BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Satu aliran yang tumbuh di samping berkembangnya aliran
syiah, ialah aliran tasawuf. Ada yang menyatakan bahwa tasawuf adalah kesadaran
akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan
mengasingkan diri dan berkontemplasi. Ada juga yang mengatakan bahwa tujuan
tasawuf adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan berusaha agar bersatu
dengan Tuhan.[1]
Bermacam-macam pendapat
ulama sufi dalam memberikan ta’rif tasawuf. Junaidi al-Baqdady penghulu
terekat mengatakan tasawuf yaitu membersihkan hati dari pergaulan sesama
manusia meninggalkan segala keinginan nafsu, menghapuskan sifat-sifat basyariah
mempergunakan sifat-sifat ruhaniah, berpegang pada Syariat.[2]
Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan tasawuf sebagai jalan menuju kepada hakikat sambil meninggalkan segala sesuatu yang
ada pada makhluk, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, mempergunakan
segala akhlak yang baik dan meninggalkan segala akhlak yang buruk.[3]
Dalam Syarah Hikam. tasawuf diartikan
sebagai jalan kepada tarekat dan sumber nur hakikat. Ulama-ulama dari ahli tasawuf dinamakan sufi.
Banyak
tarekat-tarekat dari para sufi, sanad silsilahnya diaturkan melalui Ali dan
keturunannya, seperti tarekat Qadariah, tarekat Hadadiyah, tarekat
Rifaiyah Naqsyabandiah dan sebagainya. Banyak sekali para sufi mempergunakan
pendapat-pendapat Syiah yang berlandaskan hadis dhaif yang dirawi dari Ali atau
keturunannya, seperti masalah mahdi, quthub, zuhud dan lainnya.
Diceritakan bahwa di antara ajaran-ajaran tarekat Rifaiyah, supaya mereka
pada tiap-tiap tahun harus berkhulwah tujuh hari,[4]
mulai dari tanggal 9 bulan Muharam yaitu untuk menampakkan kesedihan mereka
kepada Husain bin Ali yang dibunuh Yazid bin Mu’awiyah di Karbala pada sepuluh
bulan Muharam.
Sebagaimana
diketahui bahwa tasawuf dan sufi tidak
ada di masa sahabat dan masa tabi’in, karena tasawuf dari orang sufi untuk
tarekat, tarekat untuk hakikat , di masa sahabat dan tabi’in. Nama tareqat dan hakikat,
menurut istilah sufi belum pernah terdengar. Hanya tersebut setelah masa tabi’in, yaitu setelah berkembangnya
bermacam-macam aliran di kalangan umat Islam, di masa sahabat hanya terkenal
dengan nama sahaby dan di masa tabi’in
hanya terkenal dengan nama tabi’iy dan
belum terdengar nama sufi pada masa itu.[5]
Tengku Haji Hasan Krueng Kalè adalah salah
satu ulama yang dikenal dengan sebutan al-Falaqi karena keahliannya yang paling
menonjol dalam ilmu falak. Dalam pengamalan ibadah ia dikenal sebagai seorang
sufi sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia. Ia salah seorang ulama Aceh
yang sangat dekat dengan Presiden Soekarno pada waktu itu.[6]
Muhammad Hasan juga belajar ilmu falak
dari seorang pensiunan Jenderal Turki yang menetap di Mekkah sehingga akhirnya
ia alim dalam bidang ilmu falak dan dikenal dengan panggilan teungku Muhammad
Hasan al-Asyi
al-Falaki.
Selain alim dalam
berbagai ilmu agama Islam, Abu krueng kalè juga terkenal dengan tasawuf dan
kesufiannya. Abu Krueng Kalè adalah orang pertama yang memperkenalkan dan mengembangkan tarekat
al-Haddadiyah di Serambi Mekkah, dibawa langsung dari guru-gurunya di tanah
suci Mekkah, seperti yang dijelaskan dalam sanad tarekat.[7]
Abu Krueng Kalè juga
memperkenalkan tentang metode membaca samadiah menurut tarekat al-Haddadiyah. Caranya
dimulai dengan membaca Istigfar 3 kali dan shalawat 5 kali, lalu dilanjutkan
dengan membaca surat al-Fatihah yang diniatkan untuk Rasulullah saw dengan lafaz khusus.
Kemudian membaca surat al-Ikhlas dan diakhiri dengan do’a. Abu Krueng Kalè juga menjelaskan
sebaiknya seseorang terlebih dahulu membaca samadiah sepuluh ribu kali yang
diniatkan bagi diri sendiri lalu sepuluh ribu kali untuk orang tuanya, dan
sepuluh ribu kali untuk gurunya. Akan tetapi supaya lebih afdhal untuk diri sendiri
dibaca seratus ribu kali.
Menurut Abu Krueng
kalè keistimewaan samadiah dengan
membaca surat al-Ikhlas didasari atas Hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari
Muslim bahwa “ Barang siapa yang membaca surat al-Ikhlas sepuluh ribu kali, maka Allah akan
membebaskannya dari api neraka.” Dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang lain Rasulullah
Saw. bersabda: “Barang siapa membaca
surat al-Ikhlas
sepuluh ribu kali bagi mayit maka Allah akan membebaskannya dari api neraka.”[8]
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG TASAWUF
A. Pengertian dan Tujuan Tasawuf
1. Pengertian Tasawuf
Tasawuf atau sufisme adalah salah satu cabang
keilmuan dalam Islam, atau secara keilmuan merupakan hasil peradaban Islam yang
lahir setelah Rasulullah wafat.[9] Tasawuf adalah sebagian ilmu ajaran Islam yang membahas
cara-cara seseorang mendekatkan diri kepada Allah, seperti berakhlak yang
tinggi (mulia), tekun dalam beribadah tanpa keluh kesah, memutuskan hubungan
selain Allah karena kita merasai tidak memiliki sesuatu apapun di dunia ini dan
tidak dimiliki oleh siapapun di kalangan makhluk. Menolak
hiasan-hiasan duniawi seperti kelezatan dari harta benda yang biasa memperdaya
manusia, dan menyendiri menuju jalan Allah dalam mengasingkan diri dari
keramaian dunia untuk beribadah. Tasawuf adalah ajaran kerohanian yang
bertujuan mencari bagaimana cara seorang Islam dapat sedekat mungkin dengan
Allah Swt.[10]
Ilmu tasawuf adalah tuntunan yang dapat
menyampaikan manusia mengenal Allah dan dengan tasawuf ini seseorang dapat
melangkah sesuai dengan tuntunan yang paling baik dan benar dengan akhlak yang
baik serta aqidah yang kuat, Oleh karena itu seorang mutasawwif tidak
mempunyai tujuan lain selain mencapai ma’rifat
billah (mengenal Allah) dengan sebenar-benarnya dengan tersingkapnya
dinding hijab yang membatasinya dengan Allah Swt.
