BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Secara umum
filsafat merupakan ilmu yang mempelajari tentang hakikat segala sesuatu yang
ada dalam dunia ini, salah satunya adalah manusia. Menurut filsafat manusia
memiliki posisi yang sangat urgen karena hanya manusia yang mampu berpikir
dengan akalnya tentang kebaikan dan juga keburukan. Selain itu dengan akal
pula, manusia mampu mengatur segala Sesuatu yang ada di alam dan mengelolanya
dengan tujuan kepentingan dirinya sendiri. Dengan alasan ini manusia termasuk
ke dalam salah satu kajian paling penting dalam ilmu filsafat.
Manusia
merupakan makhluk ciptaan Allah yang sangat sempurna jika dibandingkan dengan
makhluk lainnya, baik dari jasmani maupun rohani, selain itu salah satu anugrah
Allah SWT. yang diberikan kepada manusia adalah akal, akal inilah yang membuat
manusia terlihat sangat lebih dan berbeda
dari makhluk lainnya. Dengan akal pula pula manusia mampu berpikir
tentang dirinya, Tuhan, alam dan sebagainya. Manusia
menyimpan berbagai potensi di dalam dirinya yang telah dianugerahkan oleh Allah
SWT.
Manusia
adalah makhluk yang sangat unik dan memiliki rasa ingin tahu yang sangat
tinggi, hal ini terlihat bagaimana manusia mampu untuk mempertanyakan diri,
keberadaan dan dunianya. Kendati masih bersifat sederhana, kegiatan ini sudah diperlihatkan
sejak dini. Contoh tersebut dapat dilihat pada anak kecil, di mana ketika seorang anak kecil melihat sesuatu yang baru,
secara spontan anak tersebut akan bertanya. Melalui pertanyaan yang diajukan membuktikan
bahwa anak tersebut ingin mengetahui sesuatu. Kegiatan seperti ini akan
berlangsung terus terhadap anak tersebut sampai akhir hayatnya.
Upaya manusia
untuk memahami dirinya telah dilakukan selama beribu-ribu tahun, akan tetapi gambaran
yang pasti dan dapat dipercaya tentang dirinya tak mampu diperoleh hanya dengan
mengandalkan daya nalarnya yang subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan dari pihak
lain sangat diperlukan
untuk dapat memandang dirinya secara lebih utuh. Dalam Islam, ayat-ayat dalam kitab suci al-Qur’an yang telah diturunkan
oleh Allah Swt. Sebagai Sang Maha Pencipta manusia melalui Nabi Muhammad Saw. telah memberikan gambaran yang jelas tentang
manusia dan merupakan sumber utama pengetahuan yang dapat dipercaya dan
diperoleh dalam memahami makna atau konsep dari manusia.
Pada
zaman modern perkembangan kehidupan semakin canggih dengan teknologi yang
sangat luar biasa. Tuntutan perkembangan itu telah menumbuhkan perubahan demi
perubahan tatanan dan penciptaan sarana-sarana penyelenggara cara-cara kehidupan, yang kian lama cendrung
menghilangkan arti kehadiran manusia. Manusia kehilangan arah, lupa akan asal
dan kemana tujuan arah keberadaannya pun semakin kabur dan hilang.
Pada abad ke-19,
dunia ilmu pengetahuan di Eropa, dikejutkan dengan adanya doktrin tentang teori
evolusi yang dicetus oleh Charles Robert Darwin yang mengatakan bahwa manusia
muncul dari proses kesempurnaan yang terus berkesinambungan pada hewan-hewan
yang lebih rendah darinya. Teori tersebut telah memunculkan perdebatan antara
pandangan agama dengan perspektif ilmu pengetahuan modern. Pada masa itu para
ilmuan menganggap bahwa pandangan agama tidak sesuai dengan teori ilmu
pengetahuan.
Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan pembuktian ilmiah, teori evolusi Darwin ini dapat dipatahkan. Harun
Yahya misalnya, ilmuan Mesir ini membongkar habis kebutaan yang dikembangkan
oleh Darwinisme
dengan pembuktian ilmiah dari berbagai aspek keilmuan tentang penciptaan. Dalam
bukunya yang berjudul Runtuhnya Teori
Evolusi mengatakan bahwa fakta ilmiah modern telah membuktikan kekeliruan
teori evolusi yang dianut filsafat materialisme. Dalam
filsafat Islam, manusia berasal dari tanah liat dan memiliki keunggulan yang sangat tinggi
dibandingkan dengan makhluk yang lain. Keunggulan tersebut dapat digunakan
sampai sekarang. Manusia mampu menundukkan alam ini dengan ilmu pengetahuan
yang dimilikinya.
Pemikiran untuk
mendeskripsikan makna dari manusia sebagai suatu kepribadian yang utuh dan
berlandaskan ilmu pengetahuan telah banyak menjadi pengamatan para filsuf Islam.
Di antaranya adalah Ali Syaria’ti, Syaria’ti
merupakan salah seorang pemikir Islam yang telah banyak memberikan
pandangan dalam memahami konsep-konsep manusia
semasa hidupnya. Pada dasarnya pemikiran konsep manusia secara khusus menurut Ali Syaria’ti hampir
tidak jauh berbeda dengan istilah-istilah di atas yang berlandaskan pada ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Ali Syaria’ti manusia
dibagi atas dua dimensi besar, yaitu dimensi
Ruhiyah dan Jasadiyah. Selain itu manusia menurut Syaria’ti memiliki karakter
dan dan subtansi tersendiri.
Penelitian
ini ingin mengkaji lebih jauh pandangan Ali Syaria’ti tentang manusia, khusus
dalam kaitannya dengan konsep dualitas manusia akan sangat menarik untuk
diteliti, mengingat manusia modern telah jauh dari eksistensinya sebagai
makhluk yang paling sempurna, sehingga kehilangan maknanya sebagai khalifah di
muka bumi yang diberi kekuasaan dan kemuliaan sebagai nilai dari martabatnya
yang tinggi dihadapan Tuhan.
Manusia
adalah makhluk yang sangat misterius, meskipun begitu pengenalan terhadap
manusia haruslah dilakukan sebelum mengenal makhluk lain, karena pengenalan
pada manusia pada dasarnya adalah pengenalan terhadap kehidupan. Selama ini teori ilmiah, sosial dan ideologis
di zaman modern dikerahkan untuk memberikan kebahagiaan pada manusia, namun
manusia yang selalu dijadikan objek untuk ketahui tetap tidak diketahui atau
dengan kata lain dilupakan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini terfokus pada pemikiran
yang dikembangkan oleh Ali Syaria’ti yang menarik untuk dikaji yaitu:
1. Bagaimana
konsep manusia menurut Ali Syaria’ti?
2. Bagaimana
pandangan Ali Syaria’ti tentang humanitas dan masa depan kemanusiaan?
C.
Tujuan
Penelitian
Sesuai
rumusan masalah, penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mendeskripsikan pandangan Ali
Syaria’ti tentang manusia.
2. Memperoleh pengetahuan tentang Humanitas dan masa depan
kemanusiaan.
D.
Tinjauan
Pustaka
Mengenai
judul tulisan yang penulis bahas di sini, bersumber kepada pemikiran Ali Syaria’ti yang tertuang
langsung dalam bentuk artikel, tulisan,
seperti: Humanisme Antara Islam dan
Madzhab Barat, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, Peranan Cendikiawan Muslim dll.
yang dijadikan sebagai sumber Primer. Kemudian tulisan-tulisan orang lain
tentang pemikiran Ali Syaria’ti
atau berupa bahan pustaka yang memiliki kajian yang sama yang dihasilkan oleh
pemikir lain, baik yang berbicara tentang gagasan Ali Syaria’ti maupun gagasan
mereka sendiri yang membicarakan masalah yang terkait dalam penelitian ini.
Sehingga, dapat membantu memecahkan permasalahan yang menjadi fokus penelitian
skripsi ini.
Sepanjang
penulis ketahui, sampai sekarang belum ditemukan tulisan yang membahas tentang konsep manusia dalam perspektif Ali Syaria’ti, secara
khusus dan koherensif.
Namun, hal ini bukan berarti informasi umum tentang konsep manusia dan yang
berkaitan dengannya belum pernah dibahas,
hanya saja pembahasan ini lebih dibatasi oleh pemikiran Ali Syaria’ti. Kemudian tentang tokoh ini juga sudah pernah
dibahas namun bukan tentang konsep manusia.
Menurut
Charles Kurzman, manusia juga memiliki tiga unsur
keistimewaan yang membuatnya unggul dari ciptaan Allah lainnya. Ketiga unsur
ini tidak dimiliki oleh makhluk yang lain. Manusia akan menjadi makhluk
tertinggi derajatnya apabila unsur-unsur ini digunakan sesuai dengan hukum dan
perintah Allah. Namun sebaliknya, manusia akan menjadi sangat rendah dari
makhluk yang lain apabila unsur-unsur ini salah digunakan dari ketentuan
penciptanya. Unsur-unsur tersebut adalah akal,
hati dan nafsu.
Menurut
Eko Sapriadi dalam bukunya Sosiolisme Islam Pemikiran Ali Syaria’ti, menjelaskan tentang keharusan
manusia dalam berusaha untuk memperkenalkan kembali al-Qur‘an kepada generasi
muda. Sehingga, mereka dapat menemukan jati diri mereka yang sejati dalam semua
dimensi kemanusiaanya dan dapat berjuang melawan semua kekuatan masyarakat.
Kemudian
Machnum Husein
dalam bukunya yang berjudul Islam Dan Pembaharuan menjelaskan tentang keyakinan Ali Syariati
bahwa ideologi Islam akan menyebarkan suatu kesadaran sosial dan suatu
keyakinan yang pada akhirnya akan membangkitkan dorongan energi yang ajaib yang
mengarah kepada sosial.
Amin Ahmad juga menulis tentang hakikat
manusia melalui gambaran dua figur
manusia yaitu Habil dan Qabil yang bertolak belakang dicetuskan oleh Ali Syaria’ti.
Mahmud Rajabi dalam bukunya Horison
Manusiajuga menulis tentangmanusia mempunyai
pengaruh penting dalam kelangsungan ekosistem serta habitat manusia itu
sendiri.
Berdasarkan
pengamatan penulis dalam penelitian tentang pemikiran Ali Syaria’ti, belum ada
tulisan atau kajian yang membahas tentang Konsep Manusia Menurut Ali Syaria’ti.
Penulis menilai bahwa judul tersebut patut dan pantas untuk dikaji serta dibahas dalam penelitian sebagai
sebuah karya ilmiah.
E.
Manfaat Penulisan
Penulisan
ini diharapkan dapat memberikan suatu
pengetahuan yang mendalam bagi penulis tentang filsafat manusia, karena studi
yang sedang penulis jalani adalah bidang filsafat. Penulisan ini juga diharapkan
mampu
menjadi sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya disiplin ilmu yang terkait,
yaitu ilmu filsafat manusia, semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca, tidak terkecuali penulis sendiri agar dapat mengetahui
bagaimana cara menilai dan memahami
manusia sebagai bentuk pembelajaran terhadap kehidupan.
penulisan ini juga diharapkan mampu membawa pembaca agar senantiasa selalu berupaya memahami tentang manusia yang sesuai
dengan ajaran Islam.
F.
Metode
Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian Kualitatif, dengan menggunakan metode deskriptif
analitis. Analisis penelitian kualitatif dalam konsep manusia bertujuan untuk memahami pemikiran Ali Syaria’ti terkait penjelasannya terhadap manusia.
Penelitian ini juga untuk menganalisa suatu fakta tentang manusia.
1.
Sumber
Data
Penelitian
ini merupakan penelitian literatur (library
research), Untuk mendapatkan data digunakan dua sumber yaitu sumber primer dan
sekunder. Sumber primer yaitu sumber data yang memberikan data langsung tanpa
perantara, Sedangkan
sumber kedua (sekunder) yaitu sumber data yang diperoleh dari orang lain baik
dalam bentuk tulisan, bulletin,
maupun artikel yang membahas tentang pemikiran Ali Syaria’ti, tentunya yang
berhubungan dengan penelitian yang sedang penulis teliti.
2.
Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan
data yang dilakukan dalam kajian ini adalah melalui beberapa cara yaitu, Pertama, kajian kepustakaan, yaitu
pelacakan referensi dengan cara membaca, menelaah serta mencatat semua data
yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang diteliti baik berupa buku,
jurnal, bulletin, maupun berbagai terbitan media lainnya. Kedua, kajian data internet, yaitu pelacakan atau pengumpulan data
dilakukan melalui jaringan internet. Hal ini dilakukan dengan tujuan penguatan
referensi melalui penelusuran data yang mungkin di dapat melalui berbagai situs
yang ada. Situs-situs yang dimaksud adalah semua data yang diperoleh melalui
internet tentang pembahasan pemikiran Ali
Syaria’ti, khususnya tentang konsep manusia.
3.
Analisis
Data
Analisis data
adalah data yang diperoleh melalui pengumpulan data, maka dalam
penganalisaannya penulis menggunakan kajian pustaka, yaitu kajian yang dimulai
dengan pelaksanaan kepustakaan.
Mengenal
pustaka dan pengalaman orang lain berarti mencari teori-teori, konsep-konsep
yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi penelitian yang dilakukan, agar
penelitian mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial
and error).
Analisis
data merupakan proses penyusunan data agar dapat ditafsirkan dengan
menggolongkan dalam satu pola tertentu. Penganalisisan data akan dilakukan
melalui beberapa langkah. Pertama, data
yang sudah dikumpulkan perlu dianalisis, yaitu dibaca dan diteliti satu
persatu. Kedua, penyaringan data,
proses ini dilakukan untuk memilih yang bersesuaian dengan dengan kajian. Ketiga, semua data yang telah disaring
tersebut diklasifikasikan ke dalam kategori atau tema tertentu berdasarkan
keberadaan data yang terkumpul. Dengan membagi data kepada beberapa kategori,
maka data yang beragam akan disistematiskan dan dianalisis. Keempat, menjelaskan dan
mengambarkan data untuk membuat kesimpulan. Melalui
proses ini, hubungan data akan muncul, kemudian semua hasil yang digambarkan ini akan
melahirkan sebuah kesimpulan utuh untuk menjawab permasalahan utama kajian.
G.
Sistematika Pembahasan
Untuk
memudahkan penyusunan skripsi ini, maka penulisannya dibagi ke dalam empat bab,
yaitu bab pendahuluan meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Dalam
bab dua yaitu bab yang membicarakan tentang riwayat hidup yang meliputi
pendidikan, latar belakang dan perkembangan pemikiran serta karya-karyanya.
Pada
bab tiga membahas pemikiran Ali Syaria’ti
tentang konsep
manusia
yang meliputi: pengertian manusia, dualitas manusia, konsep kebaikan dan kejahatan dalam
diri manusia, humanitas, masa depan manusia
dan analisis penulis terhadap konsep manusia
dalam perspektif Ali Syaria’ti.
Selanjutnya pada bab empat yang
merupakan bab yang terakhir, di mana dalam bab ini berisikan kesimpulan dan
saran-saran yang dianggap perlu berdasarkan hasil penelitian di atas.
BAB
II
BIOGRAFI
ALI SYARIA’TI
A.
Riwayat
Hidup Ali Syaria’ti
Ali
Syaria’ti adalah seorang tokoh perjuangan, masa hidupnya dihabiskan untuk
mengabdikan diri dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, berdasarkan ajaran
Islam, untuk menentang pemerintahan Syah Reza Fahlevi Iran. Ali Syaria’ti
Mazinani adalah nama lengkap Ali Syaria’ti yang dilahirkan di Mazinan, dekat
kota Sabzivar dan Marsyhad,
tepi gurun pasir Dast-I Kavir, provinsi Khurasan. Namanya pernah digantikan
dalam identitas yang lain untuk menghindari pencarian dari pihak intelijen masa pemerintahan Syah. Syaria’ti
dilahirkan dikalangan keluarga ulama
Ali
Syaria’ti adalah anak pertama pasangan Muhammad Taqi dan Zahra lahir pada
tanggal 24 November 1933, bertepatan ketika periode ayahnya baru menyelesaikan
studi keagamaan (teologi) dasar yang bernama Syerafat, dan mulai mengajar pada sekolah dasar tersebut. Syaria’ti anak pertama sekaligus
anak laki-laki satu-satunya di dalam keluarga, dengan tiga orang saudaranya,
Tehereh, Tayebeh, dan Batul (Afsanah).
