Irvan

http://irvan-ushuluddin.blogspot.co.id/
alumni mahasiswa UIN AR-RANIRY,Fakultas Ushuluddin Aqidah dan Filsafat.
About Me
setelah menamatkan sekolah swasta (MIS Tuwi Kareung) di Kecamatan Pasie Raya (dulunya Teunom), Kab Aceh Jaya, untuk tingkat pertama kemudian melanjutkan SLTP N 3 teunom selesai tahun 2005, setelah itu melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri 2 MEULABOH selesai tahun 2008, kemudian masuk ke Universitas UTU Meulaboh dan alhamdulillah tidak Selesai hehheh..., tahun 2009 masuk ke UIN Ar-Raniry di Fak. Ushuluddin siap pada tahun 2013 , sekarang sedang mengikuti program Pasca Sarjana UIN AR-RANIRY .

Sabtu, 21 Juni 2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Satu aliran yang tumbuh di samping berkembangnya aliran syiah, ialah aliran tasawuf. Ada yang menyatakan bahwa tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Ada juga yang mengatakan bahwa tujuan tasawuf adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan berusaha agar bersatu dengan Tuhan.[1]
            Bermacam-macam pendapat ulama sufi dalam memberikan ta’rif  tasawuf. Junaidi al-Baqdady penghulu terekat mengatakan tasawuf yaitu membersihkan hati dari pergaulan sesama manusia meninggalkan segala keinginan nafsu, menghapuskan sifat-sifat basyariah mempergunakan sifat-sifat ruhaniah, berpegang pada Syariat.[2] Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan tasawuf sebagai jalan menuju kepada hakikat sambil meninggalkan segala sesuatu yang ada pada makhluk, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, mempergunakan segala akhlak yang baik dan meninggalkan segala akhlak yang buruk.[3] Dalam Syarah Hikam. tasawuf diartikan sebagai jalan kepada tarekat dan sumber nur hakikat. Ulama-ulama dari ahli tasawuf dinamakan sufi.
            Banyak tarekat-tarekat dari para sufi, sanad silsilahnya diaturkan melalui Ali dan keturunannya, seperti tarekat Qadariah, tarekat Hadadiyah, tarekat Rifaiyah Naqsyabandiah dan sebagainya. Banyak sekali para sufi mempergunakan pendapat-pendapat Syiah yang berlandaskan hadis dhaif yang dirawi dari Ali atau keturunannya, seperti masalah mahdi, quthub, zuhud dan lainnya.
            Diceritakan  bahwa di antara ajaran-ajaran tarekat Rifaiyah, supaya mereka pada tiap-tiap tahun harus berkhulwah tujuh hari,[4] mulai dari tanggal 9 bulan Muharam yaitu untuk menampakkan kesedihan mereka kepada Husain bin Ali yang dibunuh Yazid bin Mu’awiyah di Karbala pada sepuluh bulan Muharam.
            Sebagaimana diketahui bahwa tasawuf  dan sufi tidak ada di masa sahabat dan masa tabi’in, karena tasawuf dari orang sufi untuk tarekat, tarekat untuk hakikat , di masa sahabat dan tabi’in. Nama tareqat dan hakikat, menurut istilah sufi belum pernah terdengar. Hanya tersebut setelah  masa tabi’in, yaitu setelah berkembangnya bermacam-macam  aliran di kalangan  umat Islam, di masa sahabat hanya terkenal dengan nama sahaby dan di masa tabi’in hanya terkenal dengan nama  tabi’iy dan belum terdengar nama sufi pada masa itu.[5]
            Tengku Haji Hasan Krueng Kalè adalah salah satu ulama yang dikenal dengan sebutan al-Falaqi karena keahliannya yang paling menonjol dalam ilmu falak. Dalam pengamalan ibadah ia dikenal sebagai seorang sufi sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia. Ia salah seorang ulama Aceh yang sangat dekat dengan Presiden Soekarno pada waktu itu.[6] Muhammad  Hasan juga belajar ilmu falak dari seorang pensiunan Jenderal Turki yang menetap di Mekkah sehingga akhirnya ia alim dalam bidang ilmu falak dan dikenal dengan panggilan teungku Muhammad Hasan al-Asyi al-Falaki.
            Selain alim dalam berbagai ilmu agama Islam, Abu krueng kalè juga terkenal dengan tasawuf dan kesufiannya. Abu Krueng Kalè adalah orang pertama yang memperkenalkan dan mengembangkan tarekat al-Haddadiyah di Serambi Mekkah, dibawa langsung dari guru-gurunya di tanah suci Mekkah, seperti yang dijelaskan dalam sanad tarekat.[7]
            Abu Krueng Kalè juga memperkenalkan tentang metode membaca samadiah menurut tarekat al-Haddadiyah. Caranya dimulai dengan membaca Istigfar 3 kali dan shalawat 5 kali, lalu dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah yang diniatkan untuk Rasulullah saw dengan lafaz khusus. Kemudian membaca surat al-Ikhlas dan diakhiri dengan do’a. Abu Krueng Kalè juga menjelaskan sebaiknya seseorang terlebih dahulu membaca samadiah sepuluh ribu kali yang diniatkan bagi diri sendiri lalu sepuluh ribu kali untuk orang tuanya, dan sepuluh ribu kali untuk gurunya. Akan tetapi supaya lebih afdhal untuk diri sendiri dibaca seratus ribu kali.
            Menurut Abu Krueng kalè  keistimewaan samadiah dengan membaca surat al-Ikhlas didasari atas Hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim bahwa “ Barang siapa yang membaca surat al-Ikhlas sepuluh ribu kali, maka Allah akan membebaskannya dari api neraka.” Dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang lain Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa  membaca surat al-Ikhlas sepuluh ribu kali bagi mayit maka Allah akan membebaskannya dari api neraka.”[8]

BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG TASAWUF
A.      Pengertian dan Tujuan Tasawuf
1.    Pengertian Tasawuf
Tasawuf atau sufisme adalah salah satu cabang keilmuan dalam Islam, atau secara keilmuan merupakan hasil peradaban Islam yang lahir setelah Rasulullah wafat.[9] Tasawuf adalah sebagian ilmu ajaran Islam yang membahas cara-cara seseorang mendekatkan diri kepada Allah, seperti berakhlak yang tinggi (mulia), tekun dalam beribadah tanpa keluh kesah, memutuskan hubungan selain Allah karena kita merasai tidak memiliki sesuatu apapun di dunia ini dan tidak dimiliki oleh siapapun di kalangan makhluk. Menolak hiasan-hiasan duniawi seperti kelezatan dari harta benda yang biasa memperdaya manusia, dan menyendiri menuju jalan Allah dalam mengasingkan diri dari keramaian dunia untuk beribadah. Tasawuf adalah ajaran kerohanian yang bertujuan mencari bagaimana cara seorang Islam dapat sedekat mungkin dengan Allah Swt.[10]
Ilmu tasawuf adalah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia mengenal Allah dan dengan tasawuf ini seseorang dapat melangkah sesuai dengan tuntunan yang paling baik dan benar dengan akhlak yang baik serta aqidah yang kuat, Oleh karena itu seorang mutasawwif tidak mempunyai tujuan lain selain mencapai ma’rifat billah (mengenal Allah) dengan sebenar-benarnya dengan tersingkapnya dinding hijab yang membatasinya dengan Allah Swt.
Mendekatkan diri kepada Allah Swt. selalu dilandasi semangat beribadah dengan tujuan mencapai kesempurnaan hidup dan ma’rifat. Yang dimaksud dengan ma’rifatullah adalah melihat Tuhan dengan hati secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesarannya tapi tidak dengan kaifiyat. Artinya Tuhan tidak digambarkan sebagai benda atau seperti manusia ataupun bentuk tertentu sebagai jawaban tentang bagaimana zat Allah.[11]
Sedangkan yang dimaksud dengan kesempurnaan hidup adalah tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan atau insan kamil, Insan kamil dalam pandangan ahli sufi berbeda-beda. Di antaranya seperti yang disebutkan oleh Ibnu Arabi bahwa Insan Kamil adalah manusia yang sempurna karena adanya realisasi wahdah asasi dengan Allah dengan mengakibatkan adanya sifat dan keutamaan Tuhan pada dirinya.
Istilah tarekat dalam ilmu tasawuf tidak ditentukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang syaikh tarekat dan para pengikutnya, tetapi meliputi segala aspek ajaran Islam, seperti salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Semua ini adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. sebab pada hakikatnya tasawuf  itu secara umum merupakan usaha mendekatkan diri kepada Allah Swt. Jadi, usaha mendekatkan diri kepada Allah yaitu tasawuf, sedangkan salah satu cara untuk menempuhnya adalah tarekat. Ajaran pokok tarekat pada hakikatnya sama dengan ajaran tasawuf.[12]
2.    Tujuan tasawuf
            Secara umum, tujuan tasawuf adalah agar berada sedekat mungkin dengan al-Haqq. Namun bila diperhatikn karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran utama dari tasawuf, yaitu: Pertama, tasawuf yang menekankan pembinaan aspek moralitas yang tinggi sebagaimana yang dikehendaki Rasul. Contohnya, seseorang yang mendapatkan musibah bisa sabar dan bahkan bisa bersyukur atas musibah yang dihadapinya, karena ternyata yang diterimanya adalah musibah yang kecil karena ada musibah yang lebih besar,[13] Kedua, tasawuf ‘irfani yaitu tasawuf yang bertujuan agar bisa ma’rifat kepada Allah melalui penyingkapan langsung yang sering disebut dengan kasf al-hijab. Tasawuf ini bersifat teoritis dengan seperangkat pengetahuan secara khusus yang diformulasikan secara sistematis analitis. Ketiga, tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada al-Haqq secara mistis filosofis, pengkajian hubungan antara hamba dengan al-Haqq dan makna hubungannya.
            Makna dekat dengan Allah dapat diketahui melalui tiga simbolisme, yaitu dekat dalam arti melihat al-Haqq dan merasakan kehadirannya dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan al-Haqq sehingga terjadi dialog antara hamba dengan al-Haqq, dan dekat sebagai penyatuan hamba dengan al-Haqq sehingga terjadi penyatuan antara keduanya dalam iradat-Nya. Tujuan tasawuf nampak keragamannya sebagaimana pandangan Rifa’i Siregar,[14] yaitu:
1.        Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak al-haqq, karena Dialah penggerak utama dari semua kejadian alam ini.
2.        Pelepasan secara total semua keinginan pribadi dan melepas diri dari sifat-sifat jelek yang berkenan dengan kehidupan duniawi teresterial.
3.        Peniadaan kesadaran diri serta pemusatan diri pada perenungan terhadap al-Haqq semata, tiada yang dicari melainkan Dia.
B.       Sumber dan Dasar Tasawuf
1.    Sumber Tasawuf
Menurut para Sufi, sumber tasawuf adalah dari agama Islam itu sendiri, tasawuf merupakan saripati dari ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al Sunnah, ajaran tasawuf Islam bukanlah semata-mata lahir dari ajaran Islam tetapi merupakan perpaduan atau pengaruh berbagai unsur ajaran agama sebelum agama Islam itu lahir, seperti pengaruh ajaran Hindu, Yahudi, Kristen, Persia, Yunani dan sebagainya.
Tasawuf Islam adalah murni bersumber dari semangat dan ruh ajaran Islam itu sendiri serta perilaku Rasul dan sahabat-sahabatnya, terdapat kesamaan antara ajaran tasawuf Islam dengan ajaran spiritual agama-agama lain. Karena memang semua agama mengajarkan nilai kehidupan spiritual, baik Yahudi, Kristen maupun Islam sama-sama bersumber dari yang satu, tentulah ada kesamaan di antaranya tetapi tidak berarti ajaran tasawuf Islam merujuk kepada ajaran agama lain selain Islam. Semua agama selalu berusaha membimbing dan menyadarkan manusia untuk mampu melihat realitas lain yang lebih hakiki, yaitu realitas Ilahi. Dalam Islam, hal-hal yang berhubungan dengan kecerdasan emosi dan spiritual seperti konsistensi (istiqamah); kerendahan hati (tawadhu); berusaha dan berserah diri (tawakkal); ketulusan, totalitas (kaffah); keseimbangan (tawazun); integritas dan penyempurnaan (ihsan) itu dinamakan akhlakul karimah (akhlak yang mulia).
Dasar ajaran tasawuf oleh orientalis Barat banyak yang berpandapat bahwa ajaran tasawuf dibentuk oleh dua unsur yaitu unsur Islam dan unsur dari luar Islam yaitu unsur Masehi ( Agama Nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu dan unsur Budha dan unsur Persia.[15]
1.        Unsur Islam
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Dalam dimensi kehidupan yang bersifat batiniahlah kemudian lahir tasawuf. Kehidupan tasawuf mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, dan praktik kehidupan Nabi serta para sahabatnya. al-Quran antara lain berbicara tentang kemungkinan upaya saling mencintai (mahabbah) antara manusia dengan Tuhan,[16] Perintah agar manusia senantiasa bertaubat, membersihkan diri dan memohon ampunan kepada Allah,[17] petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan di manapun mereka berada,[18] dan keyakinan bahwa Tuhan dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendakinya,[19] selanjutnya al-Qur’an mengingatkan manusia agar  tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda, serta senantiasa bersikap sabar untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Sebelum diangkat menjadi Nabi, Muhammad sosoknya sebagai sufi. Nabi sering mengasingkan diri di gua Hira menjelang datangnya wahyu. Muhammad menjauhi pola hidup  kebendaan di mana waktu itu orang Arab terbenam di dalamnya. Orang-orang Arab memakai segala cara untuk mendapatkan harta, misalnya melakukan praktek perdagangan dengan cara menipu.[20]