Mendekatkan diri kepada Allah Swt. selalu dilandasi semangat beribadah dengan
tujuan mencapai kesempurnaan hidup dan ma’rifat. Yang dimaksud dengan ma’rifatullah adalah melihat Tuhan
dengan hati secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesarannya
tapi tidak dengan kaifiyat. Artinya
Tuhan tidak digambarkan sebagai benda atau seperti manusia ataupun bentuk
tertentu sebagai jawaban tentang bagaimana zat Allah.[11]
Sedangkan yang dimaksud dengan kesempurnaan
hidup adalah tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan atau insan kamil, Insan kamil dalam pandangan
ahli sufi berbeda-beda. Di antaranya
seperti yang disebutkan oleh Ibnu Arabi bahwa Insan Kamil adalah manusia yang sempurna karena adanya realisasi
wahdah asasi dengan Allah dengan mengakibatkan adanya sifat dan keutamaan Tuhan
pada dirinya.
Istilah tarekat dalam ilmu tasawuf tidak
ditentukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang
digunakan oleh seorang syaikh tarekat dan para
pengikutnya, tetapi meliputi segala aspek ajaran Islam, seperti salat, puasa,
zakat, haji, dan sebagainya. Semua ini adalah jalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt. sebab
pada hakikatnya tasawuf itu secara umum merupakan usaha mendekatkan diri kepada Allah Swt. Jadi, usaha mendekatkan diri kepada Allah
yaitu tasawuf, sedangkan salah satu cara untuk menempuhnya adalah tarekat.
Ajaran pokok tarekat pada hakikatnya sama dengan ajaran tasawuf.[12]
2. Tujuan tasawuf
Secara umum, tujuan tasawuf adalah
agar berada sedekat mungkin dengan al-Haqq.
Namun bila diperhatikn karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga
sasaran utama dari tasawuf, yaitu: Pertama, tasawuf yang menekankan pembinaan aspek moralitas yang
tinggi sebagaimana yang dikehendaki Rasul.
Contohnya, seseorang yang mendapatkan musibah bisa sabar dan bahkan bisa
bersyukur atas musibah yang dihadapinya, karena ternyata yang diterimanya
adalah musibah yang kecil karena ada musibah yang lebih besar,[13]
Kedua, tasawuf ‘irfani yaitu tasawuf
yang bertujuan agar bisa ma’rifat
kepada Allah melalui penyingkapan langsung yang sering disebut dengan kasf al-hijab. Tasawuf ini bersifat
teoritis dengan seperangkat pengetahuan secara khusus yang diformulasikan
secara sistematis analitis. Ketiga,
tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan
pendekatan diri kepada al-Haqq secara
mistis filosofis, pengkajian hubungan antara hamba dengan al-Haqq dan
makna hubungannya.
Makna dekat dengan Allah dapat
diketahui melalui tiga simbolisme, yaitu dekat dalam arti melihat al-Haqq dan
merasakan kehadirannya dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan al-Haqq
sehingga terjadi dialog antara hamba dengan al-Haqq, dan
dekat sebagai penyatuan hamba dengan al-Haqq
sehingga terjadi penyatuan antara keduanya dalam
iradat-Nya. Tujuan tasawuf nampak keragamannya sebagaimana
pandangan Rifa’i Siregar,[14] yaitu:
1.
Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak
mutlak al-haqq, karena
Dialah penggerak utama dari semua kejadian alam
ini.
2.
Pelepasan secara total semua keinginan pribadi
dan melepas diri dari sifat-sifat jelek yang berkenan dengan kehidupan duniawi
teresterial.
3.
Peniadaan kesadaran diri serta pemusatan diri
pada perenungan terhadap al-Haqq
semata, tiada yang dicari melainkan Dia.
B. Sumber dan Dasar Tasawuf
1. Sumber Tasawuf
Menurut para Sufi, sumber tasawuf adalah dari agama
Islam itu sendiri, tasawuf merupakan saripati dari ajaran Islam yang bersumber
dari al-Qur’an dan al Sunnah, ajaran tasawuf Islam bukanlah semata-mata lahir
dari ajaran Islam tetapi merupakan perpaduan atau pengaruh berbagai unsur
ajaran agama sebelum agama Islam itu lahir, seperti pengaruh ajaran Hindu,
Yahudi, Kristen, Persia, Yunani dan sebagainya.
Tasawuf Islam adalah murni bersumber dari semangat dan ruh
ajaran Islam itu sendiri serta perilaku Rasul dan sahabat-sahabatnya, terdapat
kesamaan antara ajaran tasawuf Islam dengan ajaran spiritual agama-agama lain.
Karena memang semua agama mengajarkan nilai kehidupan spiritual, baik Yahudi,
Kristen maupun Islam sama-sama bersumber dari yang satu, tentulah ada kesamaan
di antaranya tetapi tidak berarti ajaran tasawuf Islam merujuk kepada ajaran
agama lain selain Islam. Semua agama selalu berusaha membimbing dan menyadarkan
manusia untuk mampu melihat realitas lain yang lebih hakiki, yaitu realitas
Ilahi. Dalam Islam, hal-hal yang berhubungan dengan kecerdasan emosi dan
spiritual seperti konsistensi (istiqamah); kerendahan hati (tawadhu);
berusaha dan berserah diri (tawakkal); ketulusan, totalitas (kaffah);
keseimbangan (tawazun); integritas dan penyempurnaan (ihsan)
itu dinamakan akhlakul karimah (akhlak yang mulia).
Dasar ajaran tasawuf oleh orientalis Barat banyak yang
berpandapat bahwa ajaran tasawuf dibentuk oleh dua unsur yaitu unsur Islam dan
unsur dari luar Islam yaitu unsur Masehi ( Agama Nasrani), unsur Yunani, unsur
Hindu dan unsur Budha dan unsur Persia.[15]
1.
Unsur Islam
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat
lahiriah dan batiniah. Dalam dimensi kehidupan yang bersifat batiniahlah
kemudian lahir tasawuf. Kehidupan tasawuf mendapat perhatian yang cukup besar
dari sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, dan praktik kehidupan
Nabi serta para sahabatnya. al-Quran antara lain berbicara tentang kemungkinan
upaya saling mencintai (mahabbah)
antara manusia dengan Tuhan,[16]
Perintah agar manusia senantiasa bertaubat, membersihkan diri dan memohon
ampunan kepada Allah,[17]
petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan di manapun mereka
berada,[18] dan
keyakinan bahwa Tuhan dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendakinya,[19]
selanjutnya al-Qur’an mengingatkan manusia agar
tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda, serta senantiasa
bersikap sabar untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Sebelum diangkat menjadi Nabi, Muhammad sosoknya sebagai
sufi. Nabi sering mengasingkan diri di gua Hira menjelang datangnya wahyu.
Muhammad menjauhi pola hidup kebendaan
di mana waktu itu orang Arab terbenam di dalamnya. Orang-orang Arab memakai
segala cara untuk mendapatkan harta, misalnya melakukan praktek perdagangan
dengan cara menipu.[20]
Situasi masyarakat Arab pada masa itu, sebenarnya ikut
mempersubur lahirnya tasawuf. Setelah Islam tersebar ke segala penjuru,
pemerintahannya kokoh, dan masyarakatnya makmur, lalu muncullah pola hidup
mewah, glamor dan berfoya-foya. Dalam keadaan demikian, muncullah sekelompok
masyarakat yang melakukan protes dengan cara hidup zuhud seperti diperlihatkan
oleh Hasan al-Bashri. Secara gigih Hasan al-Bashri mampu mengembalikan umat
Islam kepada garis agama, sikap protes Hasan al-Bashri kepada umat Islam
mendapat simpatik dari banyak orang dan timbullah pola hidup tasawuf.