Syaria’ti hidup dalam masyarakat urban kelas menengah ke bawah.
Dari
segi keagamaan,
keluarga Syaria’ti adalah keluarga yang taat beragama dan terhormat. Dalam
keluarganya ritual keagamaan ditunaikan dengan baik. Islam
oleh ayah dan keluarga Syaria’ti dipandang sebagai doktrin sosial dan filsafat
yang relevan dengan zaman modern, bukan sebagai keyakinan masa lalu yang
bersifat personal dan hanya memikirkan diri sendiri (individual).
Sayyid
Muhammad Taqi Syaria’ti, ayah Ali Syaria’ti, merupakan salah seorang dari
putra-putra gerakan pemikir Islam di Iran. Puluhan tahun pengabdiannya terhadap
Islam rasanya sungguh sangat berharga, Muhammad
Taqi adalah orang yang selalu berada di
barisan paling depan dari kalangan orang-orang yang ingin mencerdaskan para
pemuda untuk mengoreksi konsep-konsep humanisme Barat, kemudian berpegang pada
Islam yang menerangi kehidupan Ayahnya
adalah seorang aktivis politik sekaligus tokoh penyebar agama yang mendirikan dan
mengelola lembaga pusat pendidikan agama Markaz Nasyr ar-Haqa’iq al
Islamiyah (Pusat Penyebaran Kebenaran-kebenaran Islam) di Masyhad. Untuk
menghidupi keluarganya, Muhammad Taqi mengajar diberbagai lembaga pendidikan
dan harus bekerja hingga larut karena
memang keluarga ini adalah keluarga
yang tidak begitu mampu
dalam bidang ekonomi.
Keturunan
Akhund Mulla Qurban
dikenal sebagai keluarga yang saleh dan rajin bersosialisasi serta membantu
masyarakat sekitarnya. Ayah Syaria’ti balajar agama di Hawzah ‘Ilmiyah Masyhad
dan menjadi guru setelah tamat muqodamat (teologi dasar) dan memulai sath
(studi menengah). Meskipun Muhammad Taqi memiliki kemampuan untuk menjadi ulama
namun, Muhammad Taqi lebih memilih ‘berpakaian’ Barat dalam mendidik
keluarganya, yang diyakininya kelak menjadi virus pembaharu bagi negaranya.
Sehingga, mempelajari, memahami bahasa, adat istiadat, karya pengetahuan dan style
Barat begitu penting baginya. Muhammad Taqi Syaria’ti memulai dakwahnya
mengenai wajah Islam yang progresif dan revolusioner pasca turunnya Reza Syah
di tahun 1941 dan Partai Tudeh begitu
menggejala di kalangan intelektual Iran. Perjuangannya membuka jalan ketiga
bagi dua golongan yang sedang bertikai dengan
bergabung dalam Kanoun-e Nashr-e Haqayeq-e Eslami (Pusat Dakwah
Kebenaran Islam). Para anggota Kanoun ini banyak yang bergabung ke
dalam Gerakan Perlawanan Nasional (NRM) yang pro-Mosaddeq. Begitu pula dengan
organisasi kelompok Muslim-Sosialis bernama Nehzat-e Khoda Parastan-e
Sosialis (gerakan sosialis penyembah Tuhan), dikemudian hari Ali Syaria’ti
masuk menjadi anggotanya
Selain
ayahnya, pemikiran Ali Syari’ati mudah juga sangat terobsesi oleh kehidupan
kakek-kakeknya yang suci, terutama tentang filsafat yang mempertahankan jati
diri manusia pada masa ketika segala macam kefasikan dan dekadensi telah
merajalela. Adalah Akhund Hakim, kakek dari ayah Ali Syari’ati yang sering
diceritakan kepadanya, telah banyak memberi inspirasi bagi benih-benih
kesadaran yang tumbuh dalam jiwa Ali Syari’ati, demikian juga paman ayahnya,
seorang murid pemikir terkemuka dan sastrawan Adib Nisyapuri yang sangat
menonjol. Demi mengikuti jejak kakek-kakek leluhurnya, sesudah mempelajari
fiqih, filsafat dan sastra, mereka kembali ke kampung halamannya Mazinan.
Ali
Syari’ati mewarisi peninggalan tradisi keilmuan dan kemanusiaan kakek-kakeknya,
serta dari paman ayahnya tersebut. Ali Syaria’ti melihat ruhnya yang abadi itu
berada dalam dirinya, dan melihat ruh yang bersinar cemerlang itu menerangi
jalan yang ditempuh dalam kehidupannya.
Pada
awal tahun 1940, ayahnya mendirikan usaha penerbitan yang bernama “Pusat Penyebaran
Kebenaran Islam”, yang bertujuan
untuk kemajuan Islam sebagai agama yang kaya akan kewajiban dan komitmen
sosial. Ali
Syaria’ti lahir dan tumbuh di tengah masa perang dunia, di mana keadaan dunia
kacau dan hampir tidak ada stabilitas sistem pemerintahan. Perang dunia lantas
melibatkan negara-negara seperti Iran dalam kancah perpolitikan global yang
panas. Situasi semakin tidak stabil dengan kebijakan industrialisasi pemerintah
yang dijalankan dengan tindakan represif.
Ali
Syaria’ti rajin membaca buku-buku pustaka koleksi ayahnya hingga larut malam dan
tidak jarang sampai pagi hari, sehingga
kadang-kadang jarang membaca bacaan wajib sekolahnya. Pada usianya yang masih tingkat kanak-kanak, Syaria’ti telah membaca
karya-karya penulis besar yang telah diterjemahkan dalam bahasa Persia.
Di
kota Paris inilah Syaria’ti berkenalan
dengan banyak tokoh intelektual dari
Barat, antara lain Louis Massignon, Frantz Fanon, Jacques Berque dan lain-lain.
Perkenalannya ini membawa dampak terhadap pemikiran Ali Syaria’ti dalam
memperjuangkan apa yang diyakini benar olehnya, dan menjadi pengkritik aktif
terhadap Dinasti Syah Fahlevi. Konstrusksi sosiologis marx, didapatkan
Syaria’ti ketika kuliah dengan guru besar universitas Sorbone yaitu George
Gurvitch, khususnya analisa tentang kelas sosial dan truism(itsar).
Pada
tahun-tahun berikutnya, berbagai peristiwa politik yang terjadi di Iran
memberikan sinyal reaksi kaum muda yang menggeliat. Pada masa itu Ali Syaria’ti
berusaha keras menjadikan Husainiyah
Irsyad sebagai Universitas Islam yang modern. Husainiyah Irsyad didirikan
pada tahun 1967,namun pada tanggal 19 November 1972 Husainiyah
Irsyad ditutup oleh pemerintah dan Ali Syaria’ti dipenjara karena aktivitas
politiknya yang membahayakan dan mengancam kedudukan pemerintah.
Karena
kondisi politik yang menyudutkannya membuat Syaria’ti harus berangkat keluar
negeri. Kepergian Ali Syaria’ti menuju London pada tanggal 16 Mei 1977
diketahui oleh tentara Syah, yang bernama Savak.Mereka mengontak agen mereka diluar
negeri. tepatnya pada tanggal 19
Juni 1977 agen-agen tentara tersebut secara misterius melakukan pembunuhan
terhadap Ali Syaria’ti, jenazahnya terbujur kaku di lantai tempat Syaria’ti menginap di
Southampton, Inggris.
B.
Pendidikan
dan Karya
1.
Pendidikan
Ilmu merupakan
sumber daya penting bagi manusia, dengan ilmu hidup jadi lebih mudah. Melalui
ilmu manusia dapat mengetahui rahasia alamdan menguasai angkasa luar. Dengan
menggunakan akal pikirannya, manusia dapat memanfaatkan ilmu untuk menghasilkan
sesuatu yang berarti, misalnya di bidang teknologi.
Oleh karenanya, setiap orang berhak mendapatkan pendidikan sebagai penunjang
kehidupannya.
Selain ilmu
pengetahuan yang dipelajari, ada juga namanya intuisi (masyar) yaitu cahaya yang hanya dinyalakan oleh Allah di hati orang-orang
yang Dia kehendaki, orang
yang dikehendaki Allah dalam konteks ini bukanlah orang-orang yang berjuang
demi dirinya sendiri, tetapi demi orang lain dan masyarakatnya. Ajaran
Islam bersifat Universal, mengatur tentang segalanya di muka bumi ini. Dari
konteks ini Syaria’ti mencoba mengimplementasikan ilmunya dalam bentuk
restorasi (perbaikan) masyarakat Islam Iran ke arah yang lebih baik.
Ali
Syaria’ti sebagai anak yang lahir dari keluarga yang sangat religius, baginya guru pertama adalah
orang tuanya sendiri yaitu ayahnya, ayahnya
yang pertama kali membimbing Ali Syari’ti dalam dunia pendidikan sebelum masuk
pendidikan formalnya sekolah swasta Ibn Yamin di Marsyad, pada tahun 1944. Banyak pencerahan yang didapatkannya
dari ayah, ayahnya seorang berbicara nasionalis progresif. Sang ayah telah
membentuk jiwa dan semangatnya, serta telah mengajarkan “seni” berpikir dan teknik untuk
menjadi manusia yang berarti dan bermanfaat bagi manusia lain. Ayahnya juga
menanamkan dalam diri Ali Syaria’ti rasa kebebasan, kemerdekaan, harga diri,
keluhuran, budi dan iman.
Ali
Syaria’ti masuk Sekolah
Dasar (SD) pada tahun
1944, tepat ketika memasuki umur delapan tahun dan sekolah yang dipilih ayahnya
adalah suatu lembaga pengajaran milik swasta, Ibn-e Yasin Primary School, sekolah tempat ayahnya bekerja. Selain
bekerja ayahnya juga dapat mengontrol kelakuan anaknya. Di sekolah tingkat
dasar ini, Ali Syaria’ti mempunyai dua perilaku
yang berbeda,
yakni Syaria’ti tidak mau diatur dan
rajin. Syaria’ti tidak banyak bergaul
dan bermain bola. Demikian juga,
Syaria’ti selalu memandang ke arah jendela ketika sedang berada di ruangan
kelas.
Berbeda
dengan anak-anak lain seperti lazimnya, ketika masih kanak-kanak Syaria’ti
asyik membaca buku-buku sastra seperti Les
Miserables karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa
remajanya. Pada tahun pertama Syaria’ti
masuk Sekolah
Menengah Atas, Syaria’ti sudah sangat
asyik membaca buku-buku filsafat, sastra, syair, ilmu sosial dan studi
keagamaan, hal inilah yang tidak menyempatkan dirinya untuk bergabung bersama
teman-temannya yang lain. Syaria’ti
menghabiskan waktunya lebih banyak di rumah dengan membaca
buku-buku yang ada di perpustakaan ayahnya yang memiliki koleksi lebih kurang 2.000 buku
Ali Syaria’ti
masuk sekolah lanjutan pertama di Ferdowsi
Secondary School yang lulus pada tahun 1950. Sejak tahun pertama Syaria’ti masuk di sekolah ini,
Ali Syaria’ti mulai menyukai filsafat dan mistisme. Di samping itu, minatnya
juga mengarah pada kesastraan, syair, dan tema-tema kemanusiaan. Di rumah, Syari’ati tetap belajar
bahasa Arab dengan ayahnya, fokus studinya adalah filsafat, karya penyair, dan
karya penulis modern Iran maupun asing, hasil dari proses belajarnya yang kuat
melahirkan karya-karya yang sangat
luar biasa.
Pada
saat masuk sekolah Ferdowsi Secondary
School Syaria’ti
juga mempelajari karya-karya Saddeq-e Hedayat (novelis ternama Iran yang
beraliran nihilisme), Nima Yousheej (bapak penyair modern Iran), Akhavan-e
Saless (penyair kontemporer Iran terkenal), dan Maurice Maeterlinck (penulis
Belgia yang karya-karyanya memadukan mistisme dan nihilisme). Tidak
mengherankan anak-anak seumur Syaria’ti
telah memembaca berbagai literatur besar, kemudian Syaria’ti mendapatkan
inspirasi-inspirasi baru dari bacaannya dan berpengaruh terhadap pemikirannya.
Pada tahun 1950 Syaria’ti masuk kolese pendidikan Guru (Teacher’s Training College) Masyhad dan
lulus pada tahun 1952. Pada masa ini pula Ali Syaria’ti melakukan perlawanan
terhadap rezim Syah, meskipun sangat disibuk
dengan jadwal mengajarnya di desa Ahmad Abad. Hal ini dibuktikan dengan bergabung dalam “Gerakan Nasional
Nasional” pada tahun 1953.
Pada tahun 1958 setelah lima bulan menikahi seorang gadis bernama Pauran Syaria’ti masuk Fakultas Sastra Persia Masyhad,
setelah tiga tahun belajar Syaria’ti
memperoleh gelar BA, berkat kecerdasan, wawasan dan keinteletualitasnya kemudian mendapat
kesempatan beasiswa untuk melanjutkan studinya ke Eropa, yaitu Sorbone
University, Paris, Perancis. Di kota inilah Ali Syaria’ti mengembangkan
pemikirannya yang kemudian terkenal demokratis, liberal, dan sosialis bertuhan.
Setelah
kepergiannya ke luar negeri tahun 1959. Paris menjadi tempat melanjutkan studi
baginya setelah menerima beasiswa yang peroleh dari hasil prestasi akademiknya.
Setahun setelah Syaria’ti
tiba di Paris, disusul oleh istrinya Puran Syariat Razavi, yaitu kenalannya
sewaktu masih kuliah di Universitas Masyhad. Istrinya datang bersama putra
pertamanya yang baru lahir, bernama Ehsan. Selama di Paris, Syaria’ti bersentuhan
dengan gagasan dan karya-karya besar yang mempengaruhi pandangannya dan
menambah wawasan mengenai hidup. Syaria’ti
mengikuti kuliah para akademisi, filsuf, penyair, militan, dan membaca
karya-karya mereka, kadang-kadang bertukar pikiran dan berdiskusi dengan
mereka. Kemudian Ali Syaria’ti mengaku mendapatkan sesuatu yang baru dan
berharga dalam segi keilmuan dari mereka, Syaria’ti
merasa berhutang budi kepada mereka
Menjajaki kota
Paris merupakan perjalanan Ali Syaria’ti yang baru menempuh pendidikan,
kesempatan yang besar didapatkan oleh Ali Syaria’ti di universitas ini, di
sinilah Syaria’ti membebaskan diri dari penguasa Iran. Di tempat ini pula
menambah ilmu pengetahuan selama lima tahun dan terlibat dalam berbagai gerakan.
Ali Syaria’ti banyak menelaah buku-buku dan karya yang sebelumnya belum didapatkan di Iran.
Syaria’ti mulai berkenalan dengan berbagai pemikiran baik di bidang sosial
mapun filsafat. Sekaligus mendapat kesempatan untuk bertemu dengan tokoh-tokoh dunia,
para filsuf,
Sosiolog, Islamolog, cendekiawan serta penulis-penulis hebat dan terkemuka,
seperti Hendry Bergson, Albert Camus, Paul Satre, Fantz Fenon dan Luis
Massigno.
Selain mempelajari
karya-karya ilmuan Barat, Syaria’ti
juga aktif menerjemahkan berbagai macam buku, diantara buku-buku yang berhasil diterjemahkan adalah Be Koja Tkiye Kunim? (1961) Guerilla
Warfare karya Guevara, What is Poetry karya Satre dan The Wretched of The Earthkarya Fantz
Fanon.
Karya Fenon
tentang revolusi Aljazair sangat menginspirasinya untuk menerapkan apa yang
dikatakan Fenon dalam karyanya, buku Fenon yang berjudul “Yang Terkutuk di
Bumi” mengandung analisa sosiologi dan psikologi mendalam tentang revolusi
Aljazair, ini merupakan bingkisan intelektual yang luar biasa bagi masyarakat
Iran untuk melakukan revolusi. Dengan menjelaskan teori-teori Fanon, menterjemah dan
menerbitkan beberapa pokok pemikirannya, Syaria’ti telah mengumandangkan
ide-ide dikalangan rakyat Iran. Syaria’ti mulai bersyi’ar terhadap revolusi
bagi Iran. Ide-ide Fanon benar-benar telah mempengaruhinya dan Syaria’ti bersimpati penuh
kepadanya dan benar-benar menjiwai kebenaran pendapatnya. Selain itu juga
memperkenalkan karya penulis revolusioner Afrika, seperti Umar Uzkan. Ali Syaria’ti yakin
bahwa ide-ide mereka akan sangat berdampak baik bagi perjuangan dan politik
Iran.