Situasi masyarakat Arab pada masa itu, sebenarnya ikut mempersubur lahirnya tasawuf. Setelah Islam tersebar ke segala penjuru, pemerintahannya kokoh, dan masyarakatnya makmur, lalu muncullah pola hidup mewah, glamor dan berfoya-foya. Dalam keadaan demikian, muncullah sekelompok masyarakat yang melakukan protes dengan cara hidup zuhud seperti diperlihatkan oleh Hasan al-Bashri. Secara gigih Hasan al-Bashri mampu mengembalikan umat Islam kepada garis agama, sikap protes Hasan al-Bashri kepada umat Islam mendapat simpatik dari banyak orang dan timbullah pola hidup tasawuf.
Pada masa itu, muncul beberapa aliran keagamaan, seperti Khawarij dan Mu’tazillah. Ajaran keagamaan ini dikenal banyak mempergunakan rasio dalam mendukung ide-idenya. Kecenderungan aliran keagamaan Islam yang menganut paham rasionalisme ini lalu mendapat perlawanan dari komunitas tasawuf. Kelompok yang terakhir ini berusaha mengasingkan diri dan memusatkan diri untuk beribadah kepada Allah.[21] Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa munculnya tasawuf di kalangan umat Islam bersumber pada dorongan ajaran Islam dan faktor situasi sosial dan sejarah kehidupan masyarakat pada umumnya.[22]
2.        Unsur Dari Luar Islam
Menurut para orientalis Barat, ada juga unsur dari luar Islam masuk ke dalam tasawuf karena secara historis agama-agama di luar Islam tersebut telah ada sebelum Islam. Agama-agama di luar Islam tersebut telah di kenal oleh masyarakat Arab yang kemudian masuk Islam.
            Adapun unsur-unsur dari luar Islam yang diduga mempengaruhi tasawuf antara lain adalah:
a.         Unsur Masehi
Orang Arab sangat menyukai kehidupan kependetaan, khususnya dalam masalah latihan jiwa dan ibadah. Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf dipengaruhi oleh agama Nasrani yang ada pada zaman jahiliah. Demikian juga Ignaz Gold Ziher  mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah bagian dari ajaran agama Nasrani. Nicholson berpendapat bahwa istilah tasawuf berasal dari agama Nasrani, bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama Nasrani.[23]
Sikap fakir dipercayai sebagai unsur Nasrani yang mempengaruhi tasawuf Islam. Menurut keyakinan Nasrani, Isa bin Maryam adalah seorang yang fakir, dan kitab Injil juga disampaikan kepada orang fakir. Isa berkata, ”Beruntunglah orang-orang miskin, karena bagi merekalah kerajaan Allah. Beruntunglah orang-orang yang lapar, karena mereka akan kenyang.” Selain itu peranan Syeikh (dalam tasawuf) juga menyerupai pendeta. Bedanya pendeta dapat menghapus dosa. Pendeta juga hidup selibat, yaitu tidak melakukan perkawinan karena kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian seseorang sang pencipta. Dan seorang sufi dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah.[24]
b.        Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani, khususnya dalam filsafat mulai masuk ke dunia Islam pada akhir Daulah Umaiyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah. Metode berpikir filsafat Yunani ikut mempengaruhi pola berpikir sebagian umat Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Jika dulunya tasawuf Islam merupakan tasawuf amaliah (akhlak), maka setelah terpengaruh filsafat Yunani tasawuf Islam mulai mengalami banyak perubahan, salah satu penyebabnya adalah banyak para tokoh dunia Islam yang mengadopsi pemikiran dari Barat, sehingga sadar atau tidaknya tasawuf Islam sendiri mulai terpengaruh.
Menurut sudut pandang filsafat, segala sesuatu diukur menurut akal pikiran. Tetapi menurut filsafat Neo-Platonis, hakikat yang tinggi hanya dapat dicapai lewat pancaran Tuhan pada hati manusia setelah seseorang membersihkan dirinya dari pengaruh materi. Ungkapan kaum Neo-Platonis “kenalilah dirimu dengan dirimu.” Kemudian dimodifikasi beberapa orang sufi menjadi “siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya.”
c.         Unsur Hindu dan Budha
Ada hubungan antara tasawuf dan sistem kepercayaan Hindu, misalnya dalam soal fakir, al-Birawi mencatat  ada persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu. Sama halnya dengan soal paham reinkarnasi, yaitu perpindahan ruh dari satu badan ke badan yang lainnya. Dan juga ada persamaan dalam pelepasan dari dunia Hindu dan Budha dengan konsep sufi soal persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Menurut Qamar Kailani, pendapat di atas terkesan tidak wajar, karena jika ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu dan Budha berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu dan Budha ke Makkah, padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.
d.        Unsur Persia
Sebenarnya antara Arab dan Persia sudah ada interaksi sejak lama, khususnya dalam bidang politik, pemikiran kemasyarakatan dan bidang sastra. Tetapi belum ditemukan bukti kuat bahwa khazanah keruhanian Persia telah masuk ke tanah Arab. Sebaliknya, khazanah keruhanian Arab justru masuk ke Persia lebih dahulu melalui para ahli tasawuf di dunia.
Dapat disimpulkan bahwa tasawuf bersumber dari ajaran Islam yang dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabat. Hal ini dapat dilihat dari azas-azasnya yang semuanya bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa setelah tasawuf berkembang menjadi pemikiran, tasawuf mendapat pengaruh dari filsafat Yunani, Hindu, Budha dan Persia.
2.    Dasar Tasawuf
Ajaran tasawuf bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah, sama kedudukannya dengan ajaran lainnya dalam Islam, seperti teologi, fiqh dan sebagainya. Ajaran tasawuf bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang memerlukan bantuan pemikiran yang sehat dan lurus. Yaitu pemikiran yang tidak keluar dari semangat al-Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri, dan tidak menentang rukun iman dan rukun Islam.
Boleh dikatakan bahwa tasawuf itulah sebenarnya inti ajaran agama Islam, karena memiliki empat alasan, di antaranya: pertama, Kehidupan yang kekal adalah kehidupan di akhirat nanti yang kebahagiaannya sangat bergantung kepada selamatnya rohani manusia dari perbuatan baik dan buruk. Kedua, Kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan di dunia ini sebenarnya terletak pada adanya ketenangan batin yang dihasilkan dari kepercayaan pada Tuhan. Ketiga, Manusia dalam perjalanan hidupnya akan sampai pada batas-batas di mana harta benda, pangkat jabatan dan lainnya, yaitu pada saat usia sudah lanjut yang ditandai dengan melemahkan fisik, kurang berfungsinya anggota tubuh dan kurang selera terhadap berbagai kemewahan. Pada saat seperti ini manusia tidak ada jalan lain kecuali dengan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, tempat manusia harus mempertanggungjawabkan amalannya. Keemmpat, Suasana kehidupan modern yang penuh dengan berbagai paham sekuler seperti memuja materi, kepuasan nafsu, keperkasaan dan sebagainya, sering menyeret manusia kepada kehidupan yang penuh persaingan. Keadaaan tersebut semakin diperburuk dengan munculnya berbagai produk budaya yang negatif mulai dari makanan dan obat-obat terlarang, hiburan yang melupakan diri, pakaian yang mengundang syahwat, dan sebagainya. Hal ini memberi pengaruh negatif berat pada generasi muda. Dalam keadaan seperti ini tasawuf dapat menjadi salah satu cara alternatif untuk mengatasi masalah ini secara ekonomis, tetapi hasilnya sangat efektif.