Pada masa itu, muncul beberapa aliran keagamaan, seperti
Khawarij dan Mu’tazillah. Ajaran keagamaan ini dikenal banyak mempergunakan
rasio dalam mendukung ide-idenya. Kecenderungan aliran keagamaan Islam yang
menganut paham rasionalisme ini lalu mendapat perlawanan dari komunitas
tasawuf. Kelompok yang terakhir ini berusaha mengasingkan diri dan memusatkan
diri untuk beribadah kepada Allah.[21]
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa munculnya tasawuf
di kalangan umat Islam bersumber pada dorongan ajaran Islam dan faktor situasi
sosial dan sejarah kehidupan masyarakat pada umumnya.[22]
2.
Unsur Dari Luar Islam
Menurut para orientalis Barat, ada juga unsur dari luar Islam
masuk ke dalam tasawuf karena secara historis agama-agama di luar Islam
tersebut telah ada sebelum Islam. Agama-agama di luar Islam tersebut telah di
kenal oleh masyarakat Arab yang kemudian masuk Islam.
Adapun unsur-unsur dari luar Islam
yang diduga mempengaruhi tasawuf antara lain adalah:
a.
Unsur Masehi
Orang Arab sangat menyukai kehidupan kependetaan, khususnya
dalam masalah latihan jiwa dan ibadah. Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf
dipengaruhi oleh agama Nasrani yang ada pada zaman jahiliah. Demikian juga
Ignaz Gold Ziher mengatakan bahwa sikap
fakir dalam Islam adalah bagian dari ajaran agama Nasrani. Nicholson
berpendapat bahwa istilah tasawuf berasal dari agama Nasrani, bahkan ada yang
berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama Nasrani.[23]
Sikap fakir dipercayai sebagai unsur Nasrani yang
mempengaruhi tasawuf Islam. Menurut keyakinan Nasrani, Isa bin Maryam adalah
seorang yang fakir, dan kitab Injil juga disampaikan kepada orang fakir. Isa
berkata, ”Beruntunglah orang-orang miskin, karena bagi merekalah kerajaan
Allah. Beruntunglah orang-orang yang lapar, karena mereka akan kenyang.” Selain
itu peranan Syeikh (dalam tasawuf) juga menyerupai pendeta. Bedanya pendeta dapat
menghapus dosa. Pendeta juga hidup selibat, yaitu tidak melakukan perkawinan
karena kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian seseorang sang pencipta. Dan
seorang sufi dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan
Allah.[24]
b.
Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani, khususnya dalam filsafat mulai masuk ke
dunia Islam pada akhir Daulah Umaiyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah.
Metode berpikir filsafat Yunani ikut mempengaruhi pola berpikir sebagian umat
Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Jika dulunya tasawuf Islam merupakan
tasawuf amaliah (akhlak), maka setelah terpengaruh filsafat Yunani tasawuf
Islam mulai mengalami banyak perubahan, salah satu penyebabnya adalah banyak
para tokoh dunia Islam yang mengadopsi pemikiran dari Barat, sehingga sadar
atau tidaknya tasawuf Islam sendiri mulai terpengaruh.
Menurut sudut pandang filsafat, segala sesuatu diukur menurut
akal pikiran. Tetapi menurut filsafat Neo-Platonis, hakikat yang tinggi hanya
dapat dicapai lewat pancaran Tuhan pada hati manusia setelah seseorang
membersihkan dirinya dari pengaruh materi. Ungkapan kaum Neo-Platonis
“kenalilah dirimu dengan dirimu.” Kemudian dimodifikasi beberapa orang sufi
menjadi “siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya.”
c.
Unsur Hindu dan Budha
Ada hubungan antara tasawuf dan sistem kepercayaan Hindu,
misalnya dalam soal fakir, al-Birawi mencatat
ada persamaan antara cara ibadah dan mujahadah
tasawuf dengan Hindu. Sama halnya dengan soal paham reinkarnasi, yaitu
perpindahan ruh dari satu badan ke badan yang lainnya. Dan juga ada persamaan
dalam pelepasan dari dunia Hindu dan Budha dengan konsep sufi soal persatuan
diri dengan jalan mengingat Allah.
Menurut Qamar Kailani, pendapat di atas terkesan tidak wajar,
karena jika ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu dan Budha berarti pada zaman
Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu dan Budha ke Makkah, padahal
sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.
d.
Unsur Persia
Sebenarnya antara Arab dan Persia sudah ada interaksi sejak
lama, khususnya dalam bidang politik, pemikiran kemasyarakatan dan bidang
sastra. Tetapi belum ditemukan bukti kuat bahwa khazanah keruhanian Persia
telah masuk ke tanah Arab. Sebaliknya, khazanah keruhanian Arab justru masuk ke
Persia lebih dahulu melalui para ahli tasawuf di dunia.
Dapat disimpulkan bahwa tasawuf bersumber dari ajaran Islam
yang dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabat. Hal ini dapat dilihat dari
azas-azasnya yang semuanya bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun tidak
dapat dipungkiri bahwa setelah tasawuf berkembang menjadi pemikiran, tasawuf
mendapat pengaruh dari filsafat Yunani, Hindu, Budha dan Persia.
2. Dasar Tasawuf
Ajaran tasawuf bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah, sama
kedudukannya dengan ajaran lainnya dalam Islam, seperti teologi, fiqh dan
sebagainya. Ajaran tasawuf bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang
memerlukan bantuan pemikiran yang sehat dan lurus. Yaitu pemikiran yang tidak
keluar dari semangat al-Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri, dan tidak menentang
rukun iman dan rukun Islam.
Boleh dikatakan bahwa tasawuf itulah sebenarnya inti ajaran
agama Islam, karena memiliki empat alasan, di antaranya: pertama, Kehidupan yang kekal adalah kehidupan di akhirat nanti
yang kebahagiaannya sangat bergantung kepada selamatnya rohani manusia dari
perbuatan baik dan buruk. Kedua,
Kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan di dunia ini sebenarnya terletak pada
adanya ketenangan batin yang dihasilkan dari kepercayaan pada Tuhan. Ketiga, Manusia dalam perjalanan
hidupnya akan sampai pada batas-batas di mana harta benda, pangkat jabatan dan
lainnya, yaitu pada saat usia sudah lanjut yang ditandai dengan melemahkan
fisik, kurang berfungsinya anggota tubuh dan kurang selera terhadap berbagai
kemewahan. Pada saat seperti ini manusia tidak ada jalan lain kecuali dengan
lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, tempat manusia harus
mempertanggungjawabkan amalannya. Keemmpat, Suasana kehidupan modern yang penuh
dengan berbagai paham sekuler seperti memuja materi, kepuasan nafsu,
keperkasaan dan sebagainya, sering menyeret manusia kepada kehidupan yang penuh
persaingan. Keadaaan tersebut semakin diperburuk dengan munculnya berbagai
produk budaya yang negatif mulai dari makanan dan obat-obat terlarang, hiburan
yang melupakan diri, pakaian yang mengundang syahwat, dan sebagainya. Hal ini
memberi pengaruh negatif berat pada generasi muda. Dalam keadaan seperti ini tasawuf dapat menjadi
salah satu cara alternatif untuk mengatasi masalah ini secara ekonomis, tetapi
hasilnya sangat efektif.