Ketika Ali Syaria’ti
sedang menempuh pendidikannya, bersamaan dengan itu suatu tahap baru dan vital,
yakni tumbuhnya kelompok gerakan progresif dalam gerakan keagamaan di Iran. Setelah
beberapa saat kebebasan mulai sedikit terasa di Iranmaka, tirani dan penindasan pun kembali merajalela. Penahanan,
pemeriksaan, hukuman penjara dengan durasi waktuyang panjang kembali terjadi,
sasarannya adalah para nasionalis yang berorientasi agama, yang terlibat
pembebasan Iran.
Dalam gerakan
inilah Ali syariati melibatkan diri secara penuh. Sebagai upaya untuk melakukan
pencegahan terhadap penerbitan berbahasa Persia di luar negeri yang selalu
memberikan dinamika Iran sebagai non agama bahkan anti agama, Ali Syaria’ti
bersama beberapa kawan yang sependapat dengannya menerbitkan sebuah jurnal
berbahasa Persia yang beredar luas di Eropa. Dengan wibawa pemikiran dan
tulisannya, Syaria’ti
menjadi orang yang paling serius dan realistis mendukung gerakan rakyat Iran. Dengan
jurnal ini, terciptalah keselarasan antara ide-ide kelompok intelektual Iran di
luar negeri dan perjuangan rakyat dalam negeri
Pada saat berada
di Perancis Ali Syaria’ti juga menjadi seorang pemikir yang agak radikal dalam
isu-isu tentang dunia ketiga. Bersama kaum cendekiawan dari Afrika, Asia dan
Amerika Latin, Ali Syaria’ti terlibat dalam pencarian dasar-dasar pemikiran
dunia ketiga. Berbagai tulisanpun kerab lahir yang menjelaskan kenestapaan
dunia ketiga pada saat itu, bersamaan dengan itu juga Ali Syaria’ti juga
terlibat dalam penulisan artikel pada surat kabar kaum nasionalis di Aljazair, al-Mujahid. Secara umum tulisan-tulisan
itu secara umum berisikan tentang revolusioner melawan kolonialisme dan
imperialisme.
Setelah meraih gelar doktornya pada
tahun 1963 dengan disertasi yang berjudul
Les Meritesde Balkh (segi positif balkh). Setahun kemudian Syaria’ti bersama
keluarganya kembali ke negara tempat Syaria’ti
dilahirkan yaitu Masyhad Iran. Dalam perjalanan pulang ke Iran, Syaria’ti ditangkap diperbatasan,
di depan anak dan istrinya, kemudian dijebloskan ke dalam penjara dengan
tuduhan bahwa ketika sedang kuliah di Prancis Syaria’ti telah terlibat dalam berbagai aktivitas
politik. Setelah dibebaskan pada tahun 1965 Syaria’ti
mendapat kesempatan mengajar di Universitas Masyhad. Sebagai
seorang pakar sosiologi muslim, menurut prinsip-prinsip Islam, menjelaskan dan
mendiskusikan prinsip-prinsip itu bersama para mahasiswanya. Dalam waktu
singkat Syaria’ti
meraih popularitas di kalangan mahasiswa dan berbagai golongan
sosial yang berbeda di Iran. Inilah yang dijadikan alasan oleh rezim penguasa
untuk menghentikan kuliah-kuliahnya di Universitas.
Sosiologi Islam
merupakan mata kuliah baru yang diperkenalkannya pada saat itu, metode yang
digunakan Ali Syaria’ti sangat mampu menarik perhatian mahasiswa karena metode
pendekatan dilakukan dari berbagai sudut, tidak hanya pendekatan dogmatis dan
teologis tapi juga lebih sosiologis, filosofis dan rasional. Oleh karena itu
Islam seakan menjadi baru dan sesuai dengan realitas yang ada di masyarakat,
bukan sekedar konsep yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian
penafsiran-penafsiran yang dilakukan Ali Syaria’ti sangat termotivasi untuk
segera beraksi.
Pernah ketika
Ali Syaria’ti terlambat datang untuk memberikan kuliah pada mahasiswanya,
kemudian Ali Syaria’ti berkata:
“saya
terlambat lagi dan saya mohon maaf, karena terlalu lelah dan penat. Sebetulnya
saya tidak ingin datang ke sini, tapi gairah saya untuk melihat anda dan
“keresahan” dalam diri saya mendorong saya… seperti yang saya katakana pada
mahasiswa sastra kemarin malam. Firasat saya tentang “kesementaraan” dan
“ketidakpastian” masa depan saya tidak mengizinkan saya tinggal di rumah.
Firasat atau realitas, atau apapun yang saya simpulkan dari situasi sekarang
nyatakan nyatakan bahwa hidup saya tinggal beberapa hari lagi…saya tidak yakin
pada masa depan saya. Saya pun tidak yakindapat tinggal beserta anda dan bicara
lama… itulah sebabnya saya selalu berusaha untuk berbicara sebanyak
mungkin.Malam ini pembicaraan saya sangat kompleks. Karena tidak cukup waktu
membahas topik ini dengan baik, saya akan menyentuh hal-hal umum saja”
Kontaknya
dengan mahasiswa-mahasiswa Iran, menjadikannya tokoh populer, keadaan dan
suasana di Universitas Masyhad segera berubah menjadi lebih semarak
dibandingkan sebelumnya yang bersifat pasif dan stagnan. Kelas Ali Syaria’ti
mengajar segera menjadi kelas terfavorit dan luar biasa semangat. Gaya orator
Ali Syaria’ti yang memukau, berkesan, meyakinkan dan mengikat audien, memberikan
pencerahan baru serta memperkuat isi kuliahnya untuk membuat orang untuk berpikir lebih maju, dalam
sesaat mahasiswa tumbuh dengan gagasan kritisnya.
Jabatannya
sebagai pengajar dan guru besar di Universitas Masyhad, membuka peluang untuk
memasuki tahapan baru dalam aktivitas yang lebih meningkat. Karena, dengan itu Syaria’ti dapat menulis berbagai
analisis, menyampaikan kuliah dan ceramah seputar masalah-masalah sosial
keagamaan yang berguna bagi generasi muda dan seirama dengan arus pemikiran
baru dan interpretasi-interpretasi yang berkembang di dalam masyarakat. Akibatnya,
Syaria’ti kembali harus mendekam
dalam tahanan lima ratus hari tanpa proses pengadilan
Setelah berhenti
dari pekerjaannya di Universitas Masyhad, Ali Syaria’ti dikirim ke Teheran, di
sana Syaria’ti bekerja keras untuk
menjadikan Hossaniyah Ersyad menjadi sebuah Universitas Islam radikal yang
modernis. Namun karena usaha semakin maju membuat Hosseniyah Ersyad ditutup
oleh pemerintah pada tanggal 19 November 1972 dan Syaria’ti dipenjara karena
berbagai aktivitas politiknya yang mengecam rezim Syah. Kemudian setelah keluar
dari penjara Ali Syaria’ti meninggalkan Iran pada 16 Mei 1977. Tentara Syah
mengetahui kepergiannya, mereka mengutus agen untuk melacak keberadaan Ali Syaria’ti,
akhirnya Di London, Inggris pada 19 Juni 1977 jenazah Ali terbujur di tempat Syaria’ti menginap.
Syaria’ti lalu
dikuburkan di Damaskus, Suriah, bersebelahan dengan makam Zainab, cucu Nabi dan
saudara perempuan Imam ketiga, Husain bin Ali, pada 27 Juni 1977. Upacara
pemakamannya dipimpin oleh Musa al-Sadr pemimpin Syi’ah Lebanon. Kematiannya
menjadi mitos “Islam militan”, popularitasnya memuncak selama berlangsungnya
revolusi Iran, Februari 1979. Saat itu, fotonya mendominasi jalan-jalan di
Teheran, berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.
2. Karya Ali
Dalam melakukan
perjuangannya terhadap pemerintah, Ali Syaria’ti telah menghasilkan karya-karya
warisan intelektual yang dapat terus dibaca sampai sekarang. Banyak tulisannya
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Syaria’ti bukan hanya sebagai seorang orator atau
organisator pergerakan saja, melainkan juga sebagai penulis yang tajam, kritis
dan produktif. Separuh perjalanan kehidupannya, Syaria’ti telah menggunakan
penanya untuk menulis, mencurahkan ide-ide, pemikiran-pemikirannya dalam bentuk
tulisan. Jika tulisan-tulisan Ali Syaria’ti di klasifikasikan, terbagi atas
tiga katefori yaitu: naskah-naskah yang telah berbentuk buku (books), terjemahan karya orang lain (tranlation), dan naskah yang masih
berbentuk manuskrip (manuscript).
Adapun karya
yang telah penulis temukan adalah sebagai berikut.
a. An Approach to
Understanding of Islam, menjelaskan dan
mengajak para pembaca untuk memahami Islam secara keseluruhan (kaffah). Ali Syaria’ti mengatakan bahwa
pemahaman Islam yang tepat dan benar akan melahirkan aksi sosial dan tanggung
jawab manusia.
b. Kavir,
buku ini menyampaikan perjuangan Ali Syari’arti untuk menyelaraskan, seimbang (balance) dengan dirinya yang sejati dan
membina hubungan dengan Tuhan. Ali Syaria’ti menyebutkan hal
ilham dan pengalaman teosofisnya. Kavir adalah
sumber kekuatan mistik dan spiritual Ali Syaria’ti, juga sebagai medium untuk
mengabsahkan misi revolusioner.
c. Marxis and Other
Western Falsllacis an Islamic Critique, dalam
edisi Indonesia terjemahan kritik Islam
atas marxisme dan sesat pikir Barat lainnya. Penerjemah Anis al-Habsyi,
Bandung: Mizan, 1990. Karya ini berisi serangkaian kuliah yang diberikan secara
khusus. Naskahnya diterbitkan berturut-turut dalam situasi berlainan. Sub-bab
dari buku tersebut diterbitkan secara berkala oleh surat kabar Taheran, Kayhan, International sejak 15 Februari hingga 15 Maret 1997 dengan tajuk manusia, marxisme dan Islam.
Dalam
buku ini Ali Syaria’ti secara filosofis mengkritik ajaran Marx segenap dengan
dasar filosofis serta pemikiran barat lainnya: liberalisme, materialisme,
humanisme, eksistensialisme, nihilisme, bahkan spiritualisme yang jahat dalam
pertentangan yang logis dalam Islam. Namun dengan menolak Marxisme dan
pemikiran Barat,
Ali Syaria’ti terbantu oleh pengenalan yang mendalam dan mendasar dengan tokoh
Marxis.
d. Religion Versus
Religion, dalam edisi Indonesia Agama Versus
Agama, Penerjemah Afif Muhammad dan Abdul Syukur, Jakarta: Pustaka Hidayah,
1994. Buku ini berisi dua tulisan Ali Syaria’ti yang disampaikan di Hussainiyah Irsyad pada tahun 1970. Syaria’ti membuktikan tesisnya
pada kontradiktif agama dan agama melalui sejarah. Sesuatu yang diyakini
sebagai agama terkadang dicemari syirik.
Sesuatu yang diyakini sebagai agama tauhid dalam dua kelompok: pertama, agama
revolusi, dan kedua agama legitimasi. Yang pertama agama yang mempunyai misi
untuk mengatasi. Perbedaan (clansses),
ekonomi, dan status. Sedangkan kelompok yang kedua adalah Agama yang
mengesahkan atau bahkan mengabadikan perbedaan di atas atau status quo
e.
Red
Syi’ism and One followe by Eternity of Zeroes. Dalam
edisi Indonesia Islam mazhab pemikiran Aksi, penerjemah M.S Nasrulloh dan Afif
Muhammad, Bandung: Mizan,
1995. Dalam buku ini Ali Syaria’ti menjelaskan Islam sebagai mazhab teologi dan
gerakan aktivitastik.
f. Men and Islam,
dalam edisi Indonesia berjudul Tugas Cendekiawan
Muslim, penerjemah M. Amien Rais, Jakarta: Rajawali Press, 1998. Dalam karya
ini Ali menguraikan eksistensi manusia,
pandangan dunia idologi dan idolog, ilmu filasafat (ulama dan filosof) dan
piramida kebudayaan.
g. Eslamshenasi (Islamologi).
Secara esensial buku ini komplikasi kuliah sejarah Islamnya yang disampaikan di
Universitas Masyhad. Dari buku ini benih-benih idenya dalam sketsa, kemudian
hari menjadi fokus dan dibahas panjang lebar. Dalam islamologi, melingkupi tiga
maksud: Pertama,
menemukan Islam modem, egaliter, demokratis, sebagai bentuk asli Islam, dan Islam ideal. Kedua, Ali Syaria’ti menunjukkan
penyebab yang merintangi terbentuknya Islam ideal, dan ketiga, Ali Syaria’ti menunjukkan mengapa kaum muslimin sebagai
pihak yang benar-benar meyakini tauhid wajib menentang dan mengatasi berbagai
persoalan yang merintangi terwujudnya Islam ideal.
h. A Glance at Tomorro’s
History. Terj.
Laleh Bakhtiar dan Hussyn Salib. Isinya Ali Syaria’ti menguraikan hakikat hari
esok dalam pandangan Islam. Syaria’ti
juga menjelaskan tentang penciptaan khalifah di muka bumi ini yang bertanggung
jawab terhadap diri sendiri masyarakat dan masa depannya.
i.
On
the Sosiology of Islam, tema sosiologi dalam
buku ini di dasarkan atas keterangan sejarah yang termuat dalam al-Qur’an. Ali Syaria’ti
menganalisis misalnya tipologi Habil dan Qabil, melalui suatu pendekatan historis.
Riwayat ini menunjukkan bagaimana singularitas kemanusiaan yang berasal dari
orang tua yang sama, kemudian berubah menjadi konflik dan pertentangan. Dalam
analisisnya Ali Syaria’ti
mengontraskan pribadi dua anak Adam As.
mewakili kelas-kelas sosial dan stratifikasinya.
j.
Hajj,
edisi Indonesia berjudul Haji, penerjemah Anas Mahyuddin,
Bandung: Pustaka, 1983. Lewat buku ini penulis
menggali dasar dan tujuan hidup melalui ibadah haji. Demikian juga berbicara
tentang penderitaan, penindasan, dan kebebasan. Ali Syaria’ti membangun gagasan tentang
pembebasan, kemerdekaan dan perjuangan rakyat melawan penindasan. Tipe Ibrahim
As., Hajar, Ismail As. saat bayi dan remaja,
zam-zam dan sebagainya digambarkan oleh Ali Syaria’ti dengan simbol yang
sesuai. Pesan yang disampaikan terkait dengan ritual ibadah haji, miqat, ihram, tawaf, sa’i dan pengorbanan Islami.
k. A Waiting the Relegion
of Protest, dalam edisi Indonesia berjudul
Islam agama protes, penerjemah Satrio Panadito, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.
Karya ini memaparkan dan menganalisa konsep-massiah-penantian
datangnya sang Imam atau juru selamat. Sebagian orang masih banyak memahami massiah secara keliru. Kesalahpahaman
tersebut menjadi dalih terhadap kebenaran kezaliman, kerusakan, serta memandang
hal-hal yang zalim adalah suatu yang ilmiah. Sehingga yang menganut paham ini
kemudian melepaskan diri dari tanggung jawab sosial dan tidak mau
berpartisipasi dalam aktivitas.
l.
What
Is To e Be Done? The Enlightened Thinker
and Islamic Renaisance Dalam edisi Indonesia berjudul
“Membangun Masa depan Islam: Pesan Untuk para Intelektual Muslim“, Penerjemah Zanmahan
Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1993. Inti buku ini adalah Ali Syaria’ti
mengupas tentang sosok intelektual, paranan, dan tanggung jawabnya dalam
masyarakat, serta tipe intelektual dan pemikir-pemikir yang tercerahkan. Ali Syaria’ti
menganalisa sejarah dengan mangaitkan S. Al-Rus: 30 dalam wacara sosio-historis.
