Beberapa hari terakhir, gerhana
matahari menjadi trending topik dikalangan masyarakat. Fenomena alam
yang sangat langka ini, telah menimbulkan berbagai reaksi. Hal ini terjadi setelah ahli astronomi dan
juga ahli falak menaksirkan bahwa akan terjadi gerhana pada tanggal 9 Maret
2016. Oleh karena itu, hari ini akan menjadi hari yang bersejarah karena akan
berbeda dengan hari-hari lainnya.
Sebenarnya dari sudut pandang
ilmiah, meskipun hal ini langka, namun peristiwa tersebut biasa-biasa saja
alias tidak perlu dikhawatirkan. Kalkulasi yang dibuat sedemikian rupa membuat
gerhana tersebut sudah dapat diprediksikan akan terjadi, meskipun dengan
kalkulasi yang sangat ilmiah oleh para ilmuan, bahwa gerhana adalah sebuah
fenomena alam, namun intervensi Allah sebagai Pengatur dan Penggerak tidak
boleh di abaikan.
“hawa katrep”
Pasca masyarakat mengetahui bahwa
akan ada gerhana, rasa penasaran tentu akan terus menyelimuti, hal ini terjadi
bukan tanpa alasan melainkan karena fenomena ini sangat langka terjadi,
sehingga antusiasme masyarakat sangat tinggi. Maka sangat rasa “hawa katrep”
sangat cocok disebut sebagai istilah.
Berbagai cara tentunya akan
dilakukan untuk dapat melihat fenomena alam tersebut, saya sempat mendengar
bahwa ada yang menyediakan kacamata tersebut di kota Banda Aceh, namun saya
tidak mengetahui pasti, siapa dan dimana kacamata tersebut disediakan.
Sosial media (sosmed) menjadi
alat yang sangat ampuh untuk mempublikasikan, dan menanyakan segala sesuatu, mengingat
ada begitu banyak orang yang berada dalam media tersebut, yang siap menjawab
pertanyaan yang diajukan. Berdasarkan hal itu,
ada beberapa rekan di sosial media yang menanyakan di mana kacamata
tersebut dapat didapatkan?.
Selain persiapan kacamata untuk
menyaksikan fenomena langka ini, adalagi hal aneh dan menarik perhatian yang
dipersiapkan oleh sebagian masyarakat. Mungkin kita sudah tidak asing lagi
dengan istilah selfie (memotret diri sendiri) yang sekarang sangat
sering dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat, hal inilah yang
dipersiapkan matang-matang oleh masyarakat.
Fenomena alam yang tidak terjadi
dengan sendirinya, akhirnya telah mampu menyedot perhatian sebagai objek wisata
alam yang menarik untuk disaksikan. Dengan demikian pergeseran makna dari
gerhana tersebut sudah jauh dari koridornya, apakah masyarakat yang kurang atau
haus hiburan atau memang ini merupakan
upaya untuk mengaburkan makna fenomena alam juga sebagai sebuah musibah.
Mengambil pelajaran bukan “cok
gamba”
Gerhana boleh jadi, merupakn
sebuah musibah yang akan menimpa masyarakat. Meskipun para ahli sudah
memprediksi durasi dan tingkat kegelapan yang terjadi pada saat gerhana berlangsung, apakah ada
jaminan seratus persen atas apa yang mereka prediksikan, bagaimana jika itu
meleset? Durasinya malah lebih panjang dan tingkat kegelapan juga sangat tinggi
masihkan kita berpikir akan mengambil gambar atau selfie?. Boleh jadi
itu tidak akan terjadi.
Antusiasme yang tinggi nampaknya
mampu membuat manusia lupa akan dirinya, lupa akan kodratnya sebagai makhluk
yang diciptkan, mengaburkan makna bahwa ada kekuatan sangat luarbiasa diluar
sana yang jauh dari jangkauan manusia, dan tidak ada yag mampu menebak dan
menandinginya, antusiasme yang salah kaprah tidak seharusnya terjadi
dimasyarakat.
Mengabil pelajaran bahwa fenomena
alam seperti ini adalah sebuah musibah atau ujian yang diberikan Allah kepada
hambanya jauh lebih penting, dengan demikian apapun fenomena alam akan
mengantarkan kita selangkah lebih maju dalam mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta.
Peran pemerintah sangat besar
dalam hal menerangkan makna fenomemena alam ini, suara yang dimiliki oleh para
penguasa sangatlah besar dalam menentukan arah pemikirannya rakyatnya. Rakyat
jug harus memandang bahwa fenomena ini
juga sebagai musibah, sehingga jika benar-benar gerhana ini terjadi,
mesjid-mesjid, dan juga lapangan-lapangan akan terisi dengan orang-orang yang
melaksanakan shalat gerhana matahari.
Menyadarkan umat untuk shalat
gerhana memang terkesan tidak signifikan, namun hal ini akan mejadi malapetaka
yang besar dalam kehidupan umat, dimana tingkat kesadaran umat terhadap musibah
yang Allah berikan semakin berkurang yang pada akhirnya akan menimbulkan sikap
atau kepercayaan kurangnya intervensi Tuhan dalam kehidupan. seandainya ada
sesuatu yang bisa mengakibatkan kefatalan masyarakat dalam proses
menyaksikanfenomena alam juga akan menjadi beba bagi pemerintah sendiri.
Harapan yang sangat besar dari
lubuk hati yang paling dalam agar masyarakat melaksanakan shalat dua rakaat
tersebut meski statusnya adalah sunat, namun hal tersebut akan mampu menjauhkan
kita dari musibah yang diberikan Allah sebagai Pengatur Alam semesta.
Irvan
Mahasiswa program pasca sarjana
UIN ar-raniry
Warga tuwi kareung, Pasie Raya
Kabupaten Aceh Jaya
0 komentar:
Posting Komentar