Melihat keuntungan dan kelebihan yang diberikan oleh tasawuf
ini, maka tidak ada alasan untuk tidak menerima tasawuf sebagai bagian dari
integral dari ajaran Islam, bahkan tasawuf harus diletakkan pada barisan paling
depan untuk menyelamatkan kehidupan manusia dari bahaya kehancuran dan
kesengsaraan di dunia dan di akhirat.[25]
C.
Pembagian
Tasawuf.
1.
Tasawuf
Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi (tasawuf akhlak) adalah laku tasawuf yang
dihiasi dengan akhlak yang baik dan terpuji. Di sini seorang pelaku tasawuf
menghindari watak yang tidak sehat seperti riya
(pamer), sum’ah (ingin didengar), ujub (membanggakan diri), sombong, egois
dan lainnya. Setelah menyingkirkan perilaku yang tidak baik, seseorang lalu
menghiasi diri dengan takwa dan ibadah, seperti salat, puasa, zakat, haji dan
lain-lain. Pelaku tasawuf akhlaqi selalu bersikap adil dan menjauhi sikap
berdusta dan zalim. Dia selalu merasa disaksikan oleh Yang Maha Mengetahui.[26]
Sangat penting dalam ajaran tasawuf akhlaqi mengisi hati
(kalbu) dengan sifat khauf, yaitu
merasa khawatir terhadap siksaan Allah. Seorang sufi adalah sosok yang zuhud, faqir, sabar, ridha, tawakkal dan musyahadah.
Hanya mengharap pahala dari Tuhan Yang Maha Pemurah. Ada dua cara yang dapat
dilakukan seorang sufi untuk memperdalam rasa ketuhanannya yaitu: Pertama;
munajat, yaitu melaporkan diri kehadhirat Allah atas segala aktifitas yang
dilakukan seseorang. Contohnya melontarkan keluhan dan mengadukan nasip dengan
untaian kalimat yang indah seraya memuji keagungan. Hal ini biasanya dilakukan
dalam suasana hening seperti setelah salat tahajud. Kedua; zikir maut,
yaitu melakukan zikir ke hadhirat Allah sambil mengingat mati (maut) yang tak
mungkin terhindarkan oleh siapapun. Seorang sufi berkeyakinan bahwa ingat akan
mati merupakan rangkaian aktifitas rohani yang perlu dibina dan dikembangkan.
Dengan selalu mengingat kematian yang setiap saat bisa datang, juga berzikir
dan senantiasa mengingat Allah, maka seseorang akan terpacu untuk beribadah dan
berbuat kebajikan.
2.
Tasawuf
‘Amali
Dalam tasawuf ‘amali (tasawuf amal) ada beberapa istilah,
yang pertama adalah murid yang terdiri dari:
1)
Mubtadi’,
artinya pemula, yaitu seseorang yang baru mempelajari syariat
2)
Mutawasth,
yaitu seseorang yang sudah mempunyai pengetahuan yang cukup tentang syariat
Islam
3)
Muntahi,
yaitu seseorang yang ilmu syariatnya telah matang, dan dia juga telah menjalani
tarekat dan mendalami ilmu batiniah sehingga jiwanya bersih dan tidak melakukan
maksiat.
Syariat Islam berperan bagi orang-orang yang ingin memasuki
lapangan tasawuf. Jadi, melaksanakan syariat Islam itu merupakan kriteria utama
bagi seorang murid.
Istilah kedua dalam tasawuf ‘amali adalah syaikh, yaitu
seorang pemimpin kelompok keruhanian. Syaikh
adalah pengawas para murid dalam segala kehidupan. Dia merupakan penunjuk jalan
yang sewaktu-waktu dianggap sebagai perantara antara seorang murid dengan
Tuhannya yang biasa disebut Raithah.
Syaikh juga disebut Mursyid, yaitu
orang yang sudah melalui tingkat khalifah. Pada dasarnya seorang murid harus
tunduk kepada syaikh, menyerahkan
diri sepenuhnya kepada syaikh, setia dan rela dengan perlakuan apa saja yang ia
terima dari syaikhnya.
Dari amalan serta jenis ilmu yang dipelajari dalam tasawuf
‘amali, ada dua macam hal, yang disebut dengan ilmu lahir dan ilmu batin yang
terdiri dari empat kelompok: Pertama,
syari’at, yaitu amalan lahir yang penting dalam agama dan biasa dikenal dengan
rukun Islam dan segala hal yang berhubungan dengannya. Syari’at bersumber dari
al-Qur’an dan Hadist. Kedua, tharekat,
yaitu tata cara yang telah digariskan dalam agama yang dilakukan hanya karena
penghambaan diri kepada Allah dan karena ingin berjumpa dengan Allah. Ketiga, hakikat, yang diartikan sebagai
aspek batiniah. Hakikat merupakan rahasia yang paling dalam dari segala amal,
inti dari syariat dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi. Keempat, ma’rifat, yaitu pengalaman,
pemahaman dan penghayatan yang mendalam tentang Tuhan melalui hati sanubari
yang sedemikian lengkap dan luas, sehingga jiwa seorang sufi menyatu dengan
Tuhan.[27]
Dalam tasawuf ‘amali
dikenal beberapa istilah yang menunjukkan seorang sufi melalui bimbingan
seorang guru. Yaitu:
1)
Al-manazil,
yaitu tempat-tempat perhatian yang dilalui seorang mubtadi, misalnya timbul getaran hati untuk menghentikan kelalaian.
2)
Al-masyahid,
yaitu hal yang terlihat di tengah perjalanan yang sedang ditempuh baik oleh mutawasyith, misalnya masyhadat al-hayawaniah yaitu nafsu
kebinatangan pada manusia terlihat. Juga ada nafsu qalbiyah yaitu jika berjumpa dengan kotoran, ia saling
berebutan antar sesamanya, misalnya memperebutkan barang yang sudah jelas
haramnya.
3)
Al-maqamat,
yaitu derajat yang diperoleh seorang sufi dengan usaha sendiri setelah selamat
menempuh perjalanan yang panjang dan berat.
4)
Al-ahwal,
yaitu derajat dan situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang atas anugerah dari
Allah Swt. bukan dari hasil usaha
seperti pada al-Manazil dan al-Masyahid.
3. Tasawuf Falsafi
Tasawuf
falsafi mempunyai tiga konsepsi tentang Tuhan yang berakar dari al-Qur’an dan
Hadist.
1)
Konsep etika yang dikembangkan di kalangan zuhud
sebagai bibit permulaan timbulnya tasawuf. Zat Tuhan dianggap sebagai kekuasaan
Tuhan, daya dan iradat yang mutlak. Tuhan adalah pencipta yang tertinggi dari
segala sesuatu, termasuk tingkah laku manusia.
2)
Konsepsi estetika, yaitu tentang Tuhan dalam estetika.