C.
Latar
Belakang Pemikiran Dan Perkembangannya
Sosok
Ali Syaria’ti dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, Ali Syaria’ti dapat
dikatakan sebagai seorang teolog, filosof dan revolusioner. Dirinya tidak
pernah mengklaim dengan semua sebutan tersebut. Ali Syaria’ti hanyalah sebagian
orang yang ingin merubah suatu keadaan menjadi lebih baik dengan ide-ide yang
ada dalam pikirannya.
Pemikiran,
ide, maupun gagasan cemerlang yang lahir dari seorang pemikir tak dapat
dilepaskan dari ruang sosio-politik dan kultural di mana ia hidup. Pemikiran
adalah buah interaksi individu dengan realitas. Suatu pemikiran akan kehilangan
baju historis dan ruh inspirasinya bila diisolasikan dari ruang dan waktu di mana
ia lahir. Filsafat sosial Ali Syaria’ti pun demikian. Syaria’ti tidakdapat dilepaskan dari konteks Iran.
Pergolakan dan krisis di Iran merupakan latar belakang pemikiran Ali Syaria’ti.
Sejak muda, AliSyaria’ti
telah menunjukkan ketertarikannya pada kajian-kajian mendalam, itu terlihat dari
minatnya membaca buku dalam berbagai bidang keilmuan. Paling tidak ada empat kategori
bidang keilmuan yang banyak dipelajari dari buku, yaitu filsafat, sufisme,
politik, dan sastra.
Mazhab merupakan
sesuatu yang sangat berpengaruh dalam pemikiran yang dianutnya. Mazhab punya
kiprah yang besar mengatur pola pikir seseorang, Jika seseorang percaya pada mazhab
pemikiran tertentu, maka kepercayaan, emosi, jalan hidup, aliran politik,
pandangan-pandangan sosial, konsep-konsep intelektual, keagamaan dan etikanya
tidaklah terpisah dengan pandangan dunianya, dan karenanya pula maka mazhab pemikiran
pada akhirnya dapat menciptakan gerakan, membangun dan melahirkan kekuatan
sosial. Semua
gerakan intelektual yang dilakukan oleh Ali Syaria’ti mengacu pada landasan
dasarnya yaitu tauhid yang humanis
1.
Agama
Pemahaman
terhadap agama (Islam) pada saat itu hanyalah bermain diranah ritual dan fiqh
yang tidak menjangkau persoalan-persoalan lain seperti politik dan sosial
kemasyarakatan. Namun Ali Syaria’ti memahami agama tidak hanya sebatas itu,
agama tidak hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya hubungan
manusia dengan sang Khalik,
akan tetapi agama (Islam) adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan.
Menurut Ali Syaria’ti, agama bersifat
revolusioner, tidak hanya menjadi seperangkat doa-doa dan ritual dalam
kehidupan.Agama seharusnya berperan di tengah gelombang diskriminasi,
eksploitasi, dan aneka penindasan dari penguasa zalim. Jika agama hanya
dipandang sebagai dogma,
maka agama seperti inilah yang diinginkan penguasa untuk menjaga kekuasaanya
tetap aman. Gagasan tentang Islam revolusioner yang digagaskannya sejalan
dengan apa yang diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin
maupun Asia. Ide keduanya hampir sama yaitu mendobrak lembaga resmi agama yang
selalu berada pada pihak penguasa. Revolusi Islam sekaligus teologi pembebasan
berupaya untuk mendobrak dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan hak
menafsirkan agama kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah
ajaran agama sejati yang selalu menjadi kepentingan bersama.
Tauhid adalah
landasan utama berpikir Ali Syaria’ti, itu digunakan pada semua pemikirannya,
bagi Syaria’ti tauhid dapat
jadi prinsip keadilan yang menolak semua kontradiksi yang ada dalam sebuah
masyarakat.Tauhid bukan hanya sebagai sebuah filsafat moral, tapi juga
merupakan pondasi dari segala prinsip termasuk kegiatan manusia. Dengan kata
yang lebih ringkas Syaria’ti mengatakan tauhid merupakan pandangan hidup
tentang kesatuan universal antara Tuhan, alam, dan manusia.
Karakter
religius Syaria’ti bukan semata berhenti pada urusan spiritualitas atau
hubungan vertikal manusia dengan Tuhan. Islam baginya adalah filsafat pergerakan.
Muslim ideal adalah mereka yang menempatkan agama bukan semata-mata sebagai keyakinan
teologis, melainkan pegangan secara ideologis. Tokoh muslim yang dijadikan
teladan adalah Abu Dzar Al-Ghifari, seorang muslim saleh yang berasal dari
kalangan bawah. Kesederhanaan membawanya pada pemahaman Islam yang
berkepedulian sosial. Abu Dzar dalam pandangan Syaria’ti sebenarnya adalah
personifikasi dari Islam Syi’ah awal, yaitu Syi’ah revolusioner yang diwariskan
oleh Imam Husein.
2.
Filsafat
Kegemaran untuk mengetahui
hal-hal baru, juga didukung oleh sarana di sekitarnya membuat Ali Syaria’ti
sangat gemar membaca. Hal inilah yang membuatnya mengetahui banyak hal termasuk
filsafat. Banyak sekali bacaan yang Syaria’ti
lakukan sejak masih duduk dibangku Sekolah
Dasar.
Ali Syaria’ti
juga menitik fokuskan pemikirannya pada pembahasan kemanusiaan, Aspek
kemanusiaan dalam konteks perbincangan seputar individu manusia menjadi titik
tolak membangun peradaban yang maju. Aspek kemanusiaan menjadi bagian bahasan
penting dalam pemikiran Ali Syaria’ti. Nilai-nilai kemanusiaan ini dibahas
dalam teori humanitas. Ajaran humanitas
sendiri oleh Ali Syaria’ti diartikan sebagai “aliran filsafat yang menyatakan
bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan
manusia”.
Ali Syaria’ti juga membahas tentang
filsafat penciptaan Adam. Dalam pandangan Ali
Syaria’ti, Adamadalah simbol representatif dari
manusia secara keseluruhan. Dalam menafsirkan penciptaan Adam, Ali Syaria’ti membahas
kejadian Adam yang diciptakan dari Ruh Allah dan lumpur busuk. Kedua term
tersebut dimaknai secara simbolik, Lumpur busuk bermakna kerendahan, stagnasi,
dan pasivitas mutlak. Sedangkan Ruh Allah adalah simbol dari gerakan tanpa
henti menuju kesempurnaan dan kemuliaan yang tidak terbatas. Manusia adalah
sintesa dari kedua hal tersebut, dan kedua hal tersebut (lumpur busuk dan Ruh
Allah) senantiasa tarik menarik dan akhirnya akan memaksa manusia untuk memilih
salah satunya
Visinya adalah
membangun pemikiran filosofis yang hanya didedikasikan untuk kesejahteraan
masyarakat. Individu tidak hanya diposisikan sebagai individu yang otonom,
melainkan juga sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat yang
melingkupinya. Salah satu pernyataan Syaria’ti, “Manusia menjadi ideal dengan mencari
serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, manusia tersebut menemukan
Tuhan”. Sedangkan ciri pemikiran Syaria’ti menurut Shahrough Akhlavi sebagaimana
dikutip oleh Faqih al-Asy’ari
adalah ”Agama harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi keprogram
revolusioner untuk mengubah dunia.
Ali Syaria’ti
sempat goyah
dalam cara berpikir tentang filsafat, bahkan membuat ragu akan eksistensi
Tuhan, inilah yang terjadi ketika perasaan Ali Syaria’ti dipengaruhi oleh
argument-argumen Barat. Karya-karya Barat membuat Syaria’ti merasa sengsara. Akhirnya
Syaria’ti menemukan solusi yaitu
dengan menelaah buku-buku karya Timur dan mulai tersentuh dengan gudang spiritual
abadi filsafat timur. Pengaruh
mistisme
Maulawi (Jalaluddin Rumi) filsafat Timur sangat
berkesan yang membangkitkan semangatnya kembali sehingga, Syaria’ti menyebut mistisisme bersama egalitarianism dan freedom adalah tiga tamu historis utama.
Filsafat sejarah
juga sangat terpancar dari pemikiran Ali Syari’ti, hal ini diketahui dari berbagai risalahnya
yang selalu menyebutkan hal tersebut. Filsafat sejarah merupakan perpaduan dari
berbagai gagasan. Sejarah sebagai kontruksi pola dasar dari berbagai realitas
unik yang muncul dalam fakta-fakta sejarah diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan ideologis tertentu,
itulah pandangan Ali Syri’ati. Fakta sejarah tidak boleh dibiarkan membisu.
Dialektika sejarah Ali Syaria’ti
tampaknya meminjam konsep dialektika sejarah marxis, hanya saja Syaria’ti menggunakan secara
kolektif analisisnya mengenai Habil dan Qabil sebagai sebuah simbol
pertentangan yang terus-menerus adalah pemikiran orisinal dalam kontek
pemahaman Islam. Salah satu cara luar biasa untuk mencapai persamaan dan
ketercerahan manusia dan masyarakat adalah konsepnya tentang gerakan manusia
yang terus-menerus terhadap Tuhan
melalui jalan-jalan revolusi dan penyempurnaan.
3.
Politik
Dalam kontek
kehidupan politik ketika Ali Syariati hidup, Syaria’ti melawan arus politik dengan cara
menggagas
ide Islam pembebasan, ketika para penguasa menggunakan agama untuk berlindung
pada saat itu, agama dijadikan alat untuk menjaga kekuasaan mereka. Syaria’ti Aktif melakukan
perlawanan terhadap rezim yang berkuasa pada saat itu sejak umur masih muda.
Agar negara
tetap stabil maka Ali Syaria’ti memaparkan konsep
pemerintahan Islam yang dalam bukunya banyak membahas tentang persoalan
tersebut. Menurutnya,
tujuan pemerintahan ini ditentukan oleh konsep negara itu
sendiri. Ali Syaria’ti membedakan konsep siyasah
dalam istilah Islam dan konsep politik
dalam bahasa Yunani. Perbedaan
ini berimplikasi pula pada
berbedanya tujuan yang ingin dicapai oleh negara. Penekanan yang dilakukan
oleh Ali Syri’ati bahwa adanya perubahan dalam masyarakat yang berwujud kemajuan.
Perubahan inilah yang tonggak dari pemerintahan Islam. Ali Syaria’ti
menghendaki seluruh dari rakyat sebagai individu yang merupakan bagian dari
negara tidak sekedar eksis melainkan membetuk diri kepada keadaan yang lebih
baik
Untuk mewujudkan
keinginannya, AliSyaria’ti ingin menggugah semangat juang para pemuda dengan
mengarang berbagai buku yang isinya adalah membangun jiwa revolusioner. Tujuannya
agar terjadinya sebuah revolusioner dikalangan Islam itu sendiri. Selain itu Syaria’ti juga mendirikan
sebuah lembaga yang kemudian
diusulkan untuk menjadi sebuah
universitas, yaitu Husayniyah Irsyad yang kerap melakukan riset
diberbagai bidang
Ali Syaria’ti
juga merupakan aktor penting dalam revolusi Islam Iran, Syaria’ti tampil
sebagai penyemangat yang luar biasa, retoris, dan artikulatif serta banyak memikat
orang-orang, khususnya kaum muda. Seringkali Syaria’ti mengkritik pemerintahan
pada saat itu karena sudah tidak berjalan dengan semestinya. Pemikiran Ali Syaria’ti
dalam revolusi Iran dikategorikan ke dalam politik-keagamaan
Salah satu tema
sentral dalam ideologi politik keagamaan Syaria’ti adalah agama dapat
dan harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan
rakyat yang tertindas, baik secara kultural mapun politik. Lebih tegas lagi,
Islam dalam bentuk murninyamerupakan
ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga dari penjajahan politik,
ekonomi dan kultural Barat.Ia merupakan problem akut yang dimunculkan
kolonialisme dan neo-kolonialisme yang mengalienasikan rakyat dari akar-akar
tradisi mereka. Atas dasar inilah, maka banyak pengamat
menyebut Syaria’ti sebagai “the ideologist of revolt”.
Ali Syaria’ti
juga terlibat dalam gerakan politik dengan menggabungkan diri bersama kelompok
pro-Mossadeq, oposisirezim penguasa, serta di bawah gerakan perlawanan nasional
atau NRM (Nasional Revolution Movement) cabang Masyhad, Syaria’ti
melancarkan gerakan oposisinya melawan rezim. Syaria’ti pun aktif dalam gerakan
rakyat dan nasionalis untuk nasionalisasi industri minyak Iran. Akibat
aktivitas politiknya tersebut akhirnya menggiring Ali Syaria’ti ke penjara
selama 8 bulan.
4.
Sosial
Memasuki usia
dewasa Ali Syaria’ti mulai sibuk dengan kegiatan-kegiatan sosial, politik dan
keagamaan, ini merupakan wujud dari keilmuan yang dimilikinya dan latar
belakang ayahnya sebagai seorang aktivis, selain aktif dalam berbagai kajian
ilmiah Syaria’ti juga bergabung dengan
berbagai organisasi dan gerakan-gerakan dan Ali Syaria’ti sangat menikmatinya.
Tahun 1940 Syaria’ti
mulai aktif dalam organisasi yang didirikan oleh ayahnya
sendiri yaitu “Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan” dan Pusat Pengembangan Dakwah
Islam.
Ketika memasuki
umurnya yang ke-20 tahun, Ali Syaria’ti menyaksikan kondisi negerinya yang
penuh gejolak politik akibat kebijakan
otoriter rezim penguasa. Berbagai perjuangan
bermunculan ke permukaan, bahkan hampir terjadi di setiap sudut kota Iran,
hingga pada puncaknya terjadi kerusuhan. Saat itulah Ali Syaria’ti mulai aktif
dalam gerakan politik dengan mendirikan asosiasi pelajar Islam di Masyhad. Syaria’ti tidak dapat menutup
mata menghadapi kekejaman-kekejaman yang dilakukan penguasa, Syaria’ti bangkit melalui dua sektor, yaitu sektor sosial dan
politik. Syaria’ti
terjun dalam gerakan pencerdasan bangsa dan menciptakan penyadaran bagi
masyarakat Iran melalui ceramah-ceramah, tulisan-tulisan, serta bergerak lewat
organisasi. Karena pidato-pidato, tulisan-tulisan, serta kegiatan-kegitan
perlawanannya itulah maka pemerintah mengawasinya.
Sebagai tokoh
intelektual progresif, Ali Syaria’ti memosisikan dirinya sebagai pembela kaum
tertindas. Setidaknya ada dua pandangan mengenai intelektual progresif yaitu: Pertama,
kaum intelektual yang menghasilkan pemikiran dan gagasan abstrak dan universal,
karena mereka tidak dipaksa oleh kelompok atau kelas sosial tertentu. Dengan kata lain, intelektual
bukan pesuruh, penafsir, dan menjalankan tugas kelas sosial tertentu,
namun seorang intelek menjalankan
aktivitasnya berdasarkan kesadaran akan kondisi sosial dengan gagasannya. Kedua,
kaum intelektual bersifat progresif karena mereka berdiri di luar masyarakat
dan oleh karena itu intelek tidak mengabdi pada salah satu kepentingan sosial
tertentu.Berdasarkan hal demikianlah,
intelektual tidak membela kelas tertentu, tetapi membela semua kelas yang benar
demi perdamaian dan kepentingan publik belaka. Dengan ideologisasi ini pula
revolusi Islam 1979 terjadi dan membawa transisi mendasar pada sistem tata
nilai dan pemerintahan Iran.
BAB III
PANDANGAN
ALI SYARIA’TI TENTANG MANUSIA
A.
Pengertian
Manusia
Dalam Islam, manusia dianggap sebagai khalifah di bumi dan seluruh ciptaan
lainnya tunduk kepada manusia. Menurut al-Qur’an, setelah
menciptakan manusia pertama Adam, Allah SWT. mengajarkan kepadanya nama-nama segala benda. Dengan kebesaran-Nya, Allah SWT. menciptakan segalanya dari tiada menjadi ada. Kehendaknya adalah sumber
ciptaan dan setiap unsur dalam ciptaan memanifestasikan kekuasaan Allah SWT. Karena
itu setiap objek dalam ciptaan menunjukkan kualitas dan sifat-sifat Tuhan.