Melihat keuntungan dan kelebihan yang diberikan oleh tasawuf ini, maka tidak ada alasan untuk tidak menerima tasawuf sebagai bagian dari integral dari ajaran Islam, bahkan tasawuf harus diletakkan pada barisan paling depan untuk menyelamatkan kehidupan manusia dari bahaya kehancuran dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat.[25]
C.      Pembagian Tasawuf.
1.    Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi (tasawuf akhlak) adalah laku tasawuf yang dihiasi dengan akhlak yang baik dan terpuji. Di sini seorang pelaku tasawuf menghindari watak yang tidak sehat seperti riya (pamer), sum’ah (ingin didengar), ujub (membanggakan diri), sombong, egois dan lainnya. Setelah menyingkirkan perilaku yang tidak baik, seseorang lalu menghiasi diri dengan takwa dan ibadah, seperti salat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Pelaku tasawuf akhlaqi selalu bersikap adil dan menjauhi sikap berdusta dan zalim. Dia selalu merasa disaksikan oleh Yang Maha Mengetahui.[26]
Sangat penting dalam ajaran tasawuf akhlaqi mengisi hati (kalbu) dengan sifat khauf, yaitu merasa khawatir terhadap siksaan Allah. Seorang sufi adalah sosok yang zuhud, faqir, sabar, ridha, tawakkal dan musyahadah. Hanya mengharap pahala dari Tuhan Yang Maha Pemurah. Ada dua cara yang dapat dilakukan seorang sufi untuk memperdalam rasa ketuhanannya yaitu: Pertama; munajat, yaitu melaporkan diri kehadhirat Allah atas segala aktifitas yang dilakukan seseorang. Contohnya melontarkan keluhan dan mengadukan nasip dengan untaian kalimat yang indah seraya memuji keagungan. Hal ini biasanya dilakukan dalam suasana hening seperti setelah salat tahajud. Kedua; zikir maut, yaitu melakukan zikir ke hadhirat Allah sambil mengingat mati (maut) yang tak mungkin terhindarkan oleh siapapun. Seorang sufi berkeyakinan bahwa ingat akan mati merupakan rangkaian aktifitas rohani yang perlu dibina dan dikembangkan. Dengan selalu mengingat kematian yang setiap saat bisa datang, juga berzikir dan senantiasa mengingat Allah, maka seseorang akan terpacu untuk beribadah dan berbuat kebajikan.
2.    Tasawuf ‘Amali
Dalam tasawuf ‘amali (tasawuf amal) ada beberapa istilah, yang pertama adalah murid yang terdiri dari:
1)        Mubtadi’, artinya pemula, yaitu seseorang yang baru mempelajari syariat
2)        Mutawasth, yaitu seseorang yang sudah mempunyai pengetahuan yang cukup tentang syariat Islam
3)        Muntahi, yaitu seseorang yang ilmu syariatnya telah matang, dan dia juga telah menjalani tarekat dan mendalami ilmu batiniah sehingga jiwanya bersih dan tidak melakukan maksiat.
Syariat Islam berperan bagi orang-orang yang ingin memasuki lapangan tasawuf. Jadi, melaksanakan syariat Islam itu merupakan kriteria utama bagi seorang murid.
Istilah kedua dalam tasawuf ‘amali adalah syaikh, yaitu seorang pemimpin kelompok keruhanian. Syaikh adalah pengawas para murid dalam segala kehidupan. Dia merupakan penunjuk jalan yang sewaktu-waktu dianggap sebagai perantara antara seorang murid dengan Tuhannya yang biasa disebut Raithah. Syaikh juga disebut Mursyid, yaitu orang yang sudah melalui tingkat khalifah. Pada dasarnya seorang murid harus tunduk kepada syaikh, menyerahkan diri sepenuhnya kepada syaikh, setia dan rela dengan perlakuan apa saja yang ia terima dari syaikhnya.
Dari amalan serta jenis ilmu yang dipelajari dalam tasawuf ‘amali, ada dua macam hal, yang disebut dengan ilmu lahir dan ilmu batin yang terdiri dari empat kelompok: Pertama, syari’at, yaitu amalan lahir yang penting dalam agama dan biasa dikenal dengan rukun Islam dan segala hal yang berhubungan dengannya. Syari’at bersumber dari al-Qur’an dan Hadist. Kedua, tharekat, yaitu tata cara yang telah digariskan dalam agama yang dilakukan hanya karena penghambaan diri kepada Allah dan karena ingin berjumpa dengan Allah. Ketiga, hakikat, yang diartikan sebagai aspek batiniah. Hakikat merupakan rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syariat dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi. Keempat, ma’rifat, yaitu pengalaman, pemahaman dan penghayatan yang mendalam tentang Tuhan melalui hati sanubari yang sedemikian lengkap dan luas, sehingga jiwa seorang sufi menyatu dengan Tuhan.[27]
Dalam tasawuf ‘amali dikenal beberapa istilah yang menunjukkan seorang sufi melalui bimbingan seorang guru. Yaitu:
1)        Al-manazil, yaitu tempat-tempat perhatian yang dilalui seorang mubtadi, misalnya timbul getaran hati untuk menghentikan kelalaian.
2)        Al-masyahid, yaitu hal yang terlihat di tengah perjalanan yang sedang ditempuh baik oleh mutawasyith, misalnya masyhadat al-hayawaniah yaitu nafsu kebinatangan pada manusia terlihat. Juga ada nafsu qalbiyah yaitu jika berjumpa dengan kotoran, ia saling berebutan antar sesamanya, misalnya memperebutkan barang yang sudah jelas haramnya.
3)        Al-maqamat, yaitu derajat yang diperoleh seorang sufi dengan usaha sendiri setelah selamat menempuh perjalanan yang panjang dan berat.
4)        Al-ahwal, yaitu derajat dan situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang atas anugerah dari Allah Swt.  bukan dari hasil usaha seperti pada al-Manazil dan al-Masyahid.
3.    Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi mempunyai tiga konsepsi tentang Tuhan yang berakar dari al-Qur’an dan Hadist.
1)        Konsep etika yang dikembangkan di kalangan zuhud sebagai bibit permulaan timbulnya tasawuf. Zat Tuhan dianggap sebagai kekuasaan Tuhan, daya dan iradat yang mutlak. Tuhan adalah pencipta yang tertinggi dari segala sesuatu, termasuk tingkah laku manusia.
2)        Konsepsi estetika, yaitu tentang Tuhan dalam estetika. Tasawuf bersumber dari anggapan bahwa Tuhan dan manusia berkomunikasi timbal balik. Rasa cinta yang luar biasa kepada Tuhan adalah karakteristik konsepsi estetika ini yang pertama dimunculkan oleh Rabiah al-Adawiyah. Jika seorang sufi menyembah Tuhan, maka dia ingin mendapat sambutan cinta dari Tuhan.
3)        Konsepsi kesatuan wujud, yaitu bahwa dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ketuhanan, karena dia merupakan pancaran dari Nur Ilahi. Maka jiwa manusia selalu berusaha kembali bersatu dengan sumber asalnya. Jadi alam semesta dan berbagai fenomena di dunia ini hanyalah bayangan dari realita yang sesungguhnya yaitu Tuhan. Satu-satunya wujud yang hakiki adalah wujud Tuhan yang menjadi dasar bagi adanya segala sesuatu.
BAB III
PENGARUH TASAWUF TGK. H. MUHAMMAD HASAN KRUENG KALEE TERHADAP PERKEMBANGAN SPIRITUAL MASYARAKAT