Tasawuf bersumber dari anggapan bahwa Tuhan dan manusia berkomunikasi timbal
balik. Rasa cinta yang luar biasa kepada Tuhan adalah karakteristik konsepsi
estetika ini yang pertama dimunculkan oleh Rabiah al-Adawiyah. Jika seorang
sufi menyembah Tuhan, maka dia ingin mendapat sambutan cinta dari Tuhan.
3)
Konsepsi kesatuan wujud, yaitu bahwa dalam diri manusia
terdapat unsur-unsur ketuhanan, karena dia merupakan pancaran dari Nur Ilahi.
Maka jiwa manusia selalu berusaha kembali bersatu dengan sumber asalnya. Jadi
alam semesta dan berbagai fenomena di dunia ini hanyalah bayangan dari realita
yang sesungguhnya yaitu Tuhan. Satu-satunya wujud yang hakiki adalah wujud
Tuhan yang menjadi dasar bagi adanya segala sesuatu.
BAB III
PENGARUH TASAWUF TGK. H. MUHAMMAD HASAN KRUENG
KALEE TERHADAP PERKEMBANGAN SPIRITUAL MASYARAKAT
A.
Biografi tgk. H. Muhammad hasan krueng Kalè
Tgk. H. Muhammad Hasan Krueng Kalè lahir pada tanggal 13 Rajab 1303 H, bertepatan dengan tanggal 18 April 1886
M di beri
nama Muhammad Hasan. Abu Hasan dilahirkan di gampong Langgoe Menasah Keutumbu, Kemukiman Sangeue, Pidie, dalam rantau pengungsian akibat
perang Aceh-Belanda yang sedang berkecamuk di wilayah Aceh Besar.[28] Secara lengkap nama beliau adalah Tgk. Haji
Muhammad Hasan bin Tgk. H. Syeikh Muhammad Hanafiah bin Tgk. Syekh Abbas bin Tgk. Syekh Muhammad Fadhil bin
Syekh Abdurrahman yang bergelar Tgk. Ja Meulaboh (Tgk di Kubu) bin Faisal bin
Ramah bin al-La’badah bin al-Haurani Ibnu as-Sab’ah yang dikenal dengan Tgk.
Syiah tujoh, dan biasanya masyarakat mengenal beliau dengan sebutan Abu Hasan
Krueng Kalè.
Tgk. Syiah Tujoh adalah nama seorang
ulama bangsa Arab yang datang ke Aceh pada tahun 1564-1568 M, Beliau adalah
salah seorang anggota utusan dari 40 orang yang dikirim oleh Sultan Turki ke
Aceh, bersama 200 pucuk meriam tembaga. Abu Hasan Krueng Kalè pernah menuturkan
bahwa kakeknya salah seorang teungku dari Syiah Tujoh pernah diseberangkan
melewati sebuah sungai oleh semacam ikan belut, di sungai Durueng Krueng Raya
Aceh Besar, peristiwa ini merupakan karamah yang Allah berikan kepada para
ulama dan para auliya.
Abu Hasan Krueng Kalè adalah anak
pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Tgk. H. Muhammad Hanafiah (Tgk. H.
Muda) dengan Nyakti Hafsah binti Syech Isma’il, Abu Hasan Krueng Kalè mempunyai
saudara laki-laki namanya Abdul Wahab, dan seorang saudari perempuan bernama
Asiah, keduanya tidak mempunyai keturunan karena sudah meninggal dunia sebelum
sempat berkeluarga.
Adik Abu Hasan Krueng Kalè bernama Syech
Abdul Wahab sejak kecil telah memiliki kelebihan supranatural yang tinggi,
dalam istilah agama lebih dikenal dengan sebutan irhash, kelebihan itu antara lain dapat membaca kejadian-kejadian
seperti kehilangan barang dan benda-benda berharga akibat pencurian (dalam
istilah Aceh dikenal dengan keumalon),
dan mengobati orang sakit.[29]
Sejak kecil Abu Hasan Krueng Kalè telah
mempelajari keilmuannya di bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad Hanafiah yang
dikenal dengan panggilan Tgk. H. Muda. Abu Hasan Krueng Kalè juga belajar agama
di Dayah Tgk. Chik di Keubok pada Tgk. Musannif yang menjadi guru pertama
setelah ayahnya sendiri. Ketika Abu Hasan Krueng Kalè sudah dewasa, Abu Hasan
Krueng Kalè melanjutkan pendidikannya ke Yan Keudah, Malasyia, di pesantren
Tgk. chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu.[30]
Dari Yan Abu Hasan Krueng Kalè bersama
adik kandungnya yang bernama Abdul Wahab berangkat ke Makkah untuk melanjutkan
pendidikan di Mesjid al Haram, namun tidak lama setiba mereka di sana, adiknya
Abu Hasan Meninggal dunia karena sakit, peristiwa ini tidak membuat Abu Hasan
patah semangat, Abu Hasan tetap sabar dan teguh melanjutkan pendidikannya dari
para ulama besar Masjid al Haram hingga lebih kurang 7 tahun.
Dari Mekkah Abu Hasan Krueng kalè tidak langsung pulang ke Aceh, tapi terlebih
dahulu singgah di pesantren Yan Keudah. Di pesantren ini Abu Hasan sempat mengajar dalam beberapa tahun,
kemudian Abu
Hasan dijodohkan oleh gurunya Tgk. M. Irsyad dengan seorang gagis yatim keturunan Aceh bernama Nyak Safiah
binti Husein.
Atas panggilan pamannya Tgk. Muhammad Sa’id pimpinan dayah Meunasah Baro, Abu Hasan pulang untuk
mengabdi dan mengajar di dayah tersebut, kemudian Abu
Hasan Krueng Kalè membuka
lembaga pendidikannya sendiri di Meunasah Blang yang sekarang terletak di desa Siem yang
bersebelahan dengan desa Krueng Kalè di
kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar.[31]
Di Meunasah Blang ini Abu Hasan Krueng Kalè mulai mengabdikan seluruh ilmunya dan berhasil mencetak kader
ulama-ulama baru dan berpercar ke seluruh Aceh. Seperti Tgk. H. Mahmud Blang Bladeh, Tgk. H. Abdul Rasyid Samlako Alu
Ie Puteh, Tgk. H. Sulaiman Lhok Sukon, Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang, Tgk. H. Adnan Bakongan, Tgk. H. Sayid Sulaiman (Mantan imam mesjid Raya Baiturrahman), Tgk. H. Idris Lamreung (ayahanda
dari Alm.Prof. DR. Safwan Idris, Mantan Rektor IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh). Sebagian
dari mereka kemudian membuka lembaga-lembaga pendidikan agama atau dayah baru
di daerahnya masing-masing.[32] Namaun sekarang dayah menasah Blang ini sekarang
sudah di jadikan dayah terpadu oleh keturunan Abu Hasan Krueng Kalè.
Peran Abu Hasan Krueng kalè
sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan agama di
Aceh pada masa berikutnya. Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya pada
malam jum’at sekitar pukul tiga pagi hari Abu Hasan Krueng Kalè menghembuskan nafas
terakhirnya. Dengan meninggalkan tiga orang Istri, Tgk Hj Nyak Safiah di Siem, Tgk Nyak Aisyah di
Krueng Kalee dan Tgk Hj Nyak Awan di Lamseunong.