Dengan memberitahukan kepada Adam nama-nama benda, berarti membuatnya sadar
akan esensi ciptaan. Dengan kata lain membuat sadar akan sifat-sifat Tuhan dan
hubungan antara Tuhan dan ciptan-Nya. Ini bukanlah semata-mata kesadaran
intetektual yang terpisah dari kesadaran spiritual. Ini adalah kesadaran
spiritual yang mengontrol, membimbing, dan mempertajam intelek, dengan
menanamkan dalam diri Nabi Adam perasaan ta’dzim dan
hormat kepada Tuhan dan membuatnya mampu menggunakan pengetahuan yang
dimilikinya itu untuk kepentingan umat manusia
Manusia
merupakan ciptaan Tuhan yang ada di muka bumi dan merupakan satu-satunya
makhluk yang yang memiliki kemampuan berpikir dan merefleksikan segala sesuatu
yang ada termasuk merefleksikan diri serta keberadaannya di dunia. Inilah yang menentukan
dan sebagai tanda dari hakikat sebagai manusia di mana makhluk lain seperti
binatang tidak memilikinya. Oleh karena itu hakikat manusia adalah berpikir.
Manusia perlu mengenal dan
memahami hakikat dirinya sendiri agar mampu mewujudkan eksistensinya.
Pengenalan dan pemahaman ini akan mengantar manusia kepada kesediaan mencari
makna dan arti kehidupan sehingga hidupnya tidak menjadi sia-sia. Dalam
pengertian ini dimaksudkan makna dan arti sebagai hamba Allah SWT. dalam rangka
menjalankan hak dan kewajiban atau kebebasan dan tanggung jawab mencari ridha-Nya
Pada
zaman modern perspektif antroposentris dipakai untuk membicarakan manusia. Sumber
untuk menjawab pertanyaan “siapakah manusia itu?” sumber untuk
menjawab pertanyaan tersebut dicari dalam diri manusia
itu sendiri. Dengan kata lain, nilai-nilai yang melekat pada manusia merupakan
jawaban atas pertanyaan mendasar tersebut. Filsuf-filsuf modern menegaskan
bahwa manusia makhluk yang tertinggi. Manusia menjadi ukuran bagi dirinya
sendiri serta ukuran dari segala hal, karena itu tidak ada hal yang lebih
tinggi dan lebih luas dari manusia itu sendiri. Manusia itu bernilai karena ia
manusia
Dalam
perkembangannya manusia selalu didorong oleh keinginannya baik yang timbul dari
dalam dirinya maupun dari luar, untuk menciptakan dan
mewujudkan sejarahnya. Karena manusia dalam menghadapi alam membutuhkan upaya
untuk mengubahnya sehingga alam dapat dilestarikan dengan hadirnya manusia di
muka bumi dan alam pun mempunyai arti dan peran bagi kelangsungan hidup manusia
di dunia. Oleh karena itu manusia disebut makhluk yang bersejarah
Dalam
sejarah filsafat Yunani misalnya, manusia mendapat perhatian penuh sejak masa
Plato dan selanjutnya dikembangkan lagi oleh Aristoteles yang mengarahkan
perhatiannya ke bidang etika. Fase berikutnya berkembang ke etik religi
sehingga filsafat menjadi sebuah anjuran, seperti Plotinus yang mengatakan, bahwa tujuan hidup
manusia adalah mencapai persamaan dengan Tuhan.
Manusia diciptakan
oleh Allah dengan membawa sifat dan potensi masing-masing. Dalam al-Qur’an ada
beberapa ayat yang memuji dan merendahkan sikap manusia. Dalam pandangan
Quraish Shihab, tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi merupakan rencana
Allah agar manusia memikul tanggung jawab. Untuk maksud tersebut di samping
tanah (jasmani) dan ruh Ilahi (akal dan ruhani), manusia juga diberi anugerah berupa potensi
untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam, pengalaman hidup di surga,
baik yang berkaitan dengan kecukupan dan kenikmatannya maupun rayuan iblis
akibat buruknya dan terakhir petunjuk keagamaan yang ada pada manusia.
Manusia
secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa Arabnya, yang berasal
dari kata nasiya yang berarti lupa
dan jika dilihat dari kata dasar al-uns
yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia
memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan
keadaan yang baru disekitarnya. Manusia cara keberadaannya yang sekaligus
membedakannya secara nyata dengan mahkluk
yang lain. Seperti dalam kenyataan mahkluk
yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang
menentukan manusia hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan
sehingga berbeda dengan makhluk
yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam setting
sejarah dan setting
psikologis situasi emosional dan
intelektual yang melatar belakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia
tersebut menjadikan manusia
sebagai makhluk
yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan
teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan
melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan
pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan
tentang dirinya.
Al-Qur’an
menyebutkan manusia dengan menggunakan berbagai istilah, ini menandakan bahwa
manusia itu adalah mahkluk yang sangat unik dan mempunyai maksud masing-masing.
Kata Basyar yang terdapat dalam
al-Qur’an merupakan istilah yang ditunjukkan
kepada manusia yang dikaitkan dengan kedewasaan kehidupan manusia, yang
menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Istilah
insan digunakan untuk menunjukkan kepada manusia
dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara yang
satu dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan intelektualitasnyaSedangkan istilah Bani Adam digunakan
untuk menunjukkan bahwa manusia mempunyai kelebihan dari makhluk lainnya. Kelebihan
tersebut meliputi fitrah keagamaan,
peradaban dan kemampuan memanfaatkan alam.Term
unasi digunakan dalam al-Qur’an, dipahami bahwa term
ini selalu dikaitkan dengan kelompok manusia, baik suku bangsa, pelaku
kriminal, maupun kelompok orang baik dan buruk nanti di akhirat. Dengan term
ini manusia dipahami sebagai
mahkluk berkelompok, manusiaakan selalu membentuk kelompoknya sesuai
dengan ciri persamaan, seperti biologis dan sosial lainnya. Sedangkan
ungkapan nas untuk menunjukkan sifat
universal manusia, artinya
ketika menyebut nas berarti ada
pengakuan terhadap spesies di dunia ini yaitu manusia.
Kaum sufi juga
memberikan pandangan tentang manusia, kaum sufi berpendapat bahwa insan kamil merupakan fokus kajian
mereka, namun al-Qur‘an, tidak pernah menyinggung mengenai insan kamil secara pasti, tidak ada ayat yang menyatakan mengenai insan kamil, yang ada hanyalah mengenai
manusia yang mempunyai bentuk yang sangat bagus, seperti yang terdapat dalam
Surat al-Tin ayat 4, manusia punya sifat keluh kesah, namun manusia dapat dibina menjadi baik. Kesempurnaan
manusia dari segi fisik merupakan salah satu isyarat bahwa manusia mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi dibandingkan makhluk lainnya yaitu dengan menjadi khalifah di
muka bumi.
Tokoh
sufi Husein ibn Mansur al-Hallaj memberikan gambaran tentang manusia dalam
doktrin hulul dan Nur Muhammad, dalam
doktrinya manusia dipandang sebagai penampakan lahir dari citra Tuhan yang
azali kepada zat-Nya yang mutlak dan tidak mungkin disifatkan itu. Oleh karena
itu adam diciptakan oleh Allah dalam citra-Nya yang melahirkan segala sifat dan
asma-Nya sehingga ia adalah Dia. Namun disisi lain al-Hallaj juga memandang
manusia terdiri dari unsur jasad dan rohani oleh karena itu manusia mempunyai
sifat kemanusiaan (nasut) dan sifat
ketuhanan (lahut).
Dalam
pandangan al-Ghazali sebagai salah seorang tokoh yang hidup di abad
pertengahan, hakikat manusia adalah jiwa, karena jiwa merupakan indentitas
tetap, jiwa merupakan subtansi immaterial yang berdiri sendiri dan manusia
tidak terdiri dari dari unsur pembentuknya jadi jiwa bersifat kekal dan tidak
hancur.
Dalam
pandangan Ibnu Khaldun, manusia secara eksistensial adalah makhluk yang terdiri
dari jasmani dan rohani, dalam kemampuannya manusia berhubungan dengan realitas
“atas” dan “bawah”. Melalui realitas bawah manusia berhubungan dengan
raga dan lewat raga berhubungan dengan dunia fisik, sedangkan melalui realitas atas,
jiwa manusia berhubungan dengan dunia ruhaniyah, itulah yang disebut dengan
dunia malaikat.
Sedangkan yang membedakan antara manusia dengan malaikat adalah manusia
mempunyai akal dan nafsu syahwat, sedang malaikat hanya mempunyai akal, tidak mempunyai nafsu
syahwat. Maka dengan akalnya manusia mempunyai bagian tingkah laku seperti
bagian yang dimiliki oleh malaikat, dan dengan tabiatnya/nafsu syahwatnya
manusia memiliki bagian tingkah laku seperti bagian yang dimiliki oleh
binatang. Oleh karena itu apabila tabiatnya/nafsu syahwatnya itu mengalahkan
akalnya maka manusiaakan lebih jelek dari pada binatang.Dan begitu juga
sebaliknya apabila akalnya dapat mengalahkan tabiatnya/nafsu syahwatnya maka
dia lebih baik dari pada malaikat.
Ali Syaria’ti
menegaskan bahwa pada diri manusia hal yang paling menonjol adalah kekuatan
iradahnnya, manusia adalah makhluk yang dalam penciptaan mampu melawan dorongan
instingnya. Hanya manusia
yang mampu menaklukkan dirinya sendiri, menentang hakikatnya, dan memberontak
terhadap kebutuhan fisik dan
spiritualnya. Dari kehendak bebas inilah manusia dapat menemukan jati dirinya
untuk meraih kebahagian dan kemuliaan
dari Sang Pencipta, karena manusia diberi kebebasan memilih
yang tidak Allah berikan kepada makhluk lainnya.
Kehendak dan
pengetahuan merupakan hal yang dimiliki oleh manusia, boleh jadi manusia
menempuh jalan ini boleh tidak, jika manusia menempuh maka itu atas kehendaknya
sendiri, bukan karena ada paksaan. Hal yang seperti inilah yang tidak dimiliki
oleh makhluk ciptaan Allah yaitu malaikat, malaikat diciptakan oleh Allah dalam
paksaan dan terus ditarik ke arah kebaikan bukan karena pilihannya sendiri.
Berdasarkan
argumen-argumen di atas,
Ali Syaria’ti berpendapat bahwa, manusia adalah kombinasi dua hal yang
berlawanan fenomena dialektis yang terdiri dari oposisi “Allah-syaitan” atau “roh
lempung”. Manusia
mampu berkehendak bebas, mampu membentuk nasibnya sendiri dan bertanggung
jawab; manusia menerima amanah khusus dari Allah dan para malaikat yang yang
bersujud kepadanya, manusia
adalah khalifah tapi juga pemberontak terhadap Allah, manusia memakan buah larangan, manusia diusir dari
surga dan dibuang ke alam tandus, dengan tiga aspek: cinta (hawa), akal
(syaitan) dan pemberontak (buah larangan). Manusia diperintahkan
menciptakan surganya sendiri di
dalam alam, yang merupakan tempat
pengasingannya. Manusia
senantiasa mengalami pertarungan
di dalam dirinya, manusia senantiasa
berjuang untuk bangkit dari lempung menuju Allah, berusaha untuk naik
meningkat, sehingga hewan yang berasal dari lumpur dan endapan itu mampu mendapatkan
karakteristik Allah.
B.
Konsep
Dualitas Manusia
Manusia adalah
makhluk yang memiliki kesadaran diri dan berbagai dimensi, manusia bukanlah
makhluk hewani yang hanya mempertahankan diri hidup di dunia. Ali Syaria’ti
membagi manusia menjadi
dua dimensi, Pertama, dimensi fisik
yang merupakan dimensi material manusia yang sifatnya menyerupai makhluk
ciptaan Allah yang lain, yang memiliki kebutuhan-kebutuhan biologis. Basyar merupakan istilah yng digunakan untuk
menjelaskan dimensi ini, di mana kapasitas manusia sebagai individu otonom
mempunyai hak-hak individual yang hakiki. Kedua,
dimensi ruh, di sinilah letak inti nilai kemanusiaan, di mana mencakup
potensi akal sebagai modal manusia menjadi khalifah, modal dalam menjalani
tugas-tugasnya di muka bumi, istilah yang
digunakan adalah insan, yaitu
kapasitas individu manusia sebagai bagian dari masyarakat yang punya tanggung
jawab masing-masing untuk memberi kontribusi membangun masyarakat sebagai tugas
ke khalifahannya. Bagian yang paling suci dari setiap makhluk adalah ruhnya,
oleh karena itu, menurut Ali Syaria’ti, manusia adalah makhluk dua dimensional
dengan dua arah kecendrungan yang satu membawa ke bawah, yaitu ke hakikat yang
lebih rendah, satunya lagi membawa ke atas, yaitu ke puncak spiritualnya yang
disebut Dzat yang Maha Suci.
Dengan
mendasarkan pada asal kejadiannya, manusia merupakan makhluk yang mempunyai dua
kutub yang kontradiktif. Akan tetapi kebesaran dan kejayaannya yang unik justru
berasal dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang bersifat dua
dimensional. Dua kecenderungan yang dimiliki oleh manusia berebut ruang
dominasi pada dirinya karena manusia memiliki kebebasan untuk memilih dua
pilihan di antara dua kutub yang kontradiktif tersebut. Setiap pilihan yang
diambil manusia sebagai cermin kebebasan yang dimilikinya akan menentukan
nasibnya
Setelah Allah
menyelesaikan penciptaan atas manusia, Allah kemudian memberikan pengajaran
tentang nama-nama, sebagai simbol gagasan tentang pengajaran dan pendidikan. Pada
posisi demikian, Tuhan adalah guru pertama manusia dan pendidikan pertama
manusia bermula dengan menyebutkan nama-nama. Setelah itu Tuhan memerintahkan
kepada seluruh malaikat untuk bersujud kepadanya dan bersujudlah para malaikat
itu. Fakta inilah yang menurut Ali Syaria’ti merupakan arti sebenarnya dari
humanis.
Menurut Ali Syaria’ti, keutamaan paling
menonjol dari manusia adalah kekuatan kemauannya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat
bertindak melawan dorongan instingnya,
sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh makhluk lain. Kemauan bebas yang
dimiliki manusia itulah dapat menjadi penghubung kedekatannya dengan Tuhan. Pertemuan
kedekatan manusia dengan Tuhan adalah karena manusia lahir dari bagian Ruh
Tuhan. Dengan demikian apa yang sama dari manusia dengan Tuhan adalah dimensi
ruhnya yang melahirkan konsep kemauan bebas berkehendak.
Dalam keadaan demikian manusia
memerlukan kehadiran agama yang mampu menyeimbangkan dan menyelaraskan
dimensi-dimensi yang saling bertentangan yang ada dalam dirinya dan
masyarakatnya. Dalam al-Qur’an,
ditemukan dua istilah untuk menyebut kata manusia; yaitu basyar dan insan.
Pernyataan tersebut dalam al-Qur’an surat al-Isra ayat 11 dan al-Kahfi ayat 110, bahkan kata insan dalam al-Qur’an terdapat dalam bentuk nama surat yaitu
al-Insan.
Menurut Ali Syaria’ti, insan adalah
makhluk yang mempunyai karakteristik tertentu yang dapat mencapai tingkat
kemanusiaan (insaniyyat) tertentu lebih dari sekedar makhluk hidup
dengan naluri instingtif yang bersifat alamiah. Sedangkan basyar adalah
makhluk tertentu yang terdiri dari karakteristik fisiologis, biologis,
psikologis yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa memandang ras, agama dan
warna kulit atau bangsa. Dengan demikian, setiap manusia adalah basyar,
tetapi tidak mesti Insan, karena tidak semua manusia dapat mencapai
kualifikasi sebagai insan.