A.    Biografi tgk. H. Muhammad hasan krueng Kalè
Tgk. H. Muhammad Hasan Krueng Kalè lahir pada tanggal 13 Rajab 1303 H, bertepatan dengan tanggal 18 April 1886 M di beri nama Muhammad Hasan. Abu Hasan dilahirkan di gampong Langgoe Menasah Keutumbu, Kemukiman Sangeue, Pidie, dalam rantau pengungsian akibat perang Aceh-Belanda yang sedang berkecamuk di wilayah Aceh Besar.[28] Secara lengkap nama beliau adalah Tgk. Haji Muhammad Hasan bin Tgk. H. Syeikh Muhammad Hanafiah bin Tgk. Syekh  Abbas bin Tgk. Syekh Muhammad Fadhil bin Syekh Abdurrahman yang bergelar Tgk. Ja Meulaboh (Tgk di Kubu) bin Faisal bin Ramah bin al-La’badah bin al-Haurani Ibnu as-Sab’ah yang dikenal dengan Tgk. Syiah tujoh, dan biasanya masyarakat mengenal beliau dengan sebutan Abu Hasan Krueng Kalè.
Tgk. Syiah Tujoh adalah nama seorang ulama bangsa Arab yang datang ke Aceh pada tahun 1564-1568 M, Beliau adalah salah seorang anggota utusan dari 40 orang yang dikirim oleh Sultan Turki ke Aceh, bersama 200 pucuk meriam tembaga. Abu Hasan Krueng Kalè pernah menuturkan bahwa kakeknya salah seorang teungku dari Syiah Tujoh pernah diseberangkan melewati sebuah sungai oleh semacam ikan belut, di sungai Durueng Krueng Raya Aceh Besar, peristiwa ini merupakan karamah yang Allah berikan kepada para ulama dan para auliya.
Abu Hasan Krueng Kalè adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Tgk. H. Muhammad Hanafiah (Tgk. H. Muda) dengan Nyakti Hafsah binti Syech Isma’il, Abu Hasan Krueng Kalè mempunyai saudara laki-laki namanya Abdul Wahab, dan seorang saudari perempuan bernama Asiah, keduanya tidak mempunyai keturunan karena sudah meninggal dunia sebelum sempat berkeluarga.
Adik Abu Hasan Krueng Kalè bernama Syech Abdul Wahab sejak kecil telah memiliki kelebihan supranatural yang tinggi, dalam istilah agama lebih dikenal dengan sebutan irhash, kelebihan itu antara lain dapat membaca kejadian-kejadian seperti kehilangan barang dan benda-benda berharga akibat pencurian (dalam istilah Aceh dikenal dengan keumalon), dan mengobati orang sakit.[29]
Sejak kecil Abu Hasan Krueng Kalè telah mempelajari keilmuannya di bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad Hanafiah yang dikenal dengan panggilan Tgk. H. Muda. Abu Hasan Krueng Kalè juga belajar agama di Dayah Tgk. Chik di Keubok pada Tgk. Musannif yang menjadi guru pertama setelah ayahnya sendiri. Ketika Abu Hasan Krueng Kalè sudah dewasa, Abu Hasan Krueng Kalè melanjutkan pendidikannya ke Yan Keudah, Malasyia, di pesantren Tgk. chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu.[30]
Dari Yan Abu Hasan Krueng Kalè bersama adik kandungnya yang bernama Abdul Wahab berangkat ke Makkah untuk melanjutkan pendidikan di Mesjid al Haram, namun tidak lama setiba mereka di sana, adiknya Abu Hasan Meninggal dunia karena sakit, peristiwa ini tidak membuat Abu Hasan patah semangat, Abu Hasan tetap sabar dan teguh melanjutkan pendidikannya dari para ulama besar Masjid al Haram hingga lebih kurang 7 tahun.
Dari Mekkah Abu Hasan Krueng kalè tidak langsung pulang ke Aceh, tapi terlebih dahulu singgah di pesantren Yan Keudah. Di pesantren ini Abu Hasan sempat mengajar dalam beberapa tahun, kemudian Abu Hasan dijodohkan oleh gurunya Tgk. M. Irsyad dengan seorang gagis yatim keturunan Aceh bernama Nyak Safiah binti Husein.
Atas panggilan pamannya Tgk. Muhammad Sa’id pimpinan dayah Meunasah Baro, Abu Hasan pulang untuk mengabdi dan mengajar di dayah tersebut, kemudian Abu Hasan Krueng Kalè membuka  lembaga pendidikannya sendiri di Meunasah Blang yang sekarang terletak di desa Siem yang bersebelahan dengan desa  Krueng Kalè di kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar.[31]
Di Meunasah Blang ini Abu Hasan Krueng Kalè mulai mengabdikan seluruh ilmunya dan berhasil mencetak kader ulama-ulama baru dan berpercar ke seluruh Aceh. Seperti Tgk. H. Mahmud Blang Bladeh, Tgk. H. Abdul Rasyid Samlako Alu Ie Puteh, Tgk. H. Sulaiman Lhok Sukon, Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang, Tgk. H. Adnan Bakongan, Tgk. H. Sayid Sulaiman (Mantan imam mesjid Raya Baiturrahman), Tgk. H. Idris Lamreung (ayahanda dari Alm.Prof. DR. Safwan Idris, Mantan Rektor IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh). Sebagian dari mereka kemudian membuka lembaga-lembaga pendidikan agama atau dayah baru di daerahnya masing-masing.[32] Namaun sekarang dayah menasah Blang ini sekarang sudah di jadikan dayah terpadu oleh keturunan Abu Hasan Krueng Kalè.
 Peran Abu Hasan Krueng kalè sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan agama di Aceh pada masa berikutnya. Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya pada malam jum’at sekitar pukul tiga pagi hari Abu Hasan Krueng Kalè menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan meninggalkan tiga orang Istri, Tgk Hj Nyak Safiah di Siem, Tgk Nyak Aisyah di Krueng Kalee dan Tgk Hj Nyak Awan di Lamseunong.
B.     Penerapan Nilai-nilai Ketauladanan
Islam adalah agama yang sangat memberi perhatian kepada peningkatan sumber daya manusia. Para Rasul dan Anbiya pada umumnya diutus kemuka bumi ini hanya untuk memperbaiki moral manusia dan meningkatkan kualitas hidup manusia.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan petunjuk yang sangat banyak berisi ayat-ayat yang menganjurkan umat untuk menggunakan daya pikir dan nalar untuk segala hal. Allah juga mengangkat derajat orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan setingkat dengan orang-orang yang beriman. Seperti firmannya:
Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.S.al-Mujadilah: 11)
            Perhatian Islam dalam mendidik kader-kader sumber daya manusia yang beriman begitu berarti, bahkan dapat menyamai perintah jihad fi sabilillah yang merupakan bentuk amal dan perjuangan tertinggi dalam agama Islam.[33]
            Rasulullah saw sangat mementingkan sumber daya manusia dan profesionalisme dalam segala pekerjaan. Keduanya dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan. Karena banyak sekali hadis yang memerintahkan untuk menuntut ilmu, dan menggambarkan keutamaan para ulama dan ilmuan.
Sebagai seorang ulama besar dan guru umat, Abu Hasan Krueng Kalè sangat memahami sirah Rasulullah, dalam kaitan antara ilmu pengetahuan dan peningkatan sumber daya manusia. Dayah Krueng Kalè adalah salah satu dayah terkemuka di Aceh yang sangat berperan mendidik sumber daya manusia umat Islam setelah perang Aceh tahun 1904. Perang Aceh-Belanda selama 30 tahun lebih, yang telah mewariskan kejahilan di tengah-tengah masyarakat. Menyadari hal ini, para ulama Aceh mencoba memulai kembali pendidikan umat dengan mendirikan kembali dayah-dayah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan Islam di tengah masyarakat Aceh saat itu.
            dayah Lembaga pendidikan yang dinilai lebih berperan dibandingkan  dengan lembaga pendidikan formal seperti sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada masa itu sekolah yang didirikan kolonial Belanda masih dianggap tabu oleh sebagian besar umat Islam Aceh, karena dianggap sebagai representasi dari kepentingan penjajah Belanda.[34] Kurikulum sekolah pada masa itu masih sangat sekuler dan tidak ada pelajaran agama Islam. Hanya dayah yang dianggap satu-satunya lembaga pendidikan yang tepat untuk umat Islam pada masa itu, karena lembaga pendidikan agama lainnya belum muncul. Inilah alasannya kenapa sebagian ulama pada masa itu melarang generasi muda Islam untuk sekolah. Peran Dayah sangat berperan dalam mendidik kader ulama dan generasi Islam di Aceh.
            Hal ini diakui oleh Prof. A. Hasjmy dalam tulisannya “Peranan Agama Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” Beliau menyatakan bahwa pendidikan Islam telah mengambil tempat dalam pembangunan bangsa yang dimulai dengan membangun pusat pendidikan dayah Cot Kala, yang kemudian berkembang di seluruh Aceh.[35]
            Peran Abu Krueng Kalè untuk memajukan pendidikan di Aceh juga terlihat dari partisipasinya dalam Musyawarah Pendidikan Islam yang diadakan di Leubok Aceh Besar, pada tanggal 1-2 Oktober 1932. Dalam pertemuan yang membicarakan masalah perbaikan sistem pendidikan Islam di Aceh, Abu Hasan Krueng Kalè hadir bersama para ulama lain yang menjadi peserta musyawarah tersebut. Di antaranya adalah: Tgk. Haji Hasballah Indrapuri, Tgk. Muhammad Daud Bereueh, Tgk. Haji abdul wahab Seulimum, Tgk. Muhammad Hasby As-Shiddiqy, Tgk. Haji Abdullah Ujong Rimba, Tgk. Haji Hasballah Pase, Tgk. Jalaluddin Amin Sungai Limpah, Tgk. Haji Abdullah Lam U, Tgk. Zakaria Teupin Raya, Tgk. Usman Gigieng, Tgk. Muhammad Amin Jumphoh, Tgk. Haji Umar Meuredu, Tgk. haji Muhammad Alue, Tgk. Muhammad Saleh Iboih dan Tgk. Haji Trieng Gadeng.
            Keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan musyawarah pendidikan Islam tersebut, yaitu:
1.        Dalam agama Islam sama sekali tidak melarang mempelajari ilmu dunia, asalkan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
2.        Memasukkan pelajaran umum ke sekolah agama memang menjadi hajat sekolah-sekolah itu
3.        Orang perempuan berguru kepada orang laki-laki itu tidak ada halangan dan tidak tercegah pada syara’.
Keikut sertaan Abu Krueng Kalè dalam musyawarah tidak menepis segala tuduhan sebagai orang yang mengatakan bahwa beliau sangat anti terhadap pendidikan umum dan pendidikan bagi kaum wanita, karena ketika itu belum ada sebuah lembaga pendidikan Islam di Aceh yang mampu dan memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk memadukan sistem pendidikan Islam dan umum dengan baik dan benar. Sekolah kolonialis Belanda dan dayah salafi yang terlihat hanya dua kubu yang berseberangan, sehingga generasi muda muslim berhadapan dengan suatu pilihan yang tidak mudah, satu-satunya pilihan yang masuk akal saat itu menurut pandangan Abu Hasan Krueng Kalè adalah mempertahankan sistem pendidikan dayah salafi.[36]
Peran Abu Krueng Kalè dalam mendidik sumber daya umat manusia tidak pernah terhenti dalam situasi apapun. Perjuangan Abu Hasan Krueng Kalè dalam mendidik masyarakat tidak pernah berhenti seperti yang telah dianjurkan oleh agama, dan Abu Hasan tetap istiqomah pada jalur perjuangan melalui pendidikan tersebut hingga ajal menjemputnya[37].
Pada masa itu khususnya daerah Aceh, tidak ada lembaga pendidikan yang Islami menurut Abu Hasan Krueng Kalè kecuali dayah. Itu sebabnya anak-anak tertua beliau seperti Tgk. H. Syech Marhaban dan Tgk. H. Muhammad Ghazali keduanya terdidik dalam lingkungan dayah salafi, bahkan sampai ada yang bisa menjadi menteri. Semua anak-anaknya tidak ada yang buta huruf, rata-rata sempat sekolah hingga ke bangku sekolah menengah atas atau sederajat[38]. Artinya Abu Hasan Krueng Kalè sudah berupaya semampunya untuk mendidik anak-anaknya dengan baik dan mempersiapkan kader generasi penerus dayah, namun faktor keberhasilan kaderisasi ternyata juga sangat tergantung pada suratan garis takdir, kesiapan dan kemauan dari para penerusnya.
C.      Hidup yang Istiqamah dan Berakhlak Mulia
Istiqamah adalah sikap teguh dalam memegang prinsip dan menjalankan amalan secara konsisten. Sikap seperti ini dalam agama sangat terpuji dan dianjurkan. Karena sikap istiqamah ini telah ada pada masa Nabi para ulama dan da’i yang mendidik umat serta menyeru kejalan Allah. Allah juga menjanjikan pertolongan dan pahala di surga bagi orang-orang yang tetap istiqamah dalam beragama walaupun dalam keadaan yang sangat sulit. Allah swt. berfirman dalam surat al-Fushilat ayat 30:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan ‘janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan surga yang telah di janjikan oleh Allah kepadamu’.