B.
Penerapan Nilai-nilai Ketauladanan
Islam adalah agama yang sangat memberi perhatian kepada
peningkatan sumber daya manusia. Para Rasul dan Anbiya pada umumnya diutus
kemuka bumi ini hanya untuk memperbaiki moral manusia dan meningkatkan kualitas
hidup manusia.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan petunjuk yang sangat
banyak berisi ayat-ayat yang menganjurkan umat untuk menggunakan daya pikir dan
nalar untuk segala hal. Allah juga mengangkat derajat orang-orang yang memiliki
ilmu pengetahuan setingkat dengan orang-orang yang beriman. Seperti firmannya:
Niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat
(Q.S.al-Mujadilah: 11)
Perhatian Islam
dalam mendidik kader-kader sumber daya manusia yang beriman begitu berarti,
bahkan dapat menyamai perintah jihad fi
sabilillah yang merupakan bentuk amal dan perjuangan tertinggi dalam agama
Islam.[33]
Rasulullah saw
sangat mementingkan sumber daya manusia dan profesionalisme dalam segala
pekerjaan. Keduanya dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan. Karena banyak sekali
hadis yang memerintahkan untuk menuntut ilmu, dan menggambarkan keutamaan para
ulama dan ilmuan.
Sebagai seorang ulama besar dan guru umat, Abu Hasan Krueng Kalè
sangat memahami sirah Rasulullah, dalam kaitan antara ilmu pengetahuan dan
peningkatan sumber daya manusia. Dayah Krueng Kalè adalah salah satu dayah
terkemuka di Aceh yang sangat berperan mendidik sumber daya manusia umat Islam
setelah perang Aceh tahun 1904. Perang Aceh-Belanda selama 30 tahun lebih, yang
telah mewariskan kejahilan di tengah-tengah masyarakat. Menyadari hal ini, para
ulama Aceh mencoba memulai kembali pendidikan umat dengan mendirikan kembali
dayah-dayah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan Islam di tengah
masyarakat Aceh saat itu.
dayah Lembaga
pendidikan yang dinilai lebih berperan dibandingkan dengan lembaga pendidikan formal seperti
sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada masa itu sekolah
yang didirikan kolonial Belanda masih dianggap tabu oleh sebagian besar umat
Islam Aceh, karena dianggap sebagai representasi dari kepentingan penjajah
Belanda.[34]
Kurikulum sekolah pada masa itu masih sangat sekuler dan tidak ada pelajaran agama
Islam. Hanya dayah yang dianggap satu-satunya lembaga pendidikan yang tepat untuk
umat Islam pada masa itu, karena lembaga pendidikan agama lainnya belum muncul.
Inilah alasannya kenapa sebagian ulama pada masa itu melarang generasi muda
Islam untuk sekolah. Peran Dayah sangat berperan dalam mendidik kader ulama dan generasi
Islam di Aceh.
Hal ini diakui oleh
Prof. A. Hasjmy dalam tulisannya “Peranan Agama Islam dalam Perang Aceh dan
Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” Beliau menyatakan bahwa pendidikan Islam telah
mengambil tempat dalam pembangunan bangsa yang dimulai dengan membangun pusat
pendidikan dayah Cot Kala, yang kemudian berkembang di seluruh Aceh.[35]
Peran Abu Krueng
Kalè untuk memajukan pendidikan di Aceh juga terlihat dari partisipasinya dalam
Musyawarah Pendidikan Islam yang diadakan di Leubok Aceh Besar, pada tanggal
1-2 Oktober 1932. Dalam pertemuan yang membicarakan masalah perbaikan sistem
pendidikan Islam di Aceh, Abu Hasan Krueng Kalè hadir bersama para ulama lain yang menjadi
peserta musyawarah tersebut. Di antaranya adalah: Tgk. Haji Hasballah
Indrapuri, Tgk. Muhammad Daud Bereueh, Tgk. Haji abdul wahab Seulimum, Tgk. Muhammad Hasby
As-Shiddiqy, Tgk. Haji Abdullah Ujong Rimba, Tgk. Haji Hasballah Pase, Tgk. Jalaluddin Amin Sungai
Limpah, Tgk.
Haji Abdullah Lam U, Tgk. Zakaria Teupin Raya, Tgk. Usman Gigieng, Tgk. Muhammad Amin Jumphoh, Tgk. Haji Umar Meuredu, Tgk. haji Muhammad Alue, Tgk. Muhammad Saleh Iboih dan
Tgk. Haji
Trieng Gadeng.
Keputusan-keputusan
yang dihasilkan dalam pertemuan musyawarah pendidikan Islam tersebut, yaitu:
1.
Dalam agama Islam sama sekali
tidak melarang mempelajari ilmu dunia, asalkan tidak bertentangan dengan
syariat Islam.
2.
Memasukkan pelajaran umum ke
sekolah agama memang menjadi hajat sekolah-sekolah itu
3.
Orang perempuan berguru kepada
orang laki-laki itu tidak ada halangan dan tidak tercegah pada syara’.
Keikut sertaan Abu Krueng Kalè dalam musyawarah tidak
menepis segala tuduhan sebagai orang yang mengatakan bahwa beliau sangat anti
terhadap pendidikan umum dan pendidikan bagi kaum wanita, karena ketika itu
belum ada sebuah lembaga pendidikan Islam di Aceh yang mampu dan memiliki
sumber daya manusia yang cukup untuk memadukan sistem pendidikan Islam dan umum
dengan baik dan benar. Sekolah kolonialis Belanda dan dayah salafi yang terlihat hanya
dua kubu yang berseberangan, sehingga generasi muda muslim berhadapan dengan
suatu pilihan yang tidak mudah, satu-satunya pilihan yang masuk akal saat itu
menurut pandangan Abu Hasan Krueng Kalè adalah mempertahankan sistem pendidikan dayah salafi.[36]
Peran Abu Krueng Kalè dalam mendidik sumber daya umat
manusia tidak pernah terhenti dalam situasi apapun. Perjuangan Abu Hasan Krueng Kalè
dalam mendidik masyarakat tidak pernah berhenti seperti yang telah dianjurkan
oleh agama, dan Abu Hasan tetap istiqomah pada jalur perjuangan melalui pendidikan
tersebut hingga ajal menjemputnya[37].
Pada masa itu khususnya daerah Aceh, tidak ada lembaga pendidikan yang Islami
menurut Abu Hasan Krueng Kalè kecuali dayah. Itu sebabnya anak-anak tertua beliau seperti Tgk. H. Syech Marhaban dan Tgk. H. Muhammad Ghazali
keduanya terdidik dalam lingkungan dayah salafi, bahkan sampai ada yang bisa
menjadi menteri.
Semua anak-anaknya tidak ada yang buta huruf, rata-rata sempat sekolah hingga
ke bangku sekolah menengah atas atau sederajat[38].
Artinya Abu
Hasan Krueng Kalè sudah berupaya semampunya untuk mendidik anak-anaknya dengan
baik dan mempersiapkan kader generasi penerus dayah, namun faktor keberhasilan kaderisasi
ternyata juga sangat tergantung pada suratan garis takdir, kesiapan dan kemauan
dari para penerusnya.