Basyar
adalah makhluk, “sementara insan adalah
“proses menjadi”. Insanmemiliki tiga karakteristik dasar, yaitu
kesadaran diri, kemampuan untuk memilih, dan kemampuan untuk mencipta. Dengan
karakteristik ini maka manusia (insan) merupakan makhluk tiga
dimensional. Ketiga karakter ini dimiliki Tuhan, dan manusia sama seperti Dia.
Maksud kata “kesamaan” adalah bahwa manusia
merupakan makhluk yang mampu memanfaatkan dan mengembangkan sifat-sifat agung
Tuhan yang ada dalam diri mereka, dan mampu terus-menerus berubah. Insan-lah yang
merupakan khalifatullah filardh, sedangkan basyar tidak lebih
merupakan hasil akhir dari proses evolusi monyet yang lebih bersifat alamiah.
Hanya insan yang dapat memberontak, dan memilih, yang akan mampu
mencapai kesadaran dan berkreasi (secara relatif).
Dalam pandangan Ali Syaria’ti
bashar
adalah makhluk tertentu yang terdiri dari karakteristik fisiologis,
biologis dan psikologis yang dimiliki oleh seluruh manusia baik yang berasal
dari Timur maupun Barat atau dari berbagai bangsa dan suku yang terdapat
diseluruh dunia, baik yang beragama maupun yang tidak, ia didasarkan pada
hukum-hukum fisik yang ditemukan oleh ilmu kedokteran, fisiologi dan psikologi.
Ali Syaria’ti juga menambahkan
bahwa basyar adalah tingkatan
terendah manusia, sehingga ia dilambangkan dengan roh lempung, hal tersebut diungkapkannya
sebagai berikut:
“
Ketika kita mengkaji tentang
manusia, maksud saya adalah sejarah kebodohan manusia, sungguh lebih panjang
dan karenanya lebih menarik ketimbang sejarah kepandaiannya. Manusia basyar adalah kera yang sudah berhenti
berevolusi sejak waktu yang sudah lama sekali. Senjata, pakaian dan makanannya
telah berubah, tapi sifat-sifatnya sama saja, tidak ada perbedaan antara Jengis
Khan (Raja Mongol 1162-1227)yang berkuasa atas suku-suku liar, raja-raja besar
yang berkuasa atas masyarakat luas yang berperadaban dan orang-orang sekarang
yang berkuasa atas peradaban-peradaban besar yang beradab. Tentunya,
satu-satunya perbedaan adalah bahwa Jengis Khan jujur ketika ia mengatakan
bahwa ia datang untuk membunuh, sementara para pemimpin sekarang yang
berperadaban menyatakan bahwa mereka ingin menciptakan perdamaian. Hanya
retorika pidato, penipuan dan pengelabuan dan rasionalisasi sajalah yang telah
berubah begitu halus, tetapi esensi kemanusiaan ternyata sama saja. Dewasa ini
kejahatan, kepalsuan, kelancungan, pembunuh sadisme dan kekejaman di muka bumi
tidak saja sama, tetapi malahan lebih banyak dari masa lampau. Semua ini
kelihatnnya merupakan pengewanjatahan basyar
pada bentuknya yang sudah begitu pasti, makhluk manusia dalam dimensi
fisisnya yang tidak berubah-ubah
Insan dalam
pandangan Ali Syaria’ti merupakan proses menuju kesempurnaan, manusia insan adalah manusia khusus dan memiliki
karakteristik tertentu dan berbeda antara satu dengan yang lain sesuai dengan
tingkatan realitas dan esensinya. Ketika menyebut insan bukanlah penduduk dunia pada umumnya. Jadi tidak semua
manusia adalan insan, namun mereka
mempunyai potensialitas untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari
kemanusiaan ini. Walaupun demikian setiap manusia mencapai taraf insan dalam kehidupannya dalam
batas-batas tertentu. Individu-individu tersebut dapat bergerak ke arah taraf
yang lebih tinggi dalam proses menjadi insan.
Bagaimanapun kemanusiaan dapat dipandang sebagai terus maju ke arah
realitasnya.
Manusia (insan) memiliki tiga sifat yang saling berkaitan satu dengan yang
lainnya, semua sifat ini adalah sifat ilahiyah,
dan hanya manusia (insane) sajalah
yang dapat menyesuaikan dirinya dengan sifat-sifat ketuhanan ini. Bila ada
sifat-sifat lainnya, maka sifat-sifat itu merupakan sifat-sifat yang diturunkan
dari ketiga sifat-sifat di bawah ini:
1. Kesadaran
diri
Sifat ini menuntun manusia untuk
memilih, dan kemudian menolongnya untuk menciptakan sesuatu yang baru, yang sebelumnya
belum ada di alam semesta.
2. Kemauan
bebas
Manusia adalah satu-satunya makhluk
yang bebas untuk memilih bagi dirinya, dan apa yang ia pilih dapat bertentangan
dengan instingnya, dengan alam, masyarakat, dan doroangan fisiologis dan
psikologisnya. Kemampuan dan kebebasan berkehendak ini menolong manusia
mencapai taraf tertinggi dari proses “menjadi” manusia. Hanya manusia lah yang
bebas untuk memilih, dan inilah salah satu karakteristik yang membedakannya
dengan makhluk lainnya. Dengan karakteristik ini, manusia dapat memilih untuk
berbuat baik dan berbuat jahat, rasional atau irrasional dan sebagainya dan
dengan kebebasan memilih pula manusia dapat ingkar dengan Sang Pencipta.
3. Kreativitas
Manusia bukan sekedar makhluk
pembuat alat, tapi juga pencipta dan pembuat apa yang belum ada di alam.
Manusia sadar bahwa dirinya memerlukan hal-hal yang sebelumnya tidak disediakan
oleh alam, oleh karena itu manusia membuat sendiri guna memenuhi kebutuhannya.
Menurut Ali Syaria’ti, dalam
mengembangkan sifat Ilahiyat manusia
tersebut, manusia yang “menjadi” insan manusia
selalu harus berjuang keras melawan deterministik yang cenderung membatasi.
Kekuatan tersebut pada zaman ini muncul dalam berbagai gerakan seperti:
materialis, naturalis, eksistensialis, dan monistik. Kemudian manusia juga
harus melawan ajaran yang meremehkan kesadaran dan kebebasan manusia seperti:
historis, sosiologis dan biologis.
Dualitas eksistensi tidak semata-mata
sebuah kontradiksi, melainkan sebagai tanda kesempurnaan ciptaan. Dualitas ini
pula yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya di dunia. Berbagai
kekhasan karakter muncul dari corak ini sebagai konsekuensi kekhalifahannya di
bumi. Dalam sebuah artikelnya Ali Syari’ati menjaskan:
“
The only superiority that man has over all other beings
in the universe is his will. He is the only being that can act contrary to his
nature, while no animal or plant is capable of doing so. It is impossible to
find an animal which can fast for two days. And no plant has ever committed
suicide due to grief or has done a great service. Man is the only one who
rebels against his physical, spiritual, and material needs, and turns his back
against goodness and virtue. Further, he is free to behave irrationally, to be
bad or good, to be mud like or Divine. The point is that possession of
"will" is the greatest characteristic of man and it throws light upon
the kinship between man and God”.
(Sebuah keunggulan khusus bahwa
manusia memiliki lebih dari semua makhluk lain di alam semesta adalah kehendak-Nya.
Manusia adalah satu satunya makhluk yang dapat bertindak bertentangan dengan
alam, sementara tidak ada hewan atau tumbuhan yang mampu melakukannya. Tidak
mungkin menemukan binatang yang dapat cepat selama dua hari. Dan tanaman ada
yang pernah bunuh diri karena kesedihan atau telah melakukan pelayanan besar.
Manusia adalah satu-satunya yang memberontak terhadap fisik spiritualnya,
kebutuhan material, dan berbalik melawan kebaikan dan kebajikan. Lebih lanjut, manusia
bebas untuk bersikap tidak rasional, untuk menjadi baik atau buruk, menjadi
seperti lumpur atau memiliki sifat Ilahi. Intinya, memiliki “kehendak”
adalah karakteristik terbesar manusia dan memancarkan
cahaya kekerabatan antara manusia dan Allah).
Manusia dengan tipe yang
digambarkan oleh Ali Syaria’ti di atas sangat erat kaitannya dengan konsep
manusia yang dijadikan oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Konsekuensi kekhalifahan adalah adanya
kebebasan berkehendak yang berperilaku untuk mengemban tugasnya. Dengan
rasionalitasnya manusia mampu memilih jalan kehidupan untuk selalu senantiasa
selaras dengan alam semesta, sekaligus mampu mengabaikan rasionalitas dan
menerjang ke arah hal-hal absurd yang bahkan merugikan dirinya sendiri dan
lingkungan. Semua itu bisa dilakukan dengan tuntutan tanggung jawab yang kelak
akan dipertanyakan di hari pembalasan.
Superioritas manusia bahkan melebihi
malaikat sebagai makhluk Allah yang paling suci karena tidak pernah berbuat
dosa dan selalu menaati perintah-Nya,Karena
malaikat bukanlah makhluk yang diajarkan mengenai ilmu pengetahuan oleh Allah
sebagaimana Adam mendapatkannya ketika pertama kali memijakkan kaki di bumi.
C.
Konsep Tentang Kebaikan dan Kejahatan Dalam
Diri Manusia
Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah dari tanah, kemudian
ditiupkan roh (spirit) Ilahiah. Ali Syaria’ti berpandangan bahwa pada
prinsipnya sejarah dialektis kehidupan umat manusia dimulai dan beranjak dari
dua dimensi kontraditif esensi penciptaan Adam di atas. Roh Ilahiah sebagai roh
(spirit) kesucian yang selalu menuju arah kebaikan dan unsur tanah liat sebagai
simbol kekotoran yang selalu menuju ke arah keburukan dan kehinaan. Pada
dataran ini dialektika historis-sosiologis bersifat subyektif.
Dalam proses “menjadi” dan memiliki manusia hanya punya dua pertentangan dalam
dirinya.
Pertentangan dua hal dalam diri manusia akan terlihat jelas dalam
kehidupannya sehari-hari, baik dalam sudut pandang politik, sosial, budaya
maupun agama.
Kisah Habil dan Qabil yang merupakan refleksi dari pertentangan internal dalam
diri manusia, hal inilah yang dijadikan pemikiran utama dalam pemikiran
historis-sosiologis yang menerangkan sejarah perjalanan umat manusia. Di mana
manusia terpecah menjadi dua arah yang tidak dapat disatukan.
Pertarungan Adam bersifat subyektif yaitu berlangsung dalam esensi dirinya
sendiri, sementara pertarungan Habil dan Qabil adalah pertarungan yang objektif
di mana berlangsung dalam kehidupan lahiriah. Ali Syaria’ti berpandangan bahwa
pertarungan antara Habil dan Qabil
adalah sebuah perwakilan masa.
Habil mewakili zaman ekonomi pengembalaan, suatu sosialisme primitif sebelum
ada sistim milik, sedangkan Qabil mewakili sistem pertanian. Setelah itu mulailah suatu pertarungan
abadi. Sehingga, seluruh sejarah merupakan arena pertarungan antar kelompok
Qabil sipembunuh, kelompok Habil yang menjadi korbannya.
Sejarah dinodai dengan pembunuhan yang melahirkan pertentangan, perang,
kejahatan, segresi dan fragmentasi sosial antara keturunan-keturunan Adam yang
susul-menyusul. Hal
ini disebabkan oleh pecahnya ”aku” yang baik dan ”aku” yang jahat. Perasaan cinta dengan sesama saudara berubah
jadi benci, persaudaraan berubah menjadi permusuhan.
Bagi Syaria’ti potret Qabil
dan Habil secara simbolik lebih dari sekedar gambaran sosok individual manusia,
tapi juga menggambarkan corak ideologi dan paham kolektif (Qabilisme dan Habilisme). Berdasarkan
penafsiran simbolik seperti itu, meskipun Qabil dan Habil telah meninggal secara individual,
namun paham yang mewakili ideologi tersebut tetap bertahan dengan segala
modifikasi dan perubahan di segala aspek melalui dialektika abadi dalam diri
manusia.
Menurut
Syaria’ti,
pertarungan antara Qobil dan Habil anak-anak Adam, Qobil menurutnya juga mewakili watak syirik sedangkan Habil
prototipe seorang penganut tauhid. Pertarungan transhistoris itu menurutnya, mencerminkan
pertarungan antara keadilan serta kesatuan manusia di satu pihak dan
diskriminasi sosial serta rasial di lain pihak.
Lebih
jauh Ali Syaria’ti menambahkan bahwa Habil juga mewakili karakter baik,
sedangkan Qobil berkarakter jahat. Jika menggunakan cara berpikir Syaria’ti
sendiri maka secara konsisten harus dikatakan bahwa pertarungan antara penguasa
dengan yang dikuasai,
juga harus di tafsirkan sebagai pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Menurut
anggapanya,
itulah pertarungan abadi yang akan terus berlangsung dalam semua masyarakat
manusia. Tetapi Syaria’ti
yakin sejarah yang pasti akan berkesudahan dengan menangnya keadilan, kesamaan
dan kebenaran. Ali Syaria’ti memberikan
gambaran bahwa pada akhir zaman itu pasti akan
datang bersama kematian Qabil
dan kembalinya sistem Habil. Revolusi yang pastiakan tejadi itu akan mengakhiri
riwayat Qabil.
Kesamaan akan terwujud di seluruh dunia, dan melalui kesamaan serta keadilan. Maka berlakulah
kesatuan dan persaudaraan umat Islam.
Bagi Ali Syaria’ti,
inilah arah pasti sejarah. Suatu revolusi universal yang akan berlangsung di
semua kawasan hidup manusia. Kelas tertindasakan menuntut balas.
D. Konsep Tentang
Humanitas Dan Masa Depan Kemanusiaan
Manusia dalam pandangan Barat
pada umumnya dapat dilihat bingkai pemikiran dan
perkembangan ilmu pengetahuan Barat tentang humanitas. Humanitas sebagai sebuah
gerakan (humanis) menurut Syaria’ti
seakan-akan telah menjadi “agama baru”
bagi masyarakat Barat terutama Eropa pada zaman modern ini.
Pandangan Barat
tentang manusia secara umum dapat dirangkum dalam tiga bagian kelompok, yaitu liberalis Barat, marxis, serta eksistensialis.
Menurut liberalis Barat, manusia dan Dewa bertentangan, paham ini berangkat dari
mitos pada masa Yunani. Dalam mitologi Yunani antara langit dan bumi, alam
dewa-dewa dan manusia terdapat pertentangan dan pertarungan, yang kemudian
memunculkan sikap kebencian dan kedengkian antara keduanya. Para dewa adalah
kekuatan yang memusuhi manusia seluruh perbuatan dan kesadarannya atas
kekuasaan yang zalim terhadap manusia yang dibelenggu oleh kelemahan dan
kebodohan.
Hal inilah yang membuat manusia benci Dewa, tidak salah jika di Eropa kemudian
berkembangnya pemisahan antara agama dan negara, dan sains.
Menurut Syaria’ti,
humanitas yang menganut mitos seperti ini akan mengarah kepada
materialis atau mengagungkan nilai-nilai material,
manusia cenderung tidak percaya kepada hal-hal yang bersifat metafisik, sehingga
menyebabkan manusia dengan
kekuatan yang dimilikinya ingin mengusai
alam.
Kelompok-kelompok marxis melakukan pemberontakan terhadap gereja karena
dianggap telah menindas rakyat kecil, gereja menjadi legitimasi untuk menindas,
sehingga kaum marxis menolak agama dan Tuhan. Menurut Ali Syaria’ti marxis
menolak paham kapitalis, mengingkari kelas, pemerintahan, hak milik pribadi dan
penumpukan harta. Pada sisimoral, bekerja demi martabat yang lebih penting dari
semuanya itu adalah penolakannya terhadap martabat manusia dan penghapusan
kemanusiaan dalam sistem kerja sosial dan produksi.
Suatu perencanaan masyarakat yang didalamnya tidak ada
nilai. Kelompok Marxis menginginkan sama rata sama rasa yang menurut Ali Syaria’ti tidak ada penghargaan terhadap martabat personal dan
membawa manusia untuk menerima lebih daripada haknya.