            Hal yang menjadi ciri khas keutamaan Abu Krueng Kalè adalah sikapnya yang istiqamah dalam berbagai pandangan agama dan akhlaknya yang selalu menginspirasikan suri tauladan yang baik kepada para santri maupun masyarakat. Hal tersebut memberi nilai sangat positif bagi keberhasilannya dalam mencetak kader ulama dan mendidik umat.[39]
            Abu Krueng Kalè adalah seorang ulama yang jenius tapi sederhana dan tidak sombong, dalam setiap pembahasannya pasti mempunyai pandangan. Orangnya memang sedikit keras tetapi hanya dalam kebenaran. Beliau suka menarik garis dalam semua hal, artinya menerapkan aturan dengan semestinya sehingga beliau dianggap keras, padahal sebenarnya tidak seperti itu.
            Istiqamah dan berakhlak adalah dua nilai penting yang menghiasi kisah perjuangan tokoh Abu Hasan Krueng Kalè dalam mendidik kader ulama dan umat, sehingga pandangan-pandangannya tetap hidup di tengah-tengah masyarakat dan dihormati sepanjang masa.
D.      Bermasyarakat yang Santun dan Damai
Dakwah yang dilakukan Abu Krueng Kalè dalam masyarakat adalah dakwah bil hal (dakwah dengan memberi contoh) hanya sesekali menggunakan dakwah bil maqal (dakwah dengan metode ceramah). Ketika sedang berdakwah dalam masyarakat beliau selalu mengedepankan pendekatan sosial dengan dialog-dialog dan diskusi. Jika terjadi perbedaan pandangan, beliau tidak memaksa orang lain mengikuti pandangannya.[40] Sering terlihat dalam penentuan awal puasa Ramadhan ataupun awal Syawal. Walaupun selalu mengeluarkan jadwal hisab Ramadhan dan melakukan ’rukyah, jika ada yang berlainan dengan kesimpulan akhirnya, beliau tetap menghormati kelompok lain dan tidak pernah memprovokasi masyarakat untuk tidak mengikutinya apalagi mengkafirkan mereka.[41]
Abu Krueng Kalè juga tidak pernah melarang langsung acara rapa’i dan seudati yang sering di gelar di kampung-kampung sekitar dayah, dan beliau juga sangat melarang murid muridnya untuk menghadiri acara-acara seperti itu. Larangan Abu Hasan Krueng Kalè pada hakikatnya bukan pengharaman terhadap seni Aceh, tetapi lebih pada efek Ikhtilath atau campur baur antara laki-laki dan perempuan, dan efek negatif lain dari keramaian itu sendiri.
Sikap bermasyarakat yang santun dan damai seperti itu hanya dapat dilakukan oleh seorang ulama yang memahami fiqh dakwah dengan baik dan benar.[42] Mampu menghormati perbedaan yang ada, dan tetap yakin akan kebenaran hakiki dan hidayah itu hanya milik Allah swt.
E.       Pemurni Aqidah
Abu Krueng Kalè selalu berusaha dalam memurnikan aqidah dengan menanamkan ilmu ketauhidan dan dengan menanamkan keimanan kepada muridnya di dayah. Para santri yang telah memahami aqidah ketauhidan masuk ke dalam kehidupan masyarakat melalui pendekatan dakwah. Dengan dakwah ini dapat membawa perubahan secara perlahan-lahan untuk meninggalkan tradisi yang sesat pada masa itu, contohnya memuja kuburan yang melanggar syariat Islam, perbuatan seperti ini juga merusak aqidah masyarakat.[43]
Merosotnya aqidah dalam masyarakat Aceh pada waktu itu dipengaruhi oleh aliran “wahdatul wujud dan saleek buta”. Wahdatul wujud adalah faham yang dianut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As. Sumatrani. Setelah ulama ini meninggal ajarannya dikembangkan oleh pengikutnya dengan mengadakan perubahan-perubahan sehingga menjadi tarekat yang menyesatkan, dan masyarakat menyebutnya dengan istilah Saleek Buta. Antara wahdatul Wujud dengan Saleek Buta perbedaannya sangat berbeda. Wahdatul Wujud adalah suatu aliran filsafat tasawuf, sedangkan saleek Buta adalah hasil ciptaan para pengikut Wahdatul Wujud yang berpikiran awam.
Teungku Abdullah Ujong Rimba menerangkan bahwa asal mulanya terjadi perselisihan antara kaum Saleek Buta dengan Fuqaha yaitu tentang syari’at, tharikat dan hakikat. Orang saleek buta suka mengambil hakikatnya saja supaya cepat sampai kepada Allah. Sedangkan para Fuqaha memberikan fatwa bahwa hakikat tidak akan tercapai apabila  rukun dan Syari’at belum benar.
Ajaran saleek buta yang berkembang dalam masyarakat ada empat macam, yaitu: Pertama, Ma’syuq yaitu menikam zat, yang merupakan tempat segala terbit alam ini. Alam ini menikam zat Allah dan pada hakikatnya Allah juga. Kedua, Mereka menganggap dirinya sebagai alam semesta, maksudnya apapun yang disuruh dan diwajibkan oleh Allah telah ada dalam tubuh mereka. Jadi mereka tidak perlu mengerjakan lagi apa yg diwajibkan.[44] Ketiga, Anggapan bahwa nabi Muhammad sebenarnya Allah, mereka menganggap dan meyakini bahwa tubuh yang sebenarnya adalah nyawa, dan nyawa yang sebenarnya adalah nabi Muhammad, dan kemudian nabi Muhammad itu adalah Allah. Sehingga dalam zikir disebutkan “La ana Illah Huwa” artinya bukanlah aku melainkan dia, atau akulah Allah. Dan Keempat, Sembahyang menurut mereka dibagi empat: yang pertama sembahyang makrifat yaitu zat, kedua sembahyang hakikat yaitu sifat, ketiga sembahyang Tharikat yaitu asma, dan yang ke empat sembahyang Syari’at yaitu af’al atau perubahan secara lahir.
Aliran saleek buta ini pada waktu itu telah berkembang hampir keseluruh pelosok daerah Aceh. Banyak masyarakat yang terpengaruh untuk mengikutinya. Para ulama besar berusaha untuk mencegah agar ajaran saleek buta tidak berkembang dalam masyarakat. Abu Hasan Krueng Kalè dan Tgk. H. abdullah Ujong Rimba telah mengeluarkan fatwa yang dikeluarkan dala tulisannya yang berjudul “pedoman penolakan saleek buta”. Abu Hasan Krueng Kalè sebagai ulama besar telah memberikan kata sambutan sebagai pengesahan dari kitab tersebut, yaitu:
“maka setelah hamba pikir melihat menelaah akan risalah ini, dari awal sampai akhir, maka hamba berkata, patut sekali menghidupkan risalah ini dan mencetakkan akan dia, supaya mudah-mudahhan memeliharakan Allah taala akan setengah hambanya dengan sebab risalah ini dari pada tersorong masuk pada jalan bid’ah dhalalah yang membawa kepada jalan kufur atau semata-mata yang telah tertabur dalam negeri aceh dan lain-lainnya”.