C.
Hidup yang Istiqamah dan Berakhlak Mulia
Istiqamah adalah sikap teguh dalam memegang prinsip dan
menjalankan amalan secara konsisten. Sikap seperti ini dalam agama sangat
terpuji dan dianjurkan. Karena sikap istiqamah ini telah ada pada masa Nabi para ulama dan da’i
yang mendidik umat serta menyeru kejalan Allah. Allah juga menjanjikan pertolongan
dan pahala di surga bagi orang-orang yang tetap istiqamah dalam beragama
walaupun dalam keadaan yang sangat sulit. Allah swt. berfirman dalam surat
al-Fushilat ayat 30:
Sesungguhnya orang-orang
yang mengatakan ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian
mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan ‘janganlah
kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan surga
yang telah di janjikan oleh Allah
kepadamu’.
Hal yang menjadi
ciri khas keutamaan Abu Krueng Kalè adalah sikapnya yang istiqamah dalam berbagai
pandangan agama dan akhlaknya yang selalu menginspirasikan suri tauladan yang
baik kepada para santri maupun masyarakat. Hal tersebut memberi nilai sangat
positif bagi keberhasilannya dalam mencetak kader ulama dan mendidik umat.[39]
Abu Krueng Kalè
adalah seorang ulama yang jenius tapi sederhana dan tidak sombong, dalam setiap
pembahasannya pasti mempunyai pandangan. Orangnya memang sedikit keras tetapi
hanya dalam kebenaran. Beliau suka menarik garis dalam semua hal, artinya
menerapkan aturan dengan semestinya sehingga beliau dianggap keras, padahal
sebenarnya tidak seperti itu.
Istiqamah dan
berakhlak adalah dua nilai penting yang menghiasi kisah perjuangan tokoh Abu Hasan Krueng Kalè dalam
mendidik kader ulama dan umat, sehingga pandangan-pandangannya tetap hidup di tengah-tengah
masyarakat dan dihormati sepanjang masa.
D.
Bermasyarakat yang Santun dan Damai
Dakwah yang dilakukan Abu Krueng Kalè dalam masyarakat adalah dakwah bil hal (dakwah dengan memberi contoh)
hanya sesekali menggunakan dakwah bil
maqal (dakwah dengan metode ceramah). Ketika sedang berdakwah dalam masyarakat beliau
selalu mengedepankan pendekatan sosial dengan dialog-dialog dan diskusi. Jika
terjadi perbedaan pandangan, beliau tidak memaksa orang lain mengikuti
pandangannya.[40]
Sering terlihat dalam penentuan awal puasa Ramadhan ataupun awal Syawal.
Walaupun selalu mengeluarkan jadwal hisab Ramadhan dan melakukan ’rukyah, jika ada yang
berlainan dengan kesimpulan akhirnya, beliau tetap menghormati kelompok lain
dan tidak pernah memprovokasi masyarakat untuk tidak mengikutinya apalagi
mengkafirkan mereka.[41]
Abu Krueng Kalè juga tidak pernah melarang langsung
acara rapa’i dan seudati yang sering di gelar di kampung-kampung sekitar dayah,
dan beliau juga sangat melarang murid muridnya untuk menghadiri acara-acara
seperti itu. Larangan Abu Hasan Krueng Kalè pada hakikatnya bukan pengharaman terhadap seni Aceh, tetapi lebih
pada efek Ikhtilath atau campur baur
antara laki-laki dan perempuan, dan efek negatif lain dari keramaian itu
sendiri.
Sikap bermasyarakat yang santun dan damai seperti itu
hanya dapat dilakukan oleh seorang ulama yang memahami fiqh dakwah dengan baik dan benar.[42]
Mampu menghormati perbedaan yang ada, dan tetap yakin akan kebenaran hakiki dan
hidayah itu hanya milik Allah swt.
E.
Pemurni Aqidah
Abu Krueng Kalè selalu berusaha dalam memurnikan aqidah
dengan menanamkan ilmu ketauhidan dan dengan menanamkan keimanan kepada
muridnya di dayah. Para santri yang telah memahami aqidah ketauhidan masuk ke dalam
kehidupan masyarakat melalui pendekatan dakwah. Dengan dakwah ini dapat membawa
perubahan secara perlahan-lahan untuk meninggalkan tradisi yang sesat pada masa
itu, contohnya memuja kuburan yang melanggar syariat Islam, perbuatan seperti
ini juga merusak aqidah masyarakat.[43]
Merosotnya aqidah dalam masyarakat Aceh pada waktu itu
dipengaruhi oleh aliran “wahdatul wujud dan saleek buta”. Wahdatul wujud adalah
faham yang dianut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As. Sumatrani. Setelah ulama
ini meninggal ajarannya dikembangkan oleh pengikutnya dengan mengadakan
perubahan-perubahan sehingga menjadi tarekat yang menyesatkan, dan masyarakat
menyebutnya dengan istilah Saleek Buta. Antara wahdatul Wujud dengan Saleek
Buta perbedaannya sangat berbeda. Wahdatul Wujud adalah suatu aliran filsafat
tasawuf, sedangkan saleek Buta adalah hasil ciptaan para pengikut Wahdatul
Wujud yang berpikiran awam.
Teungku Abdullah Ujong Rimba menerangkan bahwa asal mulanya terjadi
perselisihan antara kaum Saleek Buta dengan Fuqaha yaitu tentang syari’at,
tharikat dan hakikat. Orang saleek buta suka mengambil hakikatnya saja supaya
cepat sampai
kepada Allah. Sedangkan para Fuqaha memberikan fatwa bahwa hakikat tidak akan
tercapai apabila rukun dan Syari’at
belum benar.
Ajaran saleek buta yang berkembang dalam masyarakat ada empat macam, yaitu: Pertama, Ma’syuq yaitu menikam zat, yang merupakan tempat segala terbit alam
ini. Alam ini menikam zat Allah dan pada hakikatnya Allah juga. Kedua, Mereka menganggap dirinya
sebagai alam semesta, maksudnya apapun yang disuruh dan diwajibkan oleh Allah
telah ada dalam tubuh mereka. Jadi mereka tidak perlu mengerjakan lagi apa yg
diwajibkan.[44] Ketiga, Anggapan bahwa nabi Muhammad
sebenarnya Allah, mereka menganggap dan meyakini bahwa tubuh yang sebenarnya
adalah nyawa, dan nyawa yang sebenarnya adalah nabi Muhammad, dan kemudian nabi
Muhammad itu adalah Allah. Sehingga dalam zikir disebutkan “La ana Illah Huwa” artinya bukanlah aku
melainkan dia, atau akulah Allah. Dan
Keempat, Sembahyang menurut mereka
dibagi empat: yang pertama sembahyang makrifat yaitu zat, kedua sembahyang
hakikat yaitu sifat, ketiga sembahyang Tharikat yaitu asma, dan yang ke empat
sembahyang Syari’at yaitu af’al atau
perubahan secara lahir.