Bagi Ali Syaria’ti, marxis
ingin membebaskan manusia dari birokrasi Borjuis akan tetapi, manusia dibawa ke
bawah birokrasi pemerintahan yang tersentralisasi dan organisasi secara ketat,
ingin membebaskan manusia dari gereja namun yang muncul adalah penyembahan
terhadap “biro ideologi” marxis membawa manusia ke permainan dialektika
historis yang deterministik yang menguasai eksitensi manusia.
Kelompok eksistensialis menurut Ali Syaria’ti adalah sebuah pemahaman
yang berlawanan pula dengan kapitalis yang menurutnya telah
menciptakan manusia menjadi ”binatang ekonomi“ dan marxis yang menganggap
manusia “sesuatu yang bersifat materi yang teratur” serta agama katolik yang
menganggap sebagai bola mainan di tangan ghaib yang berkuasa.
Kaum eksistensialis pada dasarnya sebuah pemahaman yang
mengedepankan otonomi manusia dalam semesta. Kaum
eksistensialis menganggap manusia sebagai makhluk yang
wujud dengan sendirinya di alam semesta ini, yaitu makhluk yang di dalam
dirinya tersebut tidak terdapat bagian atau karakteristik yang datang dari
Tuhan atau alam. Akan tetapi lantaran manusia mempunyai kemampuan untuk
memilih, merancang dan menciptakan dirinya sendiri, khususnya dalam pandangan Satre. Sesungguhnya hal yang seperti itu yang membuat konsep
Barat terlihat anti manusia, anti humanis hanya membawa manusia kearah
kenaifan, dan berputar-putar pada materi yang tidak melakukan pelampauan ke
arah yang lebih tinggi dan transenden.
Sebagai sebuah humanis termasuk wacana
pemikiran yang cukup rumit mengingat kajiannya terkait eksistensi manusia di
dunia adalah persoalan yang kompleks. Tidak
semua hal-hal terkait manusia dapat dipantau secara inderawi. Kajian ini
menuntut pemikiran filosofis yang mendalam dan didasarkan atas teori yang kuat.
Bahkan sejak zaman Yunani Kuno, sekitar
abad ke 6 SM, perdebatan tentang hakikat manusia telah muncul. Humanitas
menjadi gagasan yang paling mendapat perhatian besar di kalangan filsuf klasik
hingga modern. Namun di sinilah manusia menunjukkan kesempurnaannya. Sebagai
sebuah gerakan dapat berperan sebagai subyek, sekaligus menjadi obyek. Manusia
mengkaji dirinya sendiri,untuk kepentingannya, dan demi kelangsungan hidupnya. Kemudian
muncul berbagai teori yang dimiliki berbagai madzhab filsafat dan keyakinan keagamaan
berupaya untuk memahami hakikat manusia.
Atas polemik ini, Syaria’ti
mengungkapkan bahwa memahami secara utuh mengenai manusia hampir tidak mungkin.
Bahkan ilmu pengetahuan pun tidak sepenuhnya mampu menjelaskan kompleksitas
dimensi manusia. Seperti yang dikutipnya dari Alexis Carrel, seorang tokoh peletak
dasar Humaniora ilmiah, “Derajat
keterpisahan manusia dari dirinya, berbanding terbalik dengan perhatiannya yang
demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya”.
Kesadaran terpenting yang harus dibangun
dalam diri setiap manusia adalah kesadaran akan dirinya sendiri. Kesadaran ini
akan menjadi bekal penting menentukan arah kehidupan manusia menuju keadaan
yang terbaik, baik dirinya dan lingkungan. Pembentukan kesadaran akan kondisi
diri merupakan alasan pokok yang dikemukakan oleh Ali Syaria’ti untuk memulai
gerakan revolusionernya dengan pembahasan mengenai nilai-nilai kemanusiaan itu
sendiri. Karena pada dasarnya gerakan revolusionernya adalah gerakan progresif
untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan melawan kekuatan-kekuatan di luar
dirinya yang membelenggu.
Konsep utama yang ditawarkan Ali Syaria’ti
tentang manusia adalah teori tentang dualitas, melalui teori
dualitas manusia (dimensi baik dan buruknya), Ali Syaria’ti Mengkritik
pemikiran Barat tentang humanitas, dengan menawarkan pandangannya relasi
manusia dengan Tuhan sebagaimana diajarkan dalam beberapa agama seperti
Hinduisme dan Budhisme, semua itu juga dapat ditemukan dalam tradisi sufistik
Islam khususnya dalam pantheisme logos (Tuhan, manusia dan cinta) bersama-sama
membangun alam semesta. Tuhan dan manusia menyatu tanpa dapat dipisahkan. Terkait
eksistensinya di dunia, manusia didefinisikan sebagai satu-satunya makhluk yang
memiliki ruh Ilahi dan bertanggung jawab atas amanah Allah, yaitu dirinya dan
alam semesta. Sedangkan cinta akan membebaskan manusia dari ketakutan dan
menumbuhkannya ke tempat kearifan yang paling mendalam.
Menurut Syaria’ti, keberadaan manusia di
bumi tidak dapat
dilepaskan dari aspek ketuhanan. Pendirian Ali Syaria’ti tentang konsep manusia
menunjukkan sikap kritisnya terhadap konsep Barat. Barat dinilai cenderung ke
arah dunia kekinian yang bersifat pragmatis. Ali Syaria’ti meletakkan landasan
yang tegas tentang proses penciptaan manusia sebagai proses evolutif yang
bergerak menuju pada tingkat kesempurnaan Ilahi.
Dari penyelidikannya terhadap
teori-teori humanitas dalam berbagai perspektif, Ali Syaria’ti mendeskripsikan
tujuh asas tentang manusia yang terdapat dalam ajaran humanitas.
1. Manusia
adalah makhluk asli, artinya memiliki substansi yang mandiri dan berbeda dengan
makhluk-makhluk lainnya dengan substansi fisik sekaligus ruh yang dimiliki.
Substansi fisik membedakan manusia dengan malaikat yang gaib, dan substansi ruh
membedakannya dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan.
2. Manusia
adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas. Ini adalah kekuatan yang paling
besar dalam diri manusia karena kehendak bebas adalah sifat manusia yang
mencerminkan sifat Ilahiyah. Kebebasan berkehendak memberi kesempatan pada
manusia untuk menentukan sendiri arah hidupnya yang kemudian harus
dipertanggungjawabkan pada Yang Maha Kuasa.
3. Manusia
adalah makhluk yang sadar (berpikir). Dengan kesadaran yang dimiliki
memungkinkan manusia memahami realitas. Potensi berpikir menjadi modal paling
penting bagi manusia untuk mempertahankan eksistensinya karena dengan berpikir,
manusia selalu mampu mencari jalan untuk bertahan hidup dan berkembang menuju
kehidupan yang lebih baik. Ketika sebuah ancaman hadir, maka secara otomatis
manusia memikirkan bagaimana menanganinya.
4. Manusia
adalah makhluk yang sadar akan dirinya sendiri. Ini memungkinkan manusia
mempelajari dirinya sendiri sebagai subyek yang berbeda dengan hal-hal selain
dirinya. Dengan begitu manusia memahami kebutuhannya, apa yang semestinya
dilakukan, dan ke arah mana seharusnya berjalan. Kepentingannya adalah tentu
saja manusia harus memastikan bahwa dirinya berjalan ke arah yang lebih baik.
5. Manusia
adalah makhluk kreatif. Kreativitas manusia menyatu dalam perbuatannya sendiri
sebagai penegasan atas kesempurnaannya di antara makhluk lainnya dan di hadapan
Tuhan. Dengan kreativitas, manusia dapat menutup kekurangannya dengan cara-cara
yang diusahakannya. Misalnya keterbatasan fisik untuk melakukan pekerjaan
berat, maka manusia akan mengerahkan daya kreatifnya untuk membuat peralatan
yang dapat membantu
memudahkannya bekerja.
6. Manusia adalah makhluk yang memiliki cita-cita
dan merindukan sesuatuyang ideal. Visi tentang sebuah masa depan membuatnya
tidak akan puas dengan keadaan kekinian dan membawa manusia selalu bergerak
dinamis menuju perubahan positif. Bahkan ini dapat menegaskan bahwa perubahan itu
ditentukan oleh manusia itu sendiri.
7. Manusia
adalah makhluk moral yang memiliki nilai-nilai. Nilai-nilai diartikan sebagai
ungkapan tentang hubungan manusia dengan fenomena, cara atau kondisi yang di
dalamnya terdapat motif yang lebih luhur daripada keuntungan.
Pemikiran Ali Syaria’ti tentang
humanitas sangat dekat dengan pemikiran teistik. Pemahaman akan Tuhan dipahami
secara reflektif sebagai sebuah pola pikir dasar dalam kehidupan dan bukan hanya berkutat pada standarlisasi
ilmiah yang sering kali menjebak masyarakat pada proyeksi rasionalisme dan empirisme
yang merupakan proyek besar modernisme. Humanitas teistik, yang muncul pada
awal abad 20 sebagai refleksi filosofis atas kekeringan spiritual masyarakat
modern. Pada era modern gerakan humanitas ini terlihat dalam aliran
eksistensialis yang memandang manusia sebagai sosok yang optimistik. Sebagian
tokoh eksistensialis, seperti Paul Sartre dan Albert Camus memang sering
dianggap ateis, namun tokoh-tokoh ternama lainnya seperti Kierkegaard dan Karl
Jespers jelas berbeda. Keberadaan Tuhan tidaklah didasarkan atas pembuktian akan
keberadaannya, melainkan paham secara reflektif
filosofis eksistensi manusia diambang kehidupan.
Krisis filsafat modern, pada dasarnya
terletak pada kesulitan menjangkau dirinya sendiri. Pada abad ke tujuh belas dapat
dilihat bagaimana ideologi tumbuh menjamur, sebagian besar membicarakan tentang
goncangan sosial yang terus meluas, tingkat perekonomian, politik dan geografi,
dengan kata lain hampir semua membahas tentang tata cara kehidupan pada saat
itu. Pada abad ke dua puluh ini doktrin menjadi pusat perhatian di mana mulai
menyentuh hal yang lebih esensial: membentuk manusia seutuhnnya. Inilah patokan
yang dijadikan filsuf saat ini, menyiapkan konsep untuk menyikapi kegoncangan
yang melanda manusia.
Pada zaman dewasa ini ada dua
kecendrungan dikalangan para cendekiawan, Pertama,
mengakui bahwa mencari hakikat manusia itu sangat sulit pada abad ini. Kedua, perkumpulan ahli pikir mendekati
ranah pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan lain-lain. Kemudian mereka mencetuskan
gagasan dari balik dinding tebal kotak “ideologi” yang baru ini. Ideologi ini
justru jauh dari esensi kemanusiaan yang ingin ditemukan. Membicarakan kemajuan
dan pembangunan manusia dari balik dinding kotak profesi tanpa mau mengerti persoalan
esensial adalah sia-sia. Agama, pendidikan, ideologi, pembangunan dan kemajuan
akan berguna apabila esensi tentang manusia jelas rumusannya.
Pada zaman dulu manusia tidak
sampai menghadapi kebuntuan seperti pada masa dewasa ini, meskipun hampir mengalami
kehancuran tapi mereka berhasil bangkit, namun pada saat ini ketika manusia
telah mengalami kemanjuan dan kecanggihan, ketika manusia mampu melakukan
segalanya dan hampir tak ada batas lagi, manusia jadi bingung akan ihwal
dirinya. Setiap langkah yang ditempuh justru makin nampak sia-sia dan tanpa
makna karena ketiadaan batas begitu membingungkan. Filsafat terus tumbuh
menembus batas sampai ketitik kesia-siaan. Hidup dijalani tanpa bobot bagai
meloncat dari satu rumus ke rumus baru. Demikian gambaran Satre: Absurditas
melekat pada hidup para ilmuan yang hilang bobot kemanusiaannya serta bagi
manusia yang hilang makna.
Manusia zaman modern sudah tidak
mengerti lagi tujuan keberadaanya, siapa dirinya, apa penyebab krisis pada
zaman modern sebenarnya, Ali Syaria’ti berpandangan bahwa malapetaka pada masa
ini berawal dari kelesuan filsafat, kesia-siaan ketidakseimbangan dan ketiadakwarasan.
Ketika segala sesuatu itu dianggap sebagai tak ada arti, tanpa tujuan, tak
punya orientasi, tanpa tugas dan tanggung jawab dan tak punya landasan filsafat
yang kokoh. Inilah pangkal bencana hidup sebenarnya yang akan menimbulkan
penyakit bagi zaman ini.
Rausyan fikr adalah pribadi individu dengan kualifikasi tertentu.
Sebutan ini digunakan untuk menunjuk pada orang yang melakukan perjuangan
tertentu. Kaum intelektual, sebagian dari mereka adalah rausyan fikr karena
intelektualitas adalah keunggulan utama dari rausyan fikr. Namun tidak
menutup kemungkinan rausyan fikr bukan berasal dari kaum intelektual.
Sedikit sekali orang yang termasuk dalam kaum intelektual, sekaligus rausyan
fikr. Intinya,
rausyan fikr atau orang-orang yang tercerahkan adalah orang yang
memiliki kesadaran kemanusiaan dan keadaan sosial di masanya yang akan
memberinya rasa tanggung jawab sosial. Jika orang yang tercerahkan berasal dari
kalangan intelektual, maka akan semakin berpengaruh karena dia dapat memainkan
peranan yang lebih penting.
Tidak diragukan
lagi keunggulan manusia atas makhluk lainnya adalah karena intelektualitasnya.
Daya intelektualitas adalah karunia Allah yang paling besar, yang dapat membawa
manusia pada pemahaman komprehensif tentang dunia. Dalam istilah al-Qur’an,
karunia intelektualitas itu diberikan dengan “mengajarkan nama-nama” kepada Nabi Adam As. yang
tidak
diajarkan-Nya pada malaikat.
Sebagai makhluk intelektual, manusia terus bekerja dinamis untuk mengembangkan
pengetahuan yang telah didapatnya. Telah menjadi potensi dasar bahwa manusia
adalah makhluk dinamis yang terus berkembang. Maka kesempurnaan manusia adalah
tergantung bagaimana manusia mematangkan dirinya menuju tingkat intelektualitas
yang tinggi sebagai jalan menuju realitas ketuhanan yang paling tinggi. Atas
pola pemikiran ini Ali Syaria’ti membangun term rausyan fikr (intelektual
yang tercerahkan) sebagai istilah untuk menyebut citra pribadi manusia ideal
yang dicita-citakan.
Peradaban modern
adalah pincang karena tekanannya yang berlebihan kepada kekinian dan kedisinian
dan kurang sekali memperhatikan hal-hal yang bersifat lebih mendalam dan
langgeng. Karena itu wajar bila kehidupan modern sekarang ini tampil dengan
wajah yang antagonistik. Satu sisi, modernisasi telah mendatangkan kemajuan
spektakuler dalam bidang material. Tetapi pada sisi lainnya, modernisasi
menghasilkan wajah kemanusiaan yang buram, seperti terlihat pada akibat-akibat
kemanusiaan yang ditimbulkannya.
Dalam mencari
pemecahan atas masalah-masalah sosial, haruslah mencari cara-cara yang jitu
walaupun lama dan menelan waktu. Barangkali itulah sebabnya mengapa banyak di antara
cendekiawan dalam masyarakat ini gagal mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Mereka bukannya mencoba melewati satu cara yang jitu yang mungkin memang lama,
tetapi mereka tersesat dalam mencoba mempertimbangkan dan menemukan beberapa
cara dihadapan mereka. Tidak aneh jika mereka selalu mengeluh tentang jauhnya
mereka dari tujuan. Karena merasa frustasi, mereka menjadi kecewa dan menarik
diri dari masyarakat. Sebagian dari mereka mulai menulis puisi modern, tetapi sia-sia.
Mereka suka menyatakan bahwa mereka benar-benar telah terjun
ke dalam masyarakat, berpadu dengan banyak orang, berteriak dan menjerit, namun
mereka tidak sampai kemana-mana. Dan oleh sebab itu mereka beralih ke puisi. Namun, ini adalah kekalahan dan penyerahan mereka kepada
keputusasaan. Padahal orang-orang yang ingin membuat perubahan tidak punya hak
untuk kecewa dan apatis.
