disiplin ilmu orisinil dalam Islam yang merupakan bentuk modifikasi dari nash-nash al-Qur’an daaaaan as-Sunnah yang dipahami secara filosofis oleh umat Islam, sehingga menjadi bagian ilmu filsafat dalam Islam.
Ibrahim Madkour juga memulai kajian di bidang filsafat Islam dengan terlebih dahulu membuat pengakuan bahwa filsafat adalah fenomena generik (al-zhahirah al-insaniyyah) di mana keterpengaruhan bukanlah sebuah aib bagi sebuah peradaban. Setelah itu Ibrahim Madkour juga mengatakan bahwa sebesar apapun filsafat asing melakukan inflitrasi ke dalam peradaban Islam, umat Islam tetap mampu membuat ciri yang khas dan independen.
Secara umum ada tiga metode yang digunakan oleh Ibrahim Madkour dalam mengkaji otentisitas dan otoritas filsafat Islam. Pertama, metode historis (mutaba’atu sair) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah yang berupa teks-teks klasik karya para filosof Islam. Kedua, dengan melakukan komparasi (muqaranah) antara pemikiran Islam dengan pemikiran lainnya, baik sebelum ataupun sesudah Islam. Ketiga, dengan membuat teori ketersambungan filsafat, dimana Islam adalah salah satu mata rantai dari sejarah panjang filsafat.
Ibrahim Makour mengaplikasikan tiga metode ini dengan mengangkat lima nazhariyah (teori) yang pernah muncul di filsafat Islam. Teori pertama, adalah tentang kebahagiaan. Teori kedua, tentang kenabian. Teori ketiga tentang nafs. Teori keempat, tentang ketuhanan. Teori kelima, tentang kebebasan berkehendak.
Penelitian Ibarahim Madkour terhadap lima teori ini mengahasilkan kesimpulan bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang ekletis (al-tawfiq) dan sinkretis (al-ikhtiar). Filsafat Islam bisa melakuka harmonisasi antara akal (aql) dan periwayatan (naql), dan juga antara filsafat dengan agama. Filsafat Islam memiliki karakter yang bebas menentukan pilihan sepanjang sesuai dengan ruh islami. Filsafat Islam juga mampu memadukan antara karya filosof Barat (Yunani) dengan Filsafat Timur (India dan Persia) di bidang kedokteran dan perhitungan. filsafat Islam juga mampu memadukan antara Aristoteles dan plato.
Filsafat Islam menurut Ibrahim Madkour adalah filsafat yang progresif dan mampu melampaui para periode sebelumnya. Sebagai sebuah bagian dari mata rantai filsafat, Islam mampu memanfaatkan warisan (legacy) peradaban-peradaban kuno, Islam mampu membentangkan jalan bagi lahirnya peradaban-peradaban yang datang sesudahnya. Islam lah yang membangkitkan filsafat Yahudi dan Nasrani dari kubur (marqad) mereka masing-masing.
Dalam karyanya The Rocontruction of Religion Thought in Islam  Muhamamad iqbal juga berkesimpulan bahwa filsafat Islam lah yang menjadi pemasok bagi pemikiran filsfat abad pertengahan dan abad modern. Pemikir semisal Roger Baicon adalah contoh filosof Barat yang terpengaruh dengan Manhaj Tajribiy (metode impiris) yang dikembangkan di dunia Islam.
Masalah orisinilitas filsafat Islam juga dikaji oleh tokoh Ali Sami an-Nasyar. Sepanjang hayatnya adalah dipergunakan untuk membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak pernah berhutang dengan peradaban Yunani. Ia mengarang trilogi Nasyatul Fikril Falsafi fil Islam yang berisikan pandangan-pandangan barunya mengenai wujud filsafat Islam. Menurut Ali Sami an-Nasyar, filosof Islam adalah mereka yang menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai muntalaq pemikirannya, bukan dari karya bangsa Yunani. Walhasil filosof Islam dalam perspektif Ali adalah Fuqaha, mutashawwifun, dan Mutakallimun.
Jika megacu kepada al-Qur’an, jelas tidak benar jika Islam dituduh tidak mampu membuat kreasi dan mendatangkan hal baru di hadapan konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab al-Qur’an telah banyak berbicara tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang sama sekali berbeda dengan yang pernah difikirkan oleh bangsa Yunani. Tidak benar juga jika Islam dituduh sebagai agama yang tidak mampu memberikan seperangkat sistem berfikir yang filosofis, sebab Islam adalah agama yang menghormati akal. Sebegaimana disebutkan dalam surat al-Jatsiyah ayat 13, yang artinya:
 “Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.
Dari beberapa uraian dan pendapat para pakar filsafat tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani. Filsafat Islam mempunyai orisinilitas dan otentisitas tersendiri yang berbeda dengan filsafat Yunani. Memang betul dalam beberapa hal filsafat Islam ada yang terpengaruh dari pemikiran Yunani dan peradaban lainnya, namun itu tidak menghilangkan ciri keislamannya, yaitu berupa pandangan hidup yang bersumber dari al-Qur’an dan As-Sunnah.


KESIMPULAN

             Dari berbagai uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang didalamnya terdapat ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu. Filsafat Islam adalah filsafat yang diterapkan berdasarkan pada hukum Islam. Ia  merupakan filsafat khusus dan objeknya tertentu, yaitu hukum Islam.
 Adapun hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani adalah sebagai pengembang, penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak Islam. Filsafat Islam itu lahir karena dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam, yakni pada masa Khalifah Abbasiyah.
Filsafat Islam mempunyai orisinilitas dan otentisitas tersendiri yang berbeda dengan filsafat Yunani. Memang betul dalam beberapa hal filsafat Islam ada yang terpengaruh dari pemikiran Yunani dan peradaban lainnya, namun itu tidak menghilangkan ciri keislamannya, yaitu berupa pandangan hidup yang bersumber dari al-Qur’an dan As-Sunnah.
            Jika megacu kepada al-Qur’an, jelas tidak benar jika Islam dituduh tidak mampu membuat kreasi dan mendatangkan hal baru di hadapan konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab al-Qur’an telah banyak berbicara tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang sama sekali berbeda dengan yang pernah difikirkan oleh bangsa Yunani.















DAFTAR PUSTAKA
A. Mustofa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm. 9.
Dedi Supriyadi, Filsafat Islam; Konsep, Filosof dan Ajarannya, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm. 24.
A.    Mustafa, Filsafat Islam, hlm. 18.
Nurcholish Madjid, “Memahami Hikmah dalam Agama” dalam Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Mediacita, Jakarta, 2000, hlm. 397. 
A. Mustafa, Filsafat Islam, hlm. 17.
Dedi Supriyadi, Filsafat Islam; Konsep, Filosof dan Ajarannya, hlm. 28.
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet.II, 1978, hlm. 10.
Abudin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 46.
De Lacy O’Leary, How Greek Science Passed to the Arab, Routledge, London, cet. III. 1957, hlm. 20. 
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, hlm. 11.
Bertold Spuler, The Muslim World, E.J Brill, Leiden, 1960, hlm. 56.
Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, Pustaka, Bandung, cet. I, 1986, hlm. 76. 
Abudin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf, hlm. 53.
Moh Ridwan Assegaf, Antara Kebudayaan Timur Islam dan Barat, Yayasan Obor, Jakarta, 1989, hlm. 82 & 85.
Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Iklam, Dar Al-Fikr, Beirut, 1973, hlm. 447.
Dedi Supriyadi, Filsafat Islam; Konsep, Filosof dan Ajarannya, hlm. 36.
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta, 1995, hlm. 218-


0 komentar:

Posting Komentar