Aliran saleek buta ini pada waktu itu telah berkembang
hampir keseluruh pelosok daerah Aceh. Banyak masyarakat yang terpengaruh untuk
mengikutinya. Para ulama besar berusaha untuk mencegah agar ajaran saleek buta
tidak berkembang dalam masyarakat. Abu Hasan Krueng Kalè dan Tgk. H. abdullah Ujong Rimba telah mengeluarkan fatwa yang dikeluarkan dala
tulisannya yang berjudul “pedoman penolakan saleek buta”. Abu Hasan Krueng Kalè
sebagai ulama besar telah memberikan kata sambutan sebagai pengesahan dari
kitab tersebut, yaitu:
“maka setelah hamba pikir melihat menelaah akan risalah
ini, dari awal sampai akhir, maka hamba berkata, patut sekali menghidupkan
risalah ini dan mencetakkan akan dia, supaya mudah-mudahhan memeliharakan Allah
taala akan setengah hambanya dengan sebab risalah ini dari pada tersorong masuk
pada jalan bid’ah dhalalah yang membawa kepada jalan kufur atau semata-mata
yang telah tertabur dalam negeri aceh dan lain-lainnya”.
Abu Hasan Krueng Kalè juga
pernah terlibat sebagai penasehat dalam komite anti Ahmadiyah di Aceh. Organisasi ini
bertujuan untuk nenentang Ahmadiyah yang dianggap telah menyimpang dari ajaran agama Islam.[45]
Yang bergabung dengan anti Ahmadiyah ini berusaha memberikan dakwah dan
petunjuk dengan bukti-bukti yang kuat kepada masyarakat bahwa ajaran Ahmadiyah
benar-benar sesat dan merusak aqidah umat Islam.
Sebagai ulama dan
pendidik Abu
Hasan Krueng Kalè selalu aktif dalam masyarakat untuk memberikan petunjuk dan
pengarahan dan bimbingan untuk selalu melakukan amal makruf nahi mungkar
seperti yang telah di Syari’atkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf menjadi salah satu cabang keilmuan
dalam Islam, atau secara keilmuan merupakan hasil peradaban Islam yang lahir
setelah Rasulullah wafat. Tasawuf adalah sebagian
ilmu ajaran Islam yang membahas cara-cara seseorang mendekatkan diri kepada
Allah, seperti berakhlak yang tinggi (mulia), tekun dalam beribadah tanpa keluh
kesah, memutuskan hubungan selain Allah karena kita merasai tidak memiliki
sesuatu apapun di dunia ini dan tidak dimiliki oleh siapapun di kalangan
makhluk. Menolak hiasan-hiasan duniawi seperti kelezatan
dari harta benda yang biasa memperdaya manusia, dan menyendiri menuju jalan
Allah dalam mengasingkan diri dari keramaian dunia untuk beribadah.
Satu hal yang menarik dikaji pada tokoh Abu
Krueng Kalee adalah kiprahnya di dunia politik. Meski Abu Krueng Kalee seorang
ulama salafi dan sufi terkemuka di Aceh yang dikenal sangat fanatik, namun hal
tersebut tidak lantas membuatnya jauh dari dunia politik yang seolah dianggap
tabu dan berseberangan dengan ajaran agama.
Pemahaman yang benar terhadap sirah Rasul ini
membuat abu krueng kalee dapat mengkombinasikan kedua hal tadi dalam
kehidupannya. karena tasawuf dan tarikat tidak selalu identik dengan uzlah
(pengasingan diri) dari kehidupan sosial. Pemahaman ini pula yang kemudian
membuat kiprah tgk. H. Hasan Krueng Kalee selalu hadir mengiuringi setiap
peristiwa yang muncul disekelilingnya.
Dalam upaya mengusir penjajahan colonial
Belanda mislanya, sikap Abu Krueng Kalee jelas terlihat dari usahanya membentuk
lascar mujahidin yang terdiri dari para santri dan masyarakat guna mengusir
penjajahan dari Bumi Serambi Mekkah. Hal ini terus berlanjut hingga perang
Revolusi mempertahankan kemerdekaan.
Tgk. H. Hasan Krueng Kalee memang telah tiada,
namun degungan suara tahlil dan shamadiyah menurut tarekat Al-Haddadiyah masih
menggema dan terus terdengar di berbagai desa dan kota di serambi Mekkah.
Seiring dengan itu fatwa syahid yang beliau keluarkan masih terus relevan dan
memberi motivasi sendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengisi kemerdekaan dan
pembangunan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Qadir
Djaelani,1996, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, Jakarta: Gema Insani Press.
Amsal Bachtiat, 2003, Tasawuf dan Gerakan Tarekat, Bandung:
percetakan Angkasa
A.Rifa’i Siregar, 2002, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme,
Jakarta: Raja Grafindo Pesada
Abudin Nata, 2011, Akhlak Tasawuf, Jakarta:Rajawali Press
Dahlan Tamrin, 2010, Tasawuf Irfani, Malang: UIN Maliki
Press
Khairul Umami, 2011, Ensiklopedi Ulama Besar Aceh, Aceh
Indonesia: LKAS.
Luthfi Aunie,dkk, 2004,
Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh, Aceh:
Ar-Raniry press.
Mutiara Fahmi Razali,
dkk, 2010, Tgk H Muhammad Hasan Krueng
Kalee Ulama Besar dan Guru Umat, Aceh Besar, Yayasan Darul Ikhsan.
Nasution S, 1992, Metode Penelitian Nuralistik Kualitatif, Bandung:
Tarsito
Rusdi Sufi, 2006, Tgk Hasan Krueng Kalee(profil seorang ulama
Aceh), (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Dinas Kebudayaan, Program
Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Daerah dan Seni)
Solihin, 2005, Akhlak Tasawuf, Bandung: Penerbit
Nuansa
Sri Waryanti, 2012, Tgk H Muhammad Hasan Krueng Kalee, (Banda
Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Tradisional)
Tgk H Abdullah Ujong
Rimba, Ilmu Terekat dan Hakikat
[1]Abdul Qadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hal 14.
[14]A. Rifa’i Siregar, Tasawuf,
dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta:Raja Grafindo Pesada, 2002), hal 58.
[16]Qs al-Mai’idah:54.
[17]Qs al-Tahrim:8
[18]Qs al-Baqarah:110
[19]Qs al-Nur: 35
[22]Solihin, Akhlak
Tasawuf...hal 159.
[28]Mutiara Fahmi, Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee, (Aceh Besar: Yayasan
Darul Ikhsan Tgk H Hasan Krueng Kalee), hal 3
[31]Rusdi Sufi, Tgk H Hasan Krueng Kale (profil seorang
ulama Aceh, (Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam: Dinas Kebudayaan, Program Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan
Daerah dan Seni, 2006), hal 43
[33]Mutiara Fahmi, Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee, (Aceh Besar: Yayasan
Darul Ikhsan Tgk H Hasan Krueng Kalee), hal 133.
[35]A. Hasjmy, Peranan agama Islam
dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Sinar Darussalam,
No. 63, mei/Juli 1980, hal. 25.
[41]Mutiara Fahmi, Teungku
Haji...hal 146.
[43]Rusdi Sufi, Tgk Hasan Krueng
Kalee, (NAD: Program Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Daerah dan
Seni), hal
83-84.
0 komentar:
Posting Komentar