Menurut Ali Syaria’ti tipe manusia ideal yang dicita-citakan adalah pribadi
dengan kriteria tertentu yang dapat ditemukan dalam tiga kelompok masyarakat
berikut.
Pertama,
Orang yang sadar akan keadaan manusia di masanya, dan memahami realitas
kesejarahannya, kemasyarakatannya, serta menerima rasa tanggung jawab sosial.
Ia tidak harus berasal dari kalangan terpelajar. Para pelopor dalam revolusi
dan gerakan ilmiah yang mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kesadaran
untuk memberi arahan intelektual dan sosial kepada massa atau rakyat.
Kedua, Para
pemimpin yang mendorong terwujudnya pembenahan-pembenahan struktural yang
mendasar di masa lampau sebagaimana dilakukan para Nabi besar pembawa agama.
Mereka muncul dari kalangan rakyat jelata yang menciptakan semboyan-semboyan
baru, memproyeksikan pandangan baru, melalui gerakan baru, dan melahirkan
energi baru ke dalam jantung kesadaran masyarakat. gerakan mereka adalah gerakan
revolusioner mendobrak, tetapi konstruktif. Dari masyarakat beku menjadi
progresif dan memiliki pandangan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Ketiga, Golongan
ilmuwan yang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab untuk menghasilkan lompatan
besar. Memiliki karakter dalam memahami situasi, menyebarkan gaya hidup
moralitas dan anti status quo, konsumeristik, hedonistik, dan segala
kebuntuan filosofis untuk mengubahnya menjadi masyarakat yang mampu memaknai
moralitas hidup.
Pola keagamaan
manusia bagi Ali Syaria’ti tidak cukup pada urusan ritual ibadah vertikal.
Agama adalah penuntun manusia dalam menjalankan kekhalifahannya dengan
membangun masyarakat, yaitu pembebasan atas kaum yang tertindas karena praktek-praktek
kotor para penguasa. Pada
hakikatnya manusia adalah makhluk otonom yang memiliki hak-hak dasar.
Maka upaya emansipasi adalah merupakan proses penegakan
hak-hak dasar kaum tertindas sebagai manusia yang memiliki kodrat kebebasan dan
kemerdekaan.
E.
Analisis
Proses
memahami dan mempelajari tentang manusia memang tidak ada habisnya, memahaminya
pun sangat pelit, sehingga karena itulah manusia itu unik. Pengakuan terhadap
pekerjaan memahami manusia diakui oleh Syaria’ti, bahkan sudah begitu banyak
jenis ilmu yang sudah ikut mengambil andil dalam proses memahami manusia, namun
belum juga habis pertanyaan itu terjawab. Meskipun demikian, bukan berarti
setiap kelahiran konsep baru tentang proses memahami manusia itu tidak punya
arti apa-apa. Ali Syaria’ti
mencoba menelaah manusia dengan melihat secara fisik dan juga spiritualitas.
Dari sisi spiritual Ali Syaria’ti melihat adanya dua hal
yang terdapat dalam diri manusia yang membuat manusia itu unik. Dalam manusia
adanya “Allah-roh syaitan dan roh lempung”, roh inilah yang berkecamuk di dalam
diri manusia, sifat Ilahiah yang
terdapat dalam diri manusia merupakan simbol kebaikan, roh syaitan adalah
simbol keburukan dan roh lempung adalah simbol kehinaan diri manusia, dari
komposisi inilah yang menentukan manusia memilih jalan hidupnya secara bebas,
pertama manusia itu mulia hidup di surga, kemudian akibat pengaruh syaitan
manusia diasingkan, dan dari situ perjalanan manusia akan sangat keras untuk
berjuang memperoleh kembali kemuliaanya.
Ali Syaria’ti mengakui bahwa manusia terdiri dari fisik yang dijelaskan
dengan istilah Basyar dan dimensi ruh yang dijelaskan dengan istilah Insan, namun dimensi yang membuat kecenderungan manusia terdapat
pada dimensi ruh, bukan pada dimensi fisik, dimensi ruh lah yang akan membawa
manusia ke arah baik dan buruk, kecenderungan yang
bergerak ke arah baik akan membuat memperoleh kembali kemuliaanya dan bangkit
dari kehinaan, sebaliknya kecenderungan yang bergerak arah buruk akan membuat
manusia tidak akan mencapai kemuliaan dan dekat dengan Allah, dalam penjelasannya
Ali Syaria’ti seolah mengisyaratkan pesan bahwa manusia selama ini telah sibuk
dalam kehinaan bukan sibuk dalam memperoleh kemuliaan, kemudian manusia mengganggap kemuliaan bukan
miliknya.
sehingga,
manusia sehingga merasa sukar untuk memperolehnya.
Manusia yang terus terlena dengan kehinaan tidak akan
mendapatkan proses Insan meskipun itu
terdapat dalam diri manusia, karena Insan
ini merupakan potensi yang terdapat dalam diri manusia maka manusia sendiri
yang harus merealisasi dan mengoptimalkannya, ditinjau dari sisi filsafat
istilah Insan merupakan
proses menjadi kembali manusia yang mulia.
Pemikiran Ali Syaria’ti terlihat dipengaruhi oleh
pemikiran Barat meskipun dalam beberapa hal Syaria’ti mengkritik pemikiran dari
Barat, dalam padanan pengambilan kata manusia (insan)
misalnya pemikirannya terdapat beberapa persamaan dengan
Satre, namun kata (insan) yang
diambil Syaria’ti dari al-Qur’an tersebut dijelaskannya dengan gaya filosofis.
Dalam pandangan Ali Syaria’ti, manusia dipandang dari
sudut pandang komprehensif, yaitu sudut ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Aspek ontologi
membahas tentang hakikat eksistensi manusia di dunia dalam hubungannya dengan
Tuhan dan alam. Aspek epistemologi membahas tentang
konsekuensi dari aspek ontologis mengenai bagaimana
manusia meneguhkan dirinya
sebagai manusia seutuhnya. Sedangkan aspek aksiologi membahas
tentang arah kehidupan manusia demi menjaga nilai-nilai
yang dipegangnya.
Ali
Syaria’ti juga memposisikan manusia sebagai makhluk yang paling tinggi
martabatnya, makhluk yang punya kebebasan menentukan nasibnya sendiri, makhluk
yang berdimensional yang di dalamnya terdapat unsur kesucian (ketuhanan) dan
sekaligus unsur kehinaan (lumpur). Alasan lain Ali Syaria’ti memposisikan
manusia sebagai makhluk tertinggi martabatnya adalah karena potensi
intelektualnya yang sangat luar biasa, potensi kebebasan dan spiritual,
sehingga sangat tepat manusia mendapat amanah sebagai wakil Tuhan, sebagai khalifah
di bumi ini.
Penekanan aspek ketuhanan menjadi dimensi utama dalam diri manusia
sangat luar biasa, di mana segala potensi pikir dan kesadaran manusia berorientasi pada pencarian
realitas
tertinggi. Secara personal, kesadaran religius menjadi
modal membentuk pribadi
yang utuh dengan mengoptimalkan segala potensi diri. Sedangkan dalam kehidupan
sosial, dengan pembentukan kesadaran religius melalui
pengalaman dan pendidikan dapat terbentuk pribadi muslim
yang dapat berpikir secara komprehensif guna menjawab persoalan yang mendera kehidupan masyarakat
menuju kehidupan yang berkeadilan sosial, jika ini
direalisasikan berarti dalam pandangan Syaria’ti pemahaman tentang manusia
telah memiliki kemajuan yang besar.
Belajar dari pengalaman adalah salah satu tinjauan Ali Syaria’ti
yang sangat ditekankan, di mana manusia seharusnya belajar dari sejarah
sehingga manusia mampu mengambil hikmah dari sejarah tersebut, banyak manusia
lupa akan sejarah sehingga manusia lupa tentang dirinya dan kehidupannya.
Konsep
dualitas Ali Syaria’ti merupakan teori dengan analisis yang sangat tajam, di
mana dalam konsep ini Ali Syaria’ti menekan bahwa manusia itu punya relasi kuat
dengan Tuhan, meskipun manusia punya potensi kebebasan bukan berarti tidak ada
campur tangan Tuhan terhadap apapun yang dilakukan oleh manusia, oleh karena
itu peradaban manusia akan menjadi lebih baik jika manusia telah benar-benar
menyadari bahwa ada otoritas Tuhan dalam setiap aktivitas yang dilakukan.
Kebaikan dan keburukan yang sudah tertanam dalam diri
manusia itulah yang terlihat dari sejarah itu harus dipelajari,
baik dan buruk merupakan kecendrungan yang terdapat pada manusia tidak
dipengaruhi oleh keturunan, meskipun ayahnya baik belum tentu anaknya dapat
baik jika tidak mengoptimalkan kecenderungan ruhnya seperti kisah habil dan
Qabil.
Ali
Syaria’ti menunjukkan sikap kritis ketika berbicara tentang humanis di mana kritikan
ditujukan kepada aliran-aliran yang sangat berpengaruh seperti kapitalis,
marxis dan eksistensialis, memang apa yang telah dilakukan oleh aliran-aliran
ini menampakkan bahwa konsep yang mereka kembangkan menjadi anti manusia, inti
dari kritikan yang dilontarkan oleh Syaria’ti adalah bahwa konsep yang dikembangkan
berdasarkan kepada Yunani kuno adalah keliru, dari situ lah Islam berperan
untuk menjelaskan bagaimana memanusiakan manusia.
Pada
zaman modern terlihat manusia itu gersang dalam kehidupannya padahal zaman modern
sudah jauh lebih maju, yang lebih parahnya lagi manusia itu mengakui bahwa
telah mencapai kebahagian bahkan pada tingkat tinggi, namun pada satu sisi
manusia masih mengejar dan terus mengejar kebahagian tersebut, inilah yang
disebabkan oleh tidak mengertinya humanis.
Manusia
menyuarakan humanis di mana-mana tapi justru manusia terus hilang kendali, hal
itu terjadi karena ajaran humanitas tidak dilandasi oleh ajaran Islam yang
berlandaskan al-Qur’an, maka yang harus dilakukan adalah kembali kejalan yang
benar agar tidak terjerumus ke dalam penjara humanitas yang tidak humanis.
Manusia merupakan mahkluk yang
universal, memiliki wujud alami, memiliki zat materi dengan arti seperti
dijelaskan al-Qur’an dan dikukuhkan dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda
tujuannya adalah agar benar memahami secara mendalam sehingga seseorang sudah
paham betul terhadap apa yang disampaikan al-Qur’an tentang manusia tidak akan
percaya kepada pemahaman sama dan falsafah adikodrati, yang kebanyakan di
dalamnya para filsuf dan para arif terjatuh.
Manusia memiliki dimensi ganda, membutuhkan suatu agama
yang mampu merealisasikan semua aspek-aspek kemanusiaannya yang bersifat
material dan spiritual. Disinilah letak keunggulan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Manusia dalam Islam
tidak dipandang tanpa daya di hadapan Allah. Sebagai makhluk yang berdimensi,
yang dikaruniai misi ketuhanan, manusia memerlukan bimbingan agama yang dapat
memelihara keseimbangan antara kutub keduniawian dan kutub keakhiratan.
Setelah melakukan pembahasan yang
panjang lebar mengenai konsep Ali Syaria’ti
tentang manusia, dengan berberapa pendekatan yang
penulis tentukan sesuai dengan metode penelitian skripsi ini, maka dapat diambil kesimpulan,
1.
Manusia menurut Ali
Syaria’ti adalah makhluk yang mempunyai dimensi ganda yaitu unsur
lempung dan unsur Tuhan. Kedua unsur ini saling tarik menarik.
Sehingga, manusia harus menentukan pilihannya sendiri.
Jika manusia jatuh pada unsur lempung maka manusia akan disebut basyar yaitu sekedar makhluk saja,
sedangkan jika kecenderungan unsur ruh Tuhan terdapat dalam dirinya maka
manusia tersebut akan disebut insan. Namun
dalam perjalanan basyar menuju insan harus melewati berbagai macam
hambatan yang ada dengan dibekali sifat Ilahiyah,
setelah manusia mencapai tingkatan insan,
maka manusia akan berakhlak seperti akhlak Tuhan.
2.
Konsep filosofis
dan teologis mampu memperluas pandangan Ali Syaria’ti terhadap konsep manusia (insan). Bahkan Ali Syaria’ti mengkritik model
pemikiran Barat terhadap konsep manusia (insan)
itu sendiri yang menurutnya cenderung berpandangan materialistik dalam melihat
konsep manusia.
3.
Pemikiran humanis
Ali Syaria’ti adalah gagasan yang orisinal karena tidak mengikuti begitu saja
pada alur pemikiran Barat maupun Islam konvensional.
4.
Gerakan humanitas menurut Ali Syaria’ti adalah gagasan tentang
penyelidikan eksistensi manusia di dunia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran
Tuhan. Kesadaran ini mutlak ada karena kapasitas manusia sebagai makhluk yang
memiliki potensi dasar religius. Religiusitas menandai kesempurnaan diri
manusia yang memiliki dua dimensi sekaligus, yaitu dimensi fisik dan dimensi
ruh. Selain itu, religiusitas seorang muslim tidaklah cukup berhenti pada
hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya. Sikap religius sebagai manusia
yang tercerahkan harus bisa memberi kontribusi berarti bagi masyarakat sekitar
demi perubahan sosial menuju peradaban masyarakat yang lebih baik. Perjuangan
sosial inilah yang akan mengantarkan manusia pada realitas ketuhanannya yang
hakiki.
B.
Saran-Saran
1. Hidup mestilah berpedoman kepada al-Qur’an dan Hadist.
Dan senantiasa melaksanakan perintah dan aturan-aturan yang disyari’atkan dalam
Islam
2.
Penulis
juga berharap semoga pembaca dapat memahami dengan baik bahwa pemikiran
Ali Syaria’ti tentang konsep manusia dapat
dijadikan sebagai contoh bagi pemikir-pemikir Islam dalam melakukan pebaharuan dalam Islam.
Pemikiran-pemikiran seperti ini dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan Islam.
3.
Berkaitan dengan
pemikiran-pemikiran
Ali Syaria’ti tentang konsep manusia,
menurut hemat penulis perlu terus dijaga dan dipertahankan dalam pemikiran keislaman. Pemikiran seperti ini
dapat mendorong terciptanya peradaban yang lebih baik karena pengetahuan tentang
manusia akan lebih mendalam. Sehingga, akan mudah merealisasikan kehidupan yang
bermartabat dan berlandaskan Islam.
4. Dalam sudut ilmu filsafat
diharapkan mampu untuk menjadi pedoman dari hasil skripsi penulis dan menjadi
panutan bagi generasi seterusnya dalam kehidupan sehari-hari.
5. Harapan penulis dalam penelitian ini semoga permasalahan tentang memahami manusia ini menjadi penelitian awal dan akan terus
diteliti lebih detail dan konkret untuk penelitian selanjutnya, serta membuat
kajian yang lebih baik.
Secara
etimologis humanisme berasal dari bahasa Latin “Humanitas” yang artinya
pendidikan manusia.Istilah ini kemudian mengalami berbagai bentuk turunan.Pertama,
kata humanismus yang digunakan untuk menunjuk sebuah proses
pembelajaran yang menekankan pada studi karya-karya klasik berbahasa Latin dan
Yunani di sekolah menengah. Kedua,humanistayang digunakan untuk menunjuk
para profesor humanisme Italia. Ketiga,humanistiesyang digunakan untuk
menunjuk pendidikan liberal art yang menggunakan karya-karya penulis
Romawi klasik. Sedangkan Secara terminologis, humanisme adalah aliran filsafat
yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan
manusia. Persoalan dalam humanisme adalah mengenai apa itu manusia danbagaimana
kita menempatkan manusia di tengah alam semesta. Humanisme memandang bahwa
manusia adalah makhluk yang paling
mulia. Dengan segala kemampuan akal budinya, manusia sadar akan eksistensinya
di dunia dan mampu mencari kebenaran-kebenaran hidup demi kelangsungan
kehidupannya. Paham ini menunjuk pada
proyek membangun kehidupan manusia dan masyarakat menurut tatanan dan aturan
akal budi. Lihat: Thomas Hidya Tjaya, Humanisme dan Skolatisisme Sebuah
Debat, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal.
20.