            Abu Hasan Krueng Kalè juga pernah terlibat sebagai penasehat dalam komite anti Ahmadiyah di Aceh. Organisasi ini bertujuan untuk nenentang Ahmadiyah yang dianggap telah menyimpang dari ajaran agama Islam.[45] Yang bergabung dengan anti Ahmadiyah ini berusaha memberikan dakwah dan petunjuk dengan bukti-bukti yang kuat kepada masyarakat bahwa ajaran Ahmadiyah benar-benar sesat dan merusak aqidah umat Islam.
            Sebagai ulama dan pendidik Abu Hasan Krueng Kalè selalu aktif dalam masyarakat untuk memberikan petunjuk dan pengarahan dan bimbingan untuk selalu melakukan amal makruf nahi mungkar seperti yang telah di Syari’atkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul



BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tasawuf menjadi salah satu cabang keilmuan dalam Islam, atau secara keilmuan merupakan hasil peradaban Islam yang lahir setelah Rasulullah wafat. Tasawuf adalah sebagian ilmu ajaran Islam yang membahas cara-cara seseorang mendekatkan diri kepada Allah, seperti berakhlak yang tinggi (mulia), tekun dalam beribadah tanpa keluh kesah, memutuskan hubungan selain Allah karena kita merasai tidak memiliki sesuatu apapun di dunia ini dan tidak dimiliki oleh siapapun di kalangan makhluk. Menolak hiasan-hiasan duniawi seperti kelezatan dari harta benda yang biasa memperdaya manusia, dan menyendiri menuju jalan Allah dalam mengasingkan diri dari keramaian dunia untuk beribadah.
Satu hal yang menarik dikaji pada tokoh Abu Krueng Kalee adalah kiprahnya di dunia politik. Meski Abu Krueng Kalee seorang ulama salafi dan sufi terkemuka di Aceh yang dikenal sangat fanatik, namun hal tersebut tidak lantas membuatnya jauh dari dunia politik yang seolah dianggap tabu dan berseberangan dengan ajaran agama.
Pemahaman yang benar terhadap sirah Rasul ini membuat abu krueng kalee dapat mengkombinasikan kedua hal tadi dalam kehidupannya. karena tasawuf dan tarikat tidak selalu identik dengan uzlah (pengasingan diri) dari kehidupan sosial. Pemahaman ini pula yang kemudian membuat kiprah tgk. H. Hasan Krueng Kalee selalu hadir mengiuringi setiap peristiwa yang muncul disekelilingnya.
Dalam upaya mengusir penjajahan colonial Belanda mislanya, sikap Abu Krueng Kalee jelas terlihat dari usahanya membentuk lascar mujahidin yang terdiri dari para santri dan masyarakat guna mengusir penjajahan dari Bumi Serambi Mekkah. Hal ini terus berlanjut hingga perang Revolusi mempertahankan kemerdekaan.
Tgk. H. Hasan Krueng Kalee memang telah tiada, namun degungan suara tahlil dan shamadiyah menurut tarekat Al-Haddadiyah masih menggema dan terus terdengar di berbagai desa dan kota di serambi Mekkah. Seiring dengan itu fatwa syahid yang beliau keluarkan masih terus relevan dan memberi motivasi sendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadir Djaelani,1996,  Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, Jakarta: Gema Insani Press.

Amsal Bachtiat, 2003, Tasawuf dan Gerakan Tarekat, Bandung: percetakan Angkasa

A.Rifa’i Siregar, 2002, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Pesada

Abudin Nata, 2011, Akhlak Tasawuf, Jakarta:Rajawali Press

Dahlan Tamrin, 2010, Tasawuf Irfani, Malang: UIN Maliki Press

Khairul Umami, 2011, Ensiklopedi Ulama Besar Aceh, Aceh Indonesia: LKAS.

Luthfi Aunie,dkk, 2004, Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh, Aceh: Ar-Raniry press.

Mutiara Fahmi Razali, dkk, 2010, Tgk H Muhammad Hasan Krueng Kalee Ulama Besar dan Guru Umat, Aceh Besar, Yayasan Darul Ikhsan.

Nasution S, 1992, Metode Penelitian Nuralistik Kualitatif, Bandung: Tarsito

Rusdi Sufi, 2006, Tgk Hasan Krueng Kalee(profil seorang ulama Aceh), (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Dinas Kebudayaan, Program Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Daerah dan Seni)
Solihin, 2005, Akhlak Tasawuf, Bandung: Penerbit Nuansa

Sri Waryanti, 2012, Tgk H Muhammad Hasan Krueng Kalee, (Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Tradisional)

Tgk H Abdullah Ujong Rimba, Ilmu Terekat dan Hakikat


[1]Abdul Qadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal 14.
[2] Abdullah Ujong Rimba, Ilmu Terekat dan Hakikat, hal 13.
[3]Abdullah Ujong Rimba, Ilmu Tarekat… hal 25.
[4]Abdullah Ujong Rimba, Ilmu Thareqat ...hal 27-28.
[5]Abdullah Ujong Rimba, Ilmu Tarekat… hal 28.
[6]Khairul Umami, Ensiklopedi Ulama Besar Aceh (Aceh Indonesia: LKAS, 2011), hal-379.
[7]Luthfi Aunie, dkk, Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh, (Aceh: Ar-Raniry press, 2004), hal 78.
[8]Luthfi Aunie, Ensiklopedi Pemikiran Ulama...hal 78-79.
[9]Dahlan Tamrin, Tasawuf Irfani, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm 3-4.
[10]Amsal Bachtiar, Tasawuf dan Gerakan Tarekat, (Bandung: Percetakan Angkasa, 2003), hal 5.
[11]Amsal Bachtiar, Tasawuf dan Gerakan...hal 23.
[12]Solihin, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), hal 241-242.
[13]Dahlan Tamrin, Tasawuf Irfani... hal 26.
[14]A. Rifa’i Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta:Raja Grafindo Pesada, 2002), hal 58.
[15]Solihin, Akhlak Tasawuf...hal 156.
[16]Qs al-Mai’idah:54.
[17]Qs al-Tahrim:8
[18]Qs al-Baqarah:110
[19]Qs al-Nur: 35
[20]Abuddin Nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hal 182-184.
[21]Solihin, Akhlak Tasawuf...hal 156-158.
[22]Solihin, Akhlak Tasawuf...hal 159.
[23]Solihin, Akhlak Tasawuf...hal 160.
[24]Abuddin Nata, Akhlak tasawuf...hal 186.
[25]Abuddin Nata, Akhlak tasawuf...hal 190-192.
[26]Solihin, Akhlak Tasawuf...hal 164.
[27]Solihin, Akhlak Tasawuf...hal 164-167.
[28]Mutiara Fahmi, Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee, (Aceh Besar: Yayasan Darul Ikhsan Tgk H Hasan Krueng Kalee), hal 3
[29]Mutiara Fahmi, Teungku Haji,...hal 4
[30]Mutiara Fahmi, Teungku Haji,...hal 5
[31]Rusdi Sufi, Tgk H Hasan Krueng Kale (profil seorang ulama Aceh, (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Dinas Kebudayaan, Program Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Daerah dan Seni, 2006), hal 43
[32]Luthfi Aunie, dkk, Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh, (Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), hal 76-77
[33]Mutiara Fahmi, Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee, (Aceh Besar: Yayasan Darul Ikhsan Tgk H Hasan Krueng Kalee), hal 133.
[34]Mutiara Fahmi, Teungku Haji...hal 134-135.
[35]A. Hasjmy, Peranan agama Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Sinar Darussalam, No. 63, mei/Juli 1980, hal. 25.
[36]Mutiara Fahmi, Teungku Haji...hal 137.
[37]Mutiara Fahmi, Teungku Haji...hal 138.
[38]Mutiara Fahmi, Teungku... hal 140.
[39]Mutiara Fahmi, Teungku Haji...hal 142.
[40]Mutiara Fahmi, Teungku Haji...hal 147.
[41]Mutiara Fahmi, Teungku Haji...hal 146.
[42]Mutiara Fahmi, Teungku Haji...hal 148.
[43]Rusdi Sufi, Tgk Hasan Krueng Kalee, (NAD: Program Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Daerah dan Seni), hal 83-84.
[44]Rusdi Sufi, Tgk. Hasan....hal 85.
[45]Rusdi Sufi, Tgk Hasan...hal 87.

0 komentar:

Posting